Showing posts with label Ekonomi. Show all posts
Showing posts with label Ekonomi. Show all posts

06 March 2014

Literatur Ekonomi Indonesia (1)

Sudah banyak sumber literatur mengenai perekonomian Indonesia, namun belum terlalu banyak yang kredibel dan berpengaruh besar. Kalangan ekonom dan akademisi umumnya mengandalkan publikasi ilmiah dalam bentuk jurnal akademis. Dalam lingkup yang lebih luas, jurnal internasional yang kredibel menjadi rujukan dan wahana penyampaian karya ilmiah secara aktual. Kredibilitas dan kualitas jurnal akademis internasional diukur melalui impact factor yang merupakan penghitungan rata-rata jumlah sitasi (pengutipan) suatu artikel dalam satu jurnal ilmiah peer-review.


Salah satu jurnal ilmiah mengenai perekonomian Indonesia adalah Bulletin of Indonesian Economic Studies (BIES) yang terbit sejak tahun 1965. Dikelola oleh Australian National University, terbitan ini mendapat tempat khusus di kalangan akademisi internasional. Diterbitkan setiap caturwulan (3 kali terbit dalam setahun), BIES berisi kumpulan artikel analisis mendalam tentang perkembangan ekonomi Indonesia, pandangan editorial, ulasan buku, rangkuman prosiding konferensi, ringkasan thesis/disertasi, dan beberapa rubrik mengenai profil para ekonom terkemuka, baik yang masih hidup maupun sudah meninggal dunia (obituari). Akses terhadap jurnal ini relatif mudah (khususnya bagi kalangan akademisi) karena secara elektronik dikelola oleh Taylor and Francis Online, sindikasi yang menyediakan literatur secara online ke banyak lembaga pendidikan tinggi.  Jurnal ini mendapatkan skor impact factor (IF) sebesar 1.33 di tahun 2012, lebih tinggi daripada publikasi internasional sekelas Economica (1.22) dan tidak terlalu jauh dibanding jurnal bidang ekonomi dengan IF tertinggi, Econometrica (3.37). Patut diduga bahwa tingginya skor IF didapat dari artikel reguler BIES bertitel Survey of Recent Development. Artikel rutin yang hadir di setiap terbitan BIES ini berisi analisis perkembangan ekonomi termutakhir dengan gaya bahasa Inggris ilmiah dan data akurat sehingga mampu menciptakan daya tarik bagi para pakar internasional. Di Indonesia, BIES diterbitkan dan diedarkan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS).

Artikel singkat ini akan membedah isi BIES secara berseri. Posting kali ini secara khusus mengulas terbitan BIES edisi pertama. Terbit pada bulan Juni 1965, BIES edisi perdana menyajikan 3 artikel dan 1 catatan. Dengan menggunakan format cetakan mesin ketik, BIES No.1 langsung mengangkat tema yang relevan pada saat terbit yakni sosialisme dan produktivitas beras. Tidak mengherankan karena pada waktu itu Orde Lama sedang dalam periode puncak glorifikasi ideologi kiri. Survey of Recent Development (SoRD) ditaruh sebagai artikel pembuka, tradisi yang masih berlangsung hingga kini, SoRD perdana ini disusun dengan gaya reportase yang diberi sub-judul: economic policy, foreign trade, government finance, inflation, production, transport and administration. Nama penyusun artikel ditulis hanya menggunakan inisial, masing-masing adalah S.A.; J.G.; dan L.C.



SoRD secara ringkas menceritakan kebijakan ekonomi di bawah kendali Presiden Sukarno yang dipenuhi dengan slogan-slogan khas bernuansa nasionalisme seperti "berdikari" dan "banting stir". Suasana revolusi dan perjuangan mempertahankan kedaulatan turut mewarnai kebijakan, yang pada puncaknya mampu mengorbankan rasionalitas (misalnya penyelenggaraan Ganefo dan pembangunan Monas di tengah ekonomi yang bergejolak). Neraca perdagangan yang defisit, diperparah oleh penghentian kerjasama diplomatik dengan Malaysia turut mengisi analisis SoRD. Kebijakan pemenuhan kebutuhan pokok secara mandiri merujuk pada contoh di Korea Utara (disebutkan secara eksplisit dalam arahan Presiden) dengan fokus komoditas pangan dan pakaian. Kebijakan "sosialisme" (bahkan mewacanakan tata dunia baru) nampak terlalu bersemangat namun cenderung abai pada aspek teknis pencapaian tujuannya. Gambaran ekonomi yang suram juga terlihat dalam artikel ini, ditunjukkan dengan adanya defisit APBN yang sangat parah karena pengeluaran militer/pertahanan yang terlampau besar. Postur fiskal juga diperlemah dengan hiperinflasi yang mencapai puncaknya pada September 1964-Februari 1965 (kenaikan harga di Jakarta mencapai 160 persen). Peningkatan pasokan uang oleh Bank Indonesia dan aksi spekulasi juga memperburuk suasana. Kondisi infrastruktur dan transportasi juga tidak optimal dan tidak dapat mendukung aktivitas usaha (hanya 15 persen kondisi rel kereta api yang layak).Struktur kabinet yang menggelembung menimbulkan ketidakjelasan proses pengambilan keputusan, sebagaimana kritik Menteri Perdagangan (A. Jusuf).

