Membaca media massa akhir-akhir ini membuat saya sedikit prihatin. Keadilan semakin terombang-ambing di tengah ketidakpastian dan ketidaktegasan dari sang pemangku kekuasaan. Kekuasaan yang seakan-akan telah menjadi bancakan para politisi YANG menjadi wakil rakyat yg terhormat. Pembagian kekuasaan memang menjadi kompromi politik ketika sang pemangku tidak memiliki keberanian dalam memformulasikan kebijakan non-populis-praktis. Kebijakan yang mungkin akan merugikan banyak pihak dalam jangka pendek, tetapi justru mendidik dan berpotensi menyelamatkan bangsa dari budaya ketergantungan atau bahkan budaya busuk layaknya pencuri.
Fenomena Nazaruddin mencuatkan polemik kebusukan politik yang mendera negeri ini. Sebagai seorang tokoh di dalam partai penguasa, sepak terjang bang Nazaruddin akan selalu terexpose. Yang menarik, tidak adanya kepastian proses hukum telah mengubah pola pandang masyarakat terhadap penguasa yang bercokol saat ini. Bahkan sebaliknya, kebingungan akan langkah yg ditempuh para penegak hukum telah menggerogoti kepercayaan itu sendiri. Kasus ini hanyalah satu dari sekian banyak contoh permasalahan yang tidak terpecahkan. Kasus cek pelawat yang hingga saat ini masih belum menemukan titik terang dimana Nunun berada, rekening gendut polri, hingga kasus yang sekian lama berlalu...lumpur Lapindo.
Sumber: matanews.com
Sejujurnya, saya teringat kasus ini karena baru beberapa hari yang lalu saya melewati porong sidoarjo yang terkena dampak paling beat dari bencana ini. Pada kenyataannya, lumpur panas ini telah merenggut kebebasan dan hak masyarakat untuk menikmati kemewahan dalam bertempat tinggal mereka. Pencabutan hak secara paksa atas nama bencana yang sebenarnya janggal, karena ini adalah bencana yang terjadi justu karena kesalahan segelintir orang...hanya karena untuk menghindari tanggung jawabkah? Bandingkan dengan bencana Wasior yang menelan korban tidak sedikit namun tidak dikategorikan sebagai bencana nasional. Hanya karena bencana ini terjadi di bumi Papuakah lantas tidak menjadikan bencana ini bencana nasional? Ataukah karena tidak adanya politisi yg memiliki kepentingan di bumi papua?
KAPITALISME POLITIK
Mendengar kata politik, banyak orang yang merasa jijik atau bahkan menganggap dunia ini hanyalah dunia manipulasi kotor yang hanya mencari keuntugan untuk dirinya sendiri. Benarkah? Mungkin...tetapi mungkin juga masih banyak politisi yang memang berusaha untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat. Namun seberapa banyak? Siapa yang tahu....
Lantas kenapa preseden buruk justru timbul atas para politisi di saat demokrasi di Indonesia sedang mendapatkan angin segarnya? Bukan rahasia pula bahwa untuk menjadi seorang wakil rakyat yang terhormat di Senayan membutuhkan dana yg tidak kecil. Apakah lantas menjadi DPR adalah aji mumpung untuk mendapatkan gaji yg besar? Agar balik modal?
GOOD GOVERNANCE sebagai kunci keberhasilan?
Kapitalisme politik sendiri menjadi sebuah hal yg sangat mahfum tejadi di Indonesia. Demmers dkk. dalam bukunya Good Governance in the Era of Global Neoliberalism menulis bahwa kapitalisme perpolitikan hanyalah dampak atas upaya penanaman demokrasi, tidak tekecuali di indonesia. Banyak faktor yang dapat digunakan untuk mengukur sukses tidaknya sebuah demokrasi. Namun, apalah artinya indikator ini kalau toh justru sama sekali tidak mendukung kebijakan pemerintah dalam menentukan langkah perekonomian mereka? Yang ada hanyalah lobi politik demi menyukseskan rencana kebijakan itu sendiri.
Dalam buku ini, salah satu kunci yang dianjurkan adalah transparansi dan pembatasan atas peran negara dalam perekonomian demi mencapai full employment. Demi mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Asas good governance pun mengemuka.
Pertama kali diperkenalkan di tahun 1989, good governance menisbihkan transparansi menjadi syarat mutlak dalam mencapai pengelolaan pemerintahan yg baik. Namun, hal ini perlu diimbangi dengan syarat lainnya, yaitu pembatasan kebijakan pemerintah hanya di sektor tertentu.semakin kecil peran pemerintah dalam pengelolaan perkenomian, akan semakin efektif pula perekonomian itu.
Fiscal Space
Pada kenyataannya hal ini kurang mulus dilakukan, karena demokrasi yg seharusnya ikut mendukung kebijakan pemerintah di bidang perekonomian, justru menjadi bumerang bagi pemerintah itu sendiri. RUU BPJS bisa jadi menjadi salah satu contoh. RUU yg hingga saat ini masih digodok oleh pemerintah dan DPR mengamanatkan adanya sebuah lembaga layaknya BUMN yg menangani masalah asuransi tidak hanya untuk mereka yang bekerja di sektor formal, namun juga bagi mereka yang bekerja di sektor informal. Atau bahkan mereka yang tidak bekerja sama sekali. Potensi yang muncul terjadi adalah, bila terjadi penyimpangan atas pelaksanaan lembaga ini, maka pemerintahlah yang harus menanggung beban ini semua. Kasus century maupun ketidakjelasan peraturan anggaran minimum bagi pendidikan di Indonesia sebesar 20% dari total anggaran nasional telah mengurangi kemampuan pemerintah untuk melakukan pembangunan. Fiscal space pemerintah untuk melakukan pembangunan infrstruktur menjadi kurang maksimal.
Keterbatasan fiscal space pemerintah sendiri nampaknya akan sangat berdampak ketika perekonomian Indonesia dihadapkan pada suatu permasalahan yg muncul secara tiba-tiba. Kenaikan harga minyak yg tinggi tengah membayangi ekonomi global, belum lagi krisis yunani yang menyeret Spanyol dan negara tetangganya serta penurunan peringkat utang atas US baru-baru ini. Rendahnya kapasitas fiskal tentu saja menjadikan kurangnya amunisi pemerintah dalam mengantisipasi kemungkinan permasalahan yg ada.
Dalam bukunya, Stability with growth, Stiglitz dkk. mengatakan bahwa kebijakan countercyclical wajib dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi berbagai kemungkinan merosotnya perekonomian. Namun, apakah ini bisa dilakukan dengan minimnya kapasitas fiskal yg dimiliki. Ingat!! Hampir 30% dari APBN sudah dialokasikan untuk gaji dan honorarium PNS, sedangkan 20% lainnya utk pendidikan.
Lantas apa yang tersisa dari fiskal pemerintah? Apakah pertumbuhan jangka pendek saja sudah cukup? Benarkah good governance di era demokrasi layaknya Indonesia saat ini telah mencapai tujuannya? ataukah justru penerapan good governance justru akan menyulitkan pemerintah Indonesia di era globalisasi dengan segala resiko yang membayanginya?
1 comment:
the economic in one country has many elements. those elements become the source of growth