Showing posts with label Indonesia. Show all posts
Showing posts with label Indonesia. Show all posts

06 March 2014

Literatur Ekonomi Indonesia (1)

Sudah banyak sumber literatur mengenai perekonomian Indonesia, namun belum terlalu banyak yang kredibel dan berpengaruh besar. Kalangan ekonom dan akademisi umumnya mengandalkan publikasi ilmiah dalam bentuk jurnal akademis. Dalam lingkup yang lebih luas, jurnal internasional yang kredibel menjadi rujukan dan wahana penyampaian karya ilmiah secara aktual. Kredibilitas dan kualitas jurnal akademis internasional diukur melalui impact factor yang merupakan penghitungan rata-rata jumlah sitasi (pengutipan) suatu artikel dalam satu jurnal ilmiah peer-review.


Salah satu jurnal ilmiah mengenai perekonomian Indonesia adalah Bulletin of Indonesian Economic Studies (BIES) yang terbit sejak tahun 1965. Dikelola oleh Australian National University, terbitan ini mendapat tempat khusus di kalangan akademisi internasional. Diterbitkan setiap caturwulan (3 kali terbit dalam setahun), BIES berisi kumpulan artikel analisis mendalam tentang perkembangan ekonomi Indonesia, pandangan editorial, ulasan buku, rangkuman prosiding konferensi, ringkasan thesis/disertasi, dan beberapa rubrik mengenai profil para ekonom terkemuka, baik yang masih hidup maupun sudah meninggal dunia (obituari). Akses terhadap jurnal ini relatif mudah (khususnya bagi kalangan akademisi) karena secara elektronik dikelola oleh Taylor and Francis Online, sindikasi yang menyediakan literatur secara online ke banyak lembaga pendidikan tinggi.  Jurnal ini mendapatkan skor impact factor (IF) sebesar 1.33 di tahun 2012, lebih tinggi daripada publikasi internasional sekelas Economica (1.22) dan tidak terlalu jauh dibanding jurnal bidang ekonomi dengan IF tertinggi, Econometrica (3.37). Patut diduga bahwa tingginya skor IF didapat dari artikel reguler BIES bertitel Survey of Recent Development. Artikel rutin yang hadir di setiap terbitan BIES ini berisi analisis perkembangan ekonomi termutakhir dengan gaya bahasa Inggris ilmiah dan data akurat sehingga mampu menciptakan daya tarik bagi para pakar internasional. Di Indonesia, BIES diterbitkan dan diedarkan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS).

Artikel singkat ini akan membedah isi BIES secara berseri. Posting kali ini secara khusus mengulas terbitan BIES edisi pertama. Terbit pada bulan Juni 1965, BIES edisi perdana menyajikan 3 artikel dan 1 catatan. Dengan menggunakan format cetakan mesin ketik, BIES No.1 langsung mengangkat tema yang relevan pada saat terbit yakni sosialisme dan produktivitas beras. Tidak mengherankan karena pada waktu itu Orde Lama sedang dalam periode puncak glorifikasi ideologi kiri. Survey of Recent Development (SoRD) ditaruh sebagai artikel pembuka, tradisi yang masih berlangsung hingga kini, SoRD perdana ini disusun dengan gaya reportase yang diberi sub-judul: economic policy, foreign trade, government finance, inflation, production, transport and administration. Nama penyusun artikel ditulis hanya menggunakan inisial, masing-masing adalah S.A.; J.G.; dan L.C.