Artikel berjudul "Socialism and Private Business" (penulis: L.C.) mengambil tema di balik kebijakan pemerintah yang saat itu dinyatakan memasuki fase sosialisme. Tulisan ini secara komprehensif menganalisis teori dan praktik kebijakan serta mengambil kesimpulan bahwa pemilihan kiblat ideologi diawali sejak masa perjuangan kemerdekaan, khususnya oleh Sukarno yang menaruh minat besar pada penulis-penulis beraliran Marxis-Leninis. Penulis menyoroti praktik penerapan kebijakan yang menyimpang dari teori sosialisme sesungguhnya. Perjuangan antar kelas yang terjadi di era kolonial diawali oleh ketimpangan struktur ekonomi yang didominasi oleh bangsa Eropa dan kaum minoritas Cina. Semangat nasionalisme yang bangkit di kalangan pedagang pribumi bercampur dengan spirit anti-kapitalisme dipandang sebagai ladang subur untuk menemai bibit-bibit sosialis. Bahkan di antara kalangan bangsawan (yang umumnya diketahui tidak memiliki properti) ternyata juga tidak menginginkan kondisi status quo dan cenderung simpatik pada pergerakan. Kondisi ini mewarnai sistem pemerintahan, yang waktu itu dijuluki "Demokrasi Terpimpin". Dalam artikelnya, penulis menyampaikan kesan adanya kemunduran situasi ekonomi meskipun pemerintah secara resmi senantiasa optimis dalam mencapai tujuan (masayarakat adil dan makmur). Gejala ketimpangan juga terasa ditandai dengan menurunnya upah riil namun diiringi dengan pola konsumsi mencolok di kalangan kaya. Jumlah kendaraan pribadi (mobil) meningkat cukup tajam namun kendaraan umum yang layak ternyata mengalami penurunan. Tensi meninggi pada isu-isu seputar reforma agraria dan slogan-slogan yang memecah kohesifitas masyarakat (OKB, Kapitalis Birokrat, dan Dinasti ekonomi) mulai bermunculan. Artikel ini ditutup dengan prediksi bahwa birokrasi dan usaha swasta akan dapat hidup berdampingan tetapi akan menimbulkan konsekuensi negatif terhadap kesejahteraan umum dan perekonomian.

Artikel lain berjudul "Rice Production and Imports" (oleh J.G.) mengetengahkan analisis mendalam pada komoditas utama sekaligus makanan pokok masyarakat Indonesia: beras. Pada waktu itu, Indonesia telah menjadi negara pengimpor beras terbesar sedunia (18 persen impor adalah beras) namun di saat yang sama pemerintah "berani" mengambil keputusan untuk melarang impor beras (pidato Presiden 17 Agustus 1964). Imbauan untuk mencapai swasembada pangan ditindaklanjuti dengan berbagai upaya, salah satunya adalah substitusi beras dengan komoditas pangan lain yang digalakkan secara resmi oleh Sukarno dalam pidato Tavip-nya. Hasil penelitian waktu itu menunjukkan bahwa alternatif beras terbaik adalah jagung sedangkan ketela dan ubi tidak direkomendasikan karena perbedaan kandungan protein. Solusi kedua adalah peningkatan budidaya beras dengan intervensi pada infrastruktur pertanian (meliputi saprodi, irigasi, pengendalian hama, penyediaan pupuk, pengadaan benih dan bibit unggul). Selain alasan swasembada pangan, keputusan pelarangan impor beras waktu itu terkait dengan kebijakan pengendalian devisa.

BIES ditutup dengan bagian Catatan (Notes) yang menganalisis kondisi sektor migas (oleh Alex Hunter), mekanisme pembentukan ongkos pemasaran produk pertanian, proyek aluminium, struktur pemerintahan (oleh L.C.).


01 November 2012

Religiusitas di kala krisis

Setelah terakhir kali berbincang tentang berbagai metode penentuan siapa yang layak mendapatkan BLT, kali ini saya ingin berbagi tentang kaitan antara krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997/1998 lalu dengan religiusitas warganya yang ditulis oleh Daniel L. Chen.

Saat pertama kali saya membaca judul artikel "Club Goods and Group Identity: Evidence from Islamic Resurgence during the Indonesian Financial Crisis", hal pertama yang terbersit di kepala saya adalah... jeng jeeeeng!!

Ini Islamist insurgence, bukan resurgence
Tapi setelah mengecek ulang artinya, ternyata kata resurgence bermakna "pembaruan" atau "kebangkitan", berbeda dengan insurgence yang berarti "pemberontakan" yang saya bayangkan sebelumnya :D

Nah, jadi artikel ini ternyata mengulas kaitan antara krisis ekonomi dengan bangkitnya ke-Islam-an di Indonesia. Karena keterbatasan data, ke-Islam-an disini didefinisikan sebagai partisipasi di pengajian dan sekolah Islam (madrasah dan pesantren). Jadi apa yang mereka temukan?

Pertama, krisis tahun 1997/1998 mengakibatkan jatuhnya pendapatan riil rumah tangga akibat tingginya inflasi (±78%). Kemudian mengingat 90% warga Indonesia mayoritas mengaku beragama Islam, maka dampak absolut paling besar dari krisis ini menimpa kelompok ini. Chen lalu menghitung dampak jatuhnya pendapatan (yang diproksi dengan pengeluaran) terhadap partisipasi dalam mengikuti pengajian. Hasilnya: jika pendapatan kita jatuh, kita cenderung lebih sering ikut pengajian. Menarik!

Kenduri Cinta oleh Cak Nun. Yang begini termasuk pengajian gak ya?
Kedua, serupa dengan pengajian, keluarga yang pendapatannya jatuh juga cenderung lalu menyekolahkan anaknya ke madrasah atau pesantren, padahal rata-rata biaya di sekolah Islam lebih tinggi dari sekolah negeri!
Sedikit catatan tentang metodologi: dalam menghitung dua temuan diatas, Chen menginstrumen pendapatan dengan luas lahan sawah basah dan apakah individu bekerja sebagai pegawai negeri. Cek ini untuk tahu apa itu instrumental variable method.
Kembali ke temuan penelitian, sebagian pembaca pasti berpikir, "ah jangan-jangan ini gak cuma terjadi di pengajian saja?" Tapi ternyata setelah mengestimasi ulang model regresinya, Chen menemukan bahwa dampak ini hanya terjadi di pengajian dan tidak terjadi di aktivitas lain seperti karang taruna, olahraga, dasawisma, maupun PKK. Bahkan khusus untuk arisan, jatuhnya pendapatan menyebabkan partisipasi di arisan menurun, temuan yang wajar menurut saya.

Ibu-ibu PKK memecahkan rekor mencuci baju terbanyak versi MURI
Kemungkinan lain, orang yang jatuh pendapatannya mungkin punya banyak waktu luang dan karenanya jadi punya kesempatan untuk ikut pengajian. Chen mengatakan bahwa mereka yang paling parah terimbas krisis justru yang paling mau bekerja keras pasca krisis. Nah disini saya agak tidak yakin dengan argumen Chen tadi karena tidak secara eksplisit mengaitkan antara "bekerja keras setelah krisis usai" dengan "punya banyak waktu untuk ikut pengajian".

Temuan lain yang menarik adalah ternyata dengan berpartisipasi di pengajian maka kemungkinan menerima sedekah jadi turun. Artinya, ikut pengajian bisa sedikit mengurangi kebutuhan sehari-hari. Contoh sederhananya, dengan ikut pengajian maka kita dapat ta'jil--atau syukur-syukur bancakan--jadi kita merasa tercukupi, tak perlu menerima sedekah :))

Ini lho bancakan
Nah yang lebih menarik lagi, ternyata kalau di desa atau kecamatan tempat kita tinggal ada lembaga keuangan seperti bank, maka partisipasi di pengajian malah turun saat pendapatan kita jatuh. Jadi ini menguatkan temuan sebelumnya kalau ikut pengajian bisa agak menggantikan peran lembaga formal seperti bank. Dampak krisis terhadap pengajian ini lebih berasa jika desa tempat kita tinggal memiliki ketimpangan pendapatan yang relatif tinggi.

Penelitian yang diterbitkan di Journal of Political Economy tahun 2010 lalu ini memberi cukup banyak informasi tentang bagaimana masyarakat muslim bereaksi terhadap jatuhnya pendapatan saat krisis terjadi. Meski begitu kita mesti cermat dalam membaca metodologi dan hasil di penelitian ini, misalnya mengenai waktu luang yang tadi saya singgung diatas. Selain itu penelitian memakai data rumah tangga, dimana hasil penelitian mungkin hanya mencerminkan preferensi kepala rumah tangga pemberi informasi dan bukan seluruh anggota rumah tangga. Data yang dipakai di penelitian ini bisa diunduh disini.

Sebagai penutup, judul yang dipakai oleh Chen ini menurut saya agak lebay. "Pembaruan Islam" tentu sangat tereduksi maknanya jika kita hanya melihat naiknya partisipasi di pengajian dan sekolah Islam. Ah tapi rasanya munafik kalau saya bilang begitu tapi ga pernah ikut pengajian, jadi ikut pengajian (online), yuk!

Video pengajian Habib Luthfi Pekalongan

31 October 2012

Ideologi ilmu ekonomi


Selama bertahun-tahun belajar "ilmu" ekonomi di kampus, saya menemukan pola perkuliahan yang jamak dilakukan baik di kampus di Indonesia maupun di luar negeri. Pola perkuliahan ini biasanya diawali dengan mewajibkan mahasiswa tahun pertama untuk mengambil mata kuliah ekonomi mikro, ekonomi makro, dan matematika ekonomi. Lalu di tahun kedua fakultas biasanya mewajibkan mahasiswa mengambil mata kuliah ekonometri.

Nah, di mata kuliah "keramat" bernama ekonomi mikro dan makro inilah kami disihir dengan berbagai model ekonomi yang begitu kompleks namun juga elegan, yang seakan bisa menggambarkan bagaimana manusia mengambil pilihan-pilihan sehari-hari. Misalnya kami diajari mengapa terlalu banyak menabung itu tidak baik, mengapa seorang tukang bakso mau menerima secarik kertas bertuliskan "Rp10.000", dan yang paling penting: bagaimana cara kita mencari untung sebanyak-banyaknya dengan ongkos sekecil-kecilnya. Itulah "ilmu" ekonomi.


Lalu apa masalahnya?