SoRD secara ringkas menceritakan kebijakan ekonomi di bawah kendali Presiden Sukarno yang dipenuhi dengan slogan-slogan khas bernuansa nasionalisme seperti "berdikari" dan "banting stir". Suasana revolusi dan perjuangan mempertahankan kedaulatan turut mewarnai kebijakan, yang pada puncaknya mampu mengorbankan rasionalitas (misalnya penyelenggaraan Ganefo dan pembangunan Monas di tengah ekonomi yang bergejolak). Neraca perdagangan yang defisit, diperparah oleh penghentian kerjasama diplomatik dengan Malaysia turut mengisi analisis SoRD. Kebijakan pemenuhan kebutuhan pokok secara mandiri merujuk pada contoh di Korea Utara (disebutkan secara eksplisit dalam arahan Presiden) dengan fokus komoditas pangan dan pakaian. Kebijakan "sosialisme" (bahkan mewacanakan tata dunia baru) nampak terlalu bersemangat namun cenderung abai pada aspek teknis pencapaian tujuannya. Gambaran ekonomi yang suram juga terlihat dalam artikel ini, ditunjukkan dengan adanya defisit APBN yang sangat parah karena pengeluaran militer/pertahanan yang terlampau besar. Postur fiskal juga diperlemah dengan hiperinflasi yang mencapai puncaknya pada September 1964-Februari 1965 (kenaikan harga di Jakarta mencapai 160 persen). Peningkatan pasokan uang oleh Bank Indonesia dan aksi spekulasi juga memperburuk suasana. Kondisi infrastruktur dan transportasi juga tidak optimal dan tidak dapat mendukung aktivitas usaha (hanya 15 persen kondisi rel kereta api yang layak).Struktur kabinet yang menggelembung menimbulkan ketidakjelasan proses pengambilan keputusan, sebagaimana kritik Menteri Perdagangan (A. Jusuf).

Artikel berjudul "Socialism and Private Business" (penulis: L.C.) mengambil tema di balik kebijakan pemerintah yang saat itu dinyatakan memasuki fase sosialisme. Tulisan ini secara komprehensif menganalisis teori dan praktik kebijakan serta mengambil kesimpulan bahwa pemilihan kiblat ideologi diawali sejak masa perjuangan kemerdekaan, khususnya oleh Sukarno yang menaruh minat besar pada penulis-penulis beraliran Marxis-Leninis. Penulis menyoroti praktik penerapan kebijakan yang menyimpang dari teori sosialisme sesungguhnya. Perjuangan antar kelas yang terjadi di era kolonial diawali oleh ketimpangan struktur ekonomi yang didominasi oleh bangsa Eropa dan kaum minoritas Cina. Semangat nasionalisme yang bangkit di kalangan pedagang pribumi bercampur dengan spirit anti-kapitalisme dipandang sebagai ladang subur untuk menemai bibit-bibit sosialis. Bahkan di antara kalangan bangsawan (yang umumnya diketahui tidak memiliki properti) ternyata juga tidak menginginkan kondisi status quo dan cenderung simpatik pada pergerakan. Kondisi ini mewarnai sistem pemerintahan, yang waktu itu dijuluki "Demokrasi Terpimpin". Dalam artikelnya, penulis menyampaikan kesan adanya kemunduran situasi ekonomi meskipun pemerintah secara resmi senantiasa optimis dalam mencapai tujuan (masayarakat adil dan makmur). Gejala ketimpangan juga terasa ditandai dengan menurunnya upah riil namun diiringi dengan pola konsumsi mencolok di kalangan kaya. Jumlah kendaraan pribadi (mobil) meningkat cukup tajam namun kendaraan umum yang layak ternyata mengalami penurunan. Tensi meninggi pada isu-isu seputar reforma agraria dan slogan-slogan yang memecah kohesifitas masyarakat (OKB, Kapitalis Birokrat, dan Dinasti ekonomi) mulai bermunculan. Artikel ini ditutup dengan prediksi bahwa birokrasi dan usaha swasta akan dapat hidup berdampingan tetapi akan menimbulkan konsekuensi negatif terhadap kesejahteraan umum dan perekonomian.