Masalahnya adalah 95% dari apa yang kami terima di ekonomi mikro, makro, ataupun ekonometri tidak terpakai di dunia kerja! Kecuali kami bekerja di lembaga penelitian atau kampus, sedikit sekali dari berbagai ilmu elegan yang kami terima dulu yang dipakai oleh kantor tempat kami bekerja. Bahkan dalam dunia penelitian pun acap kali terdapat gap yang lebar antara ilmu yang kami dapat (terutama untuk freshgraduate S1) dengan apa yang mesti kami teliti.


Kalau di dunia kerja saja ga berguna, bagaimana di percintaan? :D



Kenapa ini bisa terjadi?

Pertama, kita mesti menilik ke sejarah ilmu ekonomi. Fondasi ilmu ekonomi modern--terlepas dari kontroversi soal siapa yang sebenarnya memulai--dibangun oleh Adam Smith pada abad ke-17. Adam Smith melihat bahwa feodalisme mengekang kebebasan manusia dalam berkehidupan: barang dan uang dimonopoli oleh segelintir penguasa dengan memperbudak bagian besar rakyat. Adam Smith mendobrak konsep ini dengan konsep kebebasan berkeadilan, dimana rakyat sendirilah yang semestinya menentukan nasib dirinya sendiri. Jika seseorang lebih suka menanam gandum, maka biarlah dia menanam gandum, toh kalau gandumnya tidak terjual ya yang rugi si petani gandum itu sendiri. Seorang petani gandum yang rasional akan melihat bahwa lebih menguntungkan untuk, misalnya, berjualan baju daripada menanam gandum. Inilah sesungguhnya konsep invisible hand yang terkenal itu...

Sayangnya dalam pengajaran ilmu ekonomi konsep invisible hand secara derogatif diartikan "biarkan pasar yang menentukan segalanya". Ini tentu salah besar. Ingat, sang petani gandum akan beralih profesi menjadi penjual baju kalau dia rasional dan individu-individu lain juga berlaku rasional

Ilmu ekonomi sebenarnya mengajarkan tentang konsep rasionalitas, namun sayangnya konsep ini diajarkan secara sempit dan kaku. Sebagian beralasan: demi menjaga elegansi teori ilmu ekonomi itu sendiri! Ini membolak-balik nalar! Kita belajar ilmu ekonomi agar kita paham tentang apa yang terjadi sehari-hari, bukan agar kita memaksakan apa yang diteorikan dengan kenyataan. Tentunya model-model ekonomi ini bukan tak berguna, dia adalah "peta" bagi kehidupan sehari-hari, namun bukan berarti "peta" yang dibuat di abad ke-17 masih layak dipakai di abad ke-21.


Peta dunia yang dibuat 4000 tahun yang lalu 

Sekarang kita melompat ke masa kini. Krisis ekonomi global yang terjadi tahun 2008 lalu mencoreng muka para ekonom yang gagal memprediksi terjadinya krisis ini. Meski sebagian ekonom mengakui dengan besar hati kegagalan mereka, tapi beberapa ekonom justru menyalahkan para pejabat yang mengambil keputusan tanpa berpegang pada prinsip ekonomi. Sekali lagi, dunia terbolak-balik. Ilmu ekonomi mengajarkan apa yang idealnya terjadi di dunia yang serba sempurna, ilmu ekonomi tidak memaksakan apa yang yang diteorikan harus diterapkan atau terjadi di dunia nyata.


Begitu buruknya reputasi ilmu ekonomi, sebagian orang menganggap Nobel ilmu ekonomi tak layak disejajarkan dengan Nobel bidang-bidang lainnya:

“The Economics Prize has nestled itself in and is awarded as if it were a Nobel Prize. But it’s a PR [public relation] coup by economists to improve their reputation ... It’s most often awarded to stock market speculators ... There is nothing to indicate that [Alfred Nobel] would have wanted such a prize,” Peter Nobel (http://www.thelocal.se/2173/20050928/)

Lalu kesimpulannya?

Kira-kira begini rekapnya:

  1. Fondasi ilmu ekonomi adalah konsep-konsep yang maju dan sekaligus kompleks 
  2. Namun kemudian terjadi reduksi konsep yang kompleks ini demi kenyamanan berteori (dan pengajaran)
  3. Begitu ada ketidakcocokan antara teori dan praktek, sebagian "oknum" ekonom justru menyalahkan mereka yang di dunia nyata

Inilah sebabnya kenapa sebagian orang sinis dengan keilmuan "ilmu" ekonomi. Selama kita hanya melihat ekonomi hanya sebagai rentetan rumus dan model elegan tanpa ada kepraktisan di dunia nyata, maka pantaslah kita memberi imbuhan "ideologi" di depan "ilmu ekonomi".

"Ideologi ilmu ekonomi"

Lalu apa yang mesti para ekonom lakukan? Saya bukan ekonom yang pantas mengajari ekonom lain, tapi boleh dong saya memberi saran ke diri saya sendiri.

Langkah pertama, bukalah diri terhadap ilmu-ilmu lain. Sejak beberapa dekade terakhir ilmu ekonomi telah banyak terpengaruh oleh cabang-cabang ilmu yang tidak terduga sebelumnya. Biasanya ilmu ekonomi dekat dengan ilmu politik dan matematika/statistika. Namun kini makin banyak penelitian yang menggabungkan konsep ilmu ekonomi dengan ilmu psikologi, neuroscience, biologi, hingga fisika. Bahkan tren di beberapa cabang ilmu ekonomi yang dulunya tidak dianggap kini mulai mengalahkan kepopuleran cabang ilmu ekonomi yang "tradisional".



Kedua, tidak semua yang tradisional itu buruk. Model-model ekonomi standar tetap mesti diajarkan, dengan menekankan bahwa ini demi menyederhanakan masalah yang kompleks, bukan mereduksinya. Lalu seperti yang saya bilang diatas, ilmu ekonomi umumnya dekat dengan ilmu politik. Oxford University, misalnya, menawarkan program S1 "Philosophy, Politics and Economics". Benar-salah ditilik dari sisi filosofi, untung-rugi ditimbang dari segi ekonomi, dan eksekusi ditinjau dari sisi politik, kira-kira begitu. 


Yes you are, sir

Ketiga, fokus pada kekuatan ilmu ekonomi. Selama bertahun-tahun belajar ilmu ekonomi, kerap kali saya mendengar istilah ilmu ekonomi sebagai the queen of social sciences. Maksudnya, ilmu ekonomi tidak cuma bisa mengatakan untung atau rugi, tapi seberapa besar untungnya atau seberapa besar ruginya. Ini terkait dengan kentalnya pengajaran ekonometrika dan statistika di bangku perkuliahan. Pakailah ekonometrika, tunjukkan kekuatannya, dan yang lebih penting: ketahui kelemahannya dan jujurlah dalam menyampaikan hasilnya.

Keempat, ilmu ekonomi bagi saya adalah ilmu tentang insentif. Misalnya, saya suka aktif di media sosial karena saya menikmati berbagi informasi (plus curhat tentunya) ke orang lain. Motivasi saya ini tentu tak bisa saya paksakan, orang lain mungkin melihat insentif untuk aktif di media sosial karena dibayar (jadi ingat #3macan2000). Karena itu penting buat kita untuk memahami apa saja insentif yang mungkin mempengaruhi individu-individu.

Kelima, praktekkan! Ini mungkin saran yang paling susah. Banyak teori ekonomi yang secara elegan memberi solusi bagi masalah sehari-hari, misalnya pajak untuk polusi, alokasi ideal untuk donor tubuh, dan bagaimana cara terbaik menentukan siapa yang layak mendapat bantuan langsung tunai.

Tentu kelima saran tadi tidak serta merta bisa membuat ilmu ekonomi jadi lebih terpakai di dunia nyata, tapi paling tidak mahasiswa yang belajar ilmu ekonomi++ ini bisa lebih merasa tercerahkan tentang bagaimana dunia disekitar mereka bekerja. Tentu tak jelek bukan kalau kita jadi lebih paham? ;)

09 November 2011

Ilusi Koordinasi

Telah sekian lama istilah koordinasi menjadi jargon andalan para pengambil keputusan terutama bagi mereka yang mengabdi pada negara. Salah satu tugas Bappenas, misalnya, adalah mengkoordinasikan program-program pembangunan berbagai kementerian. Namun begitu koordinasi sering menimbulkan benturan kepentingan, seperti pembentukan OJK, yang menunjukkan bahwa koordinasi bukan sesuatu yang mudah dicapai.

Dalam tulisan kali ini saya tak akan bertele-tele menjelaskan pentingnya (atau tidak pentingnya) koordinasi. Kali ini saya ingin menilik koordinasi dari konteks yang lebih sempit: koordinasi antar dua individu.

Battle of Sexes
Mempelajari koordinasi antara dua individu (suami-istri, dua teman baik, dst) bisa menjadi pegangan bagi kita yang ingin meninjau koordinasi pada tingkat yang lebih tinggi. Terkait koordinasi dua individu ini ada salah satu permainan (ya, permainan!) yang cukup terkenal dan relevan yang bernama battle of sexes. Kenapa disebut permainan? Sederhana, karena battle of sexes ini memiliki peraturan, strategi, pemain, dan imbalan.

Begini kurang lebih bentuk permainannya: ada dua individu (sebut saja Iwan dan Nungki) yang ingin menonton film serial (Bajaj Bajuri atau Putri yang Ditukar). Sayangnya selera Iwan berbeda dengan Nungki: Iwan lebih suka menonton Bajaj Bajuri (BB) sementara Nungki sudah mengikuti Putri yang Ditukar (PYD) sejak musim pertama. Walau begitu, karena Iwan dan Nungki saling menyayangi satu sama lain, mereka lebih senang bisa menonton film bersama daripada menonton film sendiri-sendiri. Secara sederhana permainan ini bisa digambarkan sebagai berikut:


Angka 0, 200, dan 600 hanya sebagai ilustrasi tingkat kesenangan mereka: makin tinggi makin senang. Misalnya jika mereka memutuskan menonton Bajaj Bajuri (BB-BB) maka tingkat kebahagiaan Iwan sebesar 600 (Nungki hanya 200), begitu pula sebaliknya untuk PYD-PYD. Namun jika mereka menonton sendiri-sendiri maka tingkat kebahagiaan mereka berdua adalah 0.