Artikel lain berjudul "Rice Production and Imports" (oleh J.G.) mengetengahkan analisis mendalam pada komoditas utama sekaligus makanan pokok masyarakat Indonesia: beras. Pada waktu itu, Indonesia telah menjadi negara pengimpor beras terbesar sedunia (18 persen impor adalah beras) namun di saat yang sama pemerintah "berani" mengambil keputusan untuk melarang impor beras (pidato Presiden 17 Agustus 1964). Imbauan untuk mencapai swasembada pangan ditindaklanjuti dengan berbagai upaya, salah satunya adalah substitusi beras dengan komoditas pangan lain yang digalakkan secara resmi oleh Sukarno dalam pidato Tavip-nya. Hasil penelitian waktu itu menunjukkan bahwa alternatif beras terbaik adalah jagung sedangkan ketela dan ubi tidak direkomendasikan karena perbedaan kandungan protein. Solusi kedua adalah peningkatan budidaya beras dengan intervensi pada infrastruktur pertanian (meliputi saprodi, irigasi, pengendalian hama, penyediaan pupuk, pengadaan benih dan bibit unggul). Selain alasan swasembada pangan, keputusan pelarangan impor beras waktu itu terkait dengan kebijakan pengendalian devisa.

BIES ditutup dengan bagian Catatan (Notes) yang menganalisis kondisi sektor migas (oleh Alex Hunter), mekanisme pembentukan ongkos pemasaran produk pertanian, proyek aluminium, struktur pemerintahan (oleh L.C.).


01 November 2012

Religiusitas di kala krisis

Setelah terakhir kali berbincang tentang berbagai metode penentuan siapa yang layak mendapatkan BLT, kali ini saya ingin berbagi tentang kaitan antara krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997/1998 lalu dengan religiusitas warganya yang ditulis oleh Daniel L. Chen.

Saat pertama kali saya membaca judul artikel "Club Goods and Group Identity: Evidence from Islamic Resurgence during the Indonesian Financial Crisis", hal pertama yang terbersit di kepala saya adalah... jeng jeeeeng!!

Ini Islamist insurgence, bukan resurgence
Tapi setelah mengecek ulang artinya, ternyata kata resurgence bermakna "pembaruan" atau "kebangkitan", berbeda dengan insurgence yang berarti "pemberontakan" yang saya bayangkan sebelumnya :D

Nah, jadi artikel ini ternyata mengulas kaitan antara krisis ekonomi dengan bangkitnya ke-Islam-an di Indonesia. Karena keterbatasan data, ke-Islam-an disini didefinisikan sebagai partisipasi di pengajian dan sekolah Islam (madrasah dan pesantren). Jadi apa yang mereka temukan?

Pertama, krisis tahun 1997/1998 mengakibatkan jatuhnya pendapatan riil rumah tangga akibat tingginya inflasi (±78%). Kemudian mengingat 90% warga Indonesia mayoritas mengaku beragama Islam, maka dampak absolut paling besar dari krisis ini menimpa kelompok ini. Chen lalu menghitung dampak jatuhnya pendapatan (yang diproksi dengan pengeluaran) terhadap partisipasi dalam mengikuti pengajian. Hasilnya: jika pendapatan kita jatuh, kita cenderung lebih sering ikut pengajian. Menarik!

Kenduri Cinta oleh Cak Nun. Yang begini termasuk pengajian gak ya?
Kedua, serupa dengan pengajian, keluarga yang pendapatannya jatuh juga cenderung lalu menyekolahkan anaknya ke madrasah atau pesantren, padahal rata-rata biaya di sekolah Islam lebih tinggi dari sekolah negeri!
Sedikit catatan tentang metodologi: dalam menghitung dua temuan diatas, Chen menginstrumen pendapatan dengan luas lahan sawah basah dan apakah individu bekerja sebagai pegawai negeri. Cek ini untuk tahu apa itu instrumental variable method.
Kembali ke temuan penelitian, sebagian pembaca pasti berpikir, "ah jangan-jangan ini gak cuma terjadi di pengajian saja?" Tapi ternyata setelah mengestimasi ulang model regresinya, Chen menemukan bahwa dampak ini hanya terjadi di pengajian dan tidak terjadi di aktivitas lain seperti karang taruna, olahraga, dasawisma, maupun PKK. Bahkan khusus untuk arisan, jatuhnya pendapatan menyebabkan partisipasi di arisan menurun, temuan yang wajar menurut saya.