Dengan sekilas membandingkan berbagai pilihan di atas, pilihan terbaik (misal dari 10 kesempatan dalam sebulan) adalah menonton Bajaj Bajuri 5 kali dan Putri yang Ditukar juga 5 kali. Namun tentu saja Iwan dan Nungki tidak selalu bisa berkoordinasi seperti itu. Terkadang mereka menonton sendiri-sendiri (akibatnya adalah mereka tidak optimal dalam mendapat kebahagiaan).

Nah karena prediksi battle of sexes ini hanya berdasar logika, maka timbul pertanyaan: apakah benar faktanya demikian? Juga muncul pertanyaan lain: andai dimungkinkan koordinasi (satu arah atau dua arah), apakah hasilnya berbeda? Eksperimen berikut akan menjawab dua pertanyaan ini.

Eksperimen
Cooper dkk melakukan studi ini pada tahun 1990-an memakai 165 pasang pemain yang dari tiap pasang secara acak diberi peran sebagai seorang "Iwan" atau "Nungki" untuk kemudian memilih satu dari dua pilihan ("BB" atau "PYD"). Hasil eksperimen adalah sebagai berikut:


Bagaimana kita membaca tabel di atas? Begini caranya:

  • BOS (battle of sexes):  ini permainan standar seperti yang dijelaskan di atas. Dari 165 pasang pemain, hanya sekitar 20% (33 pasang) yang memilih strategi optimal (BB-BB atau PYD-PYD), mayoritas (59%) gagal melakukan koordinasi dan memilih untuk "menonton sendiri-sendiri."
  • BOS-1W (komunikasi satu arah): sebelum permainan dimulai, peserta yang berperan sebagai Nungki diberi hak untuk mengutarakan pilihannya (yaitu PYD). Hasil menunjukkan koordinasi satu arah semacam ini secara drastis meningkatkan pilihan pada PYD-PYD hingga 96%.
  • BOS-2W (komunikasi dua arah): kali ini sebelum permainan dimulai, "Iwan" maupun "Nungki" boleh berkomunikasi atau bernegosiasi sesuka mereka. Hasilnya... Kegagalan koordinasi tetap pada tingkat yang tinggi (42%).


Ilusi koordinasi?
Eksperimen di atas (dan berbagai eksperimen lainnya tentang koordinasi seperti studi oleh Dani Rodrik atau Rimawan Pradiptyo) menunjukkan sulitnya koordinasi dilakukan bahkan pada level individu.

Satu hal yang menarik untuk disebutkan di bagian penutup ini adalah bagaimana komunikasi satu arah ternyata lebih efektif dari komunikasi dua arah. Dengan kata lain: "mendikte" pasangan kita terkadang berujung pada pilihan optimal. Dan tentunya tiap pasangan harus melakukan koordinasi untuk menentukan siapa dan kapan seseorang harus mendikte, ha!


01 November 2011

Tentang angka 0 dan 1

Pagi kawans! Lama tak bersua dengan blog ini, mari kita isi hari pertama di bulan November ini dengan tulisan yang mungkin tak terlalu populer diantara kita: binary response model!

Sedikit pengantar tentang binary response model
Ya, saya paham kalau pembaca langsung mengernyitkan dahi begitu melihat judul blog ini lalu membaca paragraf pertama di atas: "apa hubungannya angka nol dan satu dan binary response model?" Buat beberapa teman yang cukup akrab dengan matematika tentu tahu bahwa bilangan biner (binary) terdiri dari angka 0 dan 1, tapi apa maksudnya dengan binary response model?


Sebelum beranjak ke apa itu binary response model, ada baiknya kita mulai celoteh pagi ini dengan kilasan singkat tentang ekonometri.

Ekonometri pada dasarnya adalah studi yang menggabungkan metode statistik, matematika, dan teori ekonomi untuk mengatahui hubungan sebab-akibat dari sebuah fenomena ekonomi: jika x (misal harga beras) naik maka y (misal jumlah beras yang dibeli konsumen) turun, seperti yang diprediksi teori permintaan. 
Nah salah satu cabang dari ekonometri adalah binary response model, dimana variabel y diatas hanya terdiri dari angka 0 dan 1. Lalu apa maksudnya dengan angka 0 dan 1? Bilangan biner dipilih biasanya untuk merepresentasikan sebuah fenomena kualitatif.

Misalnya, fenomena tentang pemilu, dimana kita ingin membuktikan apakah faktor-faktor yang kita anggap berandil dibalik menangnya politisi (y=1 jika politisi menang, y=0 jika dia kalah) memang benar adanya. Jadi model ini mencoba menghitung kemungkinan (probabilitas) seorang politisi menang dalam pemilu setelah memperhitungkan faktor-faktor yang mungkin menjadi penyebabnya (variabel x, misalnya kekayaan sang politisi, jumlah pemilih di daerahnya, dan seterusnya).



Linear probability model (LPM)
Bentuk paling dasar dari binary response model adalah linear probability model (LPM) dimana kita mengestimasi parameter dari variabel x dengan pendekatan ordinary least square (OLS). Misalnya hasil estimasi untuk model politisi diatas:

y = 0.05 + 0.6*kekayaan + 0.5*incumbent - 0.9*korupsi + error


Interpretasi dari angka diatas adalah jika politisi tersebut adalah seorang incumbent (nilai variabel incumbent juga binary, incumbent=1 jika dia saat ini juga menjabat) maka probabilitas dia menang pemilu naik 50%, ceteris paribus. Namun jika dia pernah korupsi (korupsi=1) maka kemungkinan dia menang turun 90%.

Sekilas model ini tampak cukup untuk menjawab kebutuhan kita, namun ada satu masalah besar: perkiraan nilai y bisa negatif. Contoh: jika seorang politisi punya kekayaan sebesar Rp0.5 miliar (variabel kekayaan=0.5), dan dia juga sedang menjabat (incumbent=1), namun saat ini sedang dijerat KPK (korupsi=1), maka prediksi nilai y=-0.5. Angka negatif ini jelas tidak masuk akal karena kita menghitung probabilitas seorang politisi memenangkan pemilu, tidak ada probabilitas yang angkanya diluar rentang 0 dan 1.

Nah salah satu cara mengatasi angka prediksi yang negatif adalah dengan mengindeks prediksi dari model ekonometri yang kita pakai dengan model probit atau logit.

Probit dan logit
Formula dalam model probit (distribusi normal) dan logit (distribusi logistic) keduanya memiliki ciri yang khas: angka apapun yang dimasukkan kesitu hasilnya pasti terletak antara 0 dan 1. Jadi ini tentu menjadi solusi bagi model LPM yang saya singgung sebelumnya.
Distribusi logistic
Distribusi normal

Perbedaan logit dan probit hanya pada distribusi datanya: jika kita anggap error terdistribusi normal maka kita pakai probit, namun jika kita asumsikan distribusinya logistic ya kita pakai logit (bahkan bentuk kedua distribusi ini sangat mirip seperti gambar diatas). Sedikit informasi, kebanyakan ekonom lebih menyukai distribusi normal.

Namun sayangnya kita tidak bisa secara langsung menginterpretasikan hasil estimasi model probit/logit. Kenapa begitu? Karena kita mengindeks prediksi dengan formula distribusi normal (probit) atau formula distribusi logistic (logit) yang mana keduanya adalah model non-linear. Misal hasil estimasi dengan logit adalah: 

y = 0.03 + 0.7*kekayaan + 0.5*incumbent - 0.85*korupsi + error

Kita tidak bisa menginterpretasikan angka 0.5 diatas sama seperti dalam model LPM. Instead, kita mesti mengalikan angka tersebut dengan scale factor tertentu. Untungnya bermacam aplikasi statistik saat ini memungkinkan kita untuk mendapatkan angka yang bisa diinterpretasikan secara langsung (seperti dalam LPM) hanya dengan mengetik beberapa perintah saja. Misalnya, dengan Stata kita cukup mengetik: margins, dydx(*) dan, voila!, layar didepan kita akan langsung tersaji sederet angka yang siap diinterpretasikan secara langsung seperti di LPM.


Demikian ulasan singkat tentang binary response model, semoga bisa memberi inspirasi bagi kawan-kawan yang sedang bergelut dengan belajar dan bekerja. Selamat siang.


Stata Center di MIT (ajaib, seperti softwarenya)

20 September 2011

Pertarungan yang Menghidupkan…



Hari ini mendadak kontak bbm saya dipenuhi oleh logo 56, ternyata hari ini adalah hari ulang tahun Fakultas Ekonomi (FE) UGM atau sekarang bernama Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UGM, ada sedikit penambahan embel-embel bisnis dibelakang kata ekonomi. Mungkin karena jengah dengan banyaknya yang memasang propic ultah FEB UGM, salah satu teman pasang status 'FEB UGM ultah! So what!'. Tulisan ini hanya sebagai catatan ringan untuk FEB UGM, kampus saya dulu.

Masih lekat dalam ingatan saya ketika saya memilih Jurusan IESP di FE UGM sebagai pilihan utama, bagi saya itu adalah sebuah pertaruhan untuk masa depan. Karena pada saat itu ibu saya hanya memberi dua opsi, kuliah di UGM atau kerja, bagi lulusan SMU seperti saya kuliah adalah opsi terbaik. Karena selain lulusan SMU belum siap kerja, status mahasiswa itu keren bagi saya karena memiliki tempat khusus dalam masyarakat. Lalu, kenapa opsinya harus kuliah di UGM? Karena terjangkau, murah! Jadi bukan karena keren atau hebat atau bagaimana, dan ini tentu saja menjadi pilihan bagi generasi saya saat itu, sebuah generasi yang berasal dari keluarga pas-pasan namun memiliki mimpi yang cukup wah, menjadi sarjana, karena itu mungkin satu-satunya jalan untuk melakukan mobilitas vertikal.

19 September 2011

Sedikit tentang eksperimen dalam ilmu ekonomi

Aloha! Lama tak jumpa! Kali ini saya ingin sedikit berbagi tentang bagaimana eksperimen dilakukan dalam ilmu ekonomi.

Laboratorium ekonomi
Eksperimen dalam ilmu ekonomi, seperti halnya eksperimen dalam ilmu-ilmu lainnya, umumnya dilakukan di laboratorium. Nah, uniknya, laboratorium eksperimen ekonomi biasanya hanya memerlukan sejumlah komputer yang saling terkoneksi dan sejumlah partisipan (umumnya mahasiswa).
Lab eksperimen ekonomi di kampus saya Melbourne Uni

Namun kini sudah ada sejumlah eksperimen yang dilakukan di lapangan (field experiment), misalnya dengan membagi suatu populasi menjadi dua sampel, control group dan treatment group, yang mana perbedaan hasil eksperimen diantara keduanya bisa dijelaskan oleh perbedaan perlakuan yang diterima keduanya. Esther Duflo adalah salah satu ekonom (perempuan) yang paling aktif untuk kategori eksperimen semacam ini.