Ibu-ibu PKK memecahkan rekor mencuci baju terbanyak versi MURI
Kemungkinan lain, orang yang jatuh pendapatannya mungkin punya banyak waktu luang dan karenanya jadi punya kesempatan untuk ikut pengajian. Chen mengatakan bahwa mereka yang paling parah terimbas krisis justru yang paling mau bekerja keras pasca krisis. Nah disini saya agak tidak yakin dengan argumen Chen tadi karena tidak secara eksplisit mengaitkan antara "bekerja keras setelah krisis usai" dengan "punya banyak waktu untuk ikut pengajian".

Temuan lain yang menarik adalah ternyata dengan berpartisipasi di pengajian maka kemungkinan menerima sedekah jadi turun. Artinya, ikut pengajian bisa sedikit mengurangi kebutuhan sehari-hari. Contoh sederhananya, dengan ikut pengajian maka kita dapat ta'jil--atau syukur-syukur bancakan--jadi kita merasa tercukupi, tak perlu menerima sedekah :))

Ini lho bancakan
Nah yang lebih menarik lagi, ternyata kalau di desa atau kecamatan tempat kita tinggal ada lembaga keuangan seperti bank, maka partisipasi di pengajian malah turun saat pendapatan kita jatuh. Jadi ini menguatkan temuan sebelumnya kalau ikut pengajian bisa agak menggantikan peran lembaga formal seperti bank. Dampak krisis terhadap pengajian ini lebih berasa jika desa tempat kita tinggal memiliki ketimpangan pendapatan yang relatif tinggi.

Penelitian yang diterbitkan di Journal of Political Economy tahun 2010 lalu ini memberi cukup banyak informasi tentang bagaimana masyarakat muslim bereaksi terhadap jatuhnya pendapatan saat krisis terjadi. Meski begitu kita mesti cermat dalam membaca metodologi dan hasil di penelitian ini, misalnya mengenai waktu luang yang tadi saya singgung diatas. Selain itu penelitian memakai data rumah tangga, dimana hasil penelitian mungkin hanya mencerminkan preferensi kepala rumah tangga pemberi informasi dan bukan seluruh anggota rumah tangga. Data yang dipakai di penelitian ini bisa diunduh disini.

Sebagai penutup, judul yang dipakai oleh Chen ini menurut saya agak lebay. "Pembaruan Islam" tentu sangat tereduksi maknanya jika kita hanya melihat naiknya partisipasi di pengajian dan sekolah Islam. Ah tapi rasanya munafik kalau saya bilang begitu tapi ga pernah ikut pengajian, jadi ikut pengajian (online), yuk!

Video pengajian Habib Luthfi Pekalongan

11 September 2011

Konektivitas (Indonesia) Kita



Saya begitu terhenyak ketika membaca buku "Meraba Indonesia" kisah perjalanan satu tahun berkeliling sisi terluar Indonesia. Perjalanan yang dilakukan oleh dua orang sahabat yang sama-sama berprofesi sebagai seorang jurnalis, Ahmad Yunus dan Farid Gaban. Mereka berbagi tugas dalam mendokumentasikan kisah perjalanan mereka, Farid Gaban lebih ke dokumentasi visual dan Ahmad Yunus dalam bentuk tulisan, meskipun Farid juga menuliskannya.

07 July 2011

Overheating dan metamorfosis ekonomi Indonesia

Saat kuliah ekonomi makro kita sering ditunjukkan gambar siklus bisnis: ada saat dimana ekonomi tumbuh pesat hingga mencapai puncak (peak), mengalami overheating, dan kemudian mengalami depresi/resesi hingga titik nadir (trough). Kali ini saya ingin berbagi cerita singkat mengenai bagaimana ekonomi Indonesia yang saat ini dianggap overheating dan bagaimana kita bisa melihat ini dari sudut pandang berbeda.