11 September 2011

Konektivitas (Indonesia) Kita



Saya begitu terhenyak ketika membaca buku "Meraba Indonesia" kisah perjalanan satu tahun berkeliling sisi terluar Indonesia. Perjalanan yang dilakukan oleh dua orang sahabat yang sama-sama berprofesi sebagai seorang jurnalis, Ahmad Yunus dan Farid Gaban. Mereka berbagi tugas dalam mendokumentasikan kisah perjalanan mereka, Farid Gaban lebih ke dokumentasi visual dan Ahmad Yunus dalam bentuk tulisan, meskipun Farid juga menuliskannya.

03 August 2011

Inflasi saat Ramadan: Berkah atau Musibah?

Artikel ini ditulis untuk menanggapi tulisan sebelumnya dari Sdr. Arya berjudul Refleksi Konsumen terhadap Kenaikan Harga yang mengupas tentang perilaku masyarakat (pembeli dan penjual) dalam mengantisipasi bulan puasa yang umumnya ditandai dengan meningkatnya harga barang kebutuhan pokok. Dengan menggunakan sudut pandang mikroekonomi, sdr. Arya berkesimpulan bahwa para konsumenlah yang seharusnya berintrospeksi dan memberikan respons yang tepat atas fenomena rutin tahunan ini. “Inflasi selalu dan di mana pun merupakan fenomena moneter.” Begitulah yang ditulis oleh Milton Friedman. Dampak sosial yang ditimbulkan cukup banyak mengganggu stabilitas perekonomian, diantaranya memperburuk tingkat kesejahteraan masyarakat akibat menurunnya daya beli masyarakat secara umum.

19 July 2011

Hubungan Panjang Kemaluan dan Pertumbuhan Ekonomi

Beberapa menit lalu saya baca satu paper dari ekonom University of Helsinki yang tulisannya di-retweet oleh Bill Easterly. Berikut kutipan dari tweets saya (maaf kalau tidak disajikan dengan terstruktur):

@bill_easterly: Penis Size and Economic Growth: I checked whether I'm getting punk'd & it seems to be for real 

baru baca abstrak & kesimpulan paper ini -->  judulnya "Male Organ and Economic Growth: Does Size Matter?" *serius*


pengarangnya Tatu Westling dari University of Helsinki, Discussion Paper No. 335 July 2011. download paper disini --> 

16 July 2011

Good Governance dalam perjalanan awal demokrasi

Membaca media massa akhir-akhir ini membuat saya sedikit prihatin. Keadilan semakin terombang-ambing di tengah ketidakpastian dan ketidaktegasan dari sang pemangku kekuasaan. Kekuasaan yang seakan-akan telah menjadi bancakan para politisi YANG menjadi wakil rakyat yg terhormat. Pembagian kekuasaan memang menjadi kompromi politik ketika sang pemangku tidak memiliki keberanian dalam memformulasikan kebijakan non-populis-praktis. Kebijakan yang mungkin akan merugikan banyak pihak dalam jangka pendek, tetapi justru mendidik dan berpotensi menyelamatkan bangsa dari budaya ketergantungan atau bahkan budaya busuk layaknya pencuri.

Fenomena Nazaruddin mencuatkan polemik kebusukan politik yang mendera negeri ini. Sebagai seorang tokoh di dalam partai penguasa, sepak terjang bang Nazaruddin akan selalu terexpose. Yang menarik, tidak adanya kepastian proses hukum telah mengubah pola pandang masyarakat terhadap penguasa yang bercokol saat ini. Bahkan sebaliknya, kebingungan akan langkah yg ditempuh para penegak hukum telah menggerogoti kepercayaan itu sendiri. Kasus ini hanyalah satu dari sekian banyak contoh permasalahan yang tidak terpecahkan. Kasus cek pelawat yang hingga saat ini masih belum menemukan titik terang dimana Nunun berada, rekening gendut polri, hingga kasus yang sekian lama berlalu...lumpur Lapindo.


Sumber: matanews.com

Pengaturan Subsidi BBM, antara Keberanian - Kesungguhan dan Fatwa

Berikut ini adalah tulisan sdr. Komaidi (salah satu penggiat forum Konkowiken dengan spesialisasi bidang ekonomi energi) yang sudah dimuat sebelumnya di Harian Media Indonesia edisi Rabu, 13 Juli 2011 dalam rubrik Opini (halaman 15)



Pengaturan Subsidi BBM, antara Keberanian - Kesungguhan dan Fatwa

oleh: Komaidi, ReforMiner Institute (Media Indonesia, 13 Juli 2011)

Dalam menyelesaikan permasalahan subsidi BBM- masalah klasik yang sebenarnya hampir selalu berulang setiap tahun, pengambil kebijakan seolah telah kehabisan cara. Hal tersebut terlihat dari langkah pengambil kebijakan yang melibatkan lembaga yang secara subtantif tidak kapabel mengatur BBM bersubsidi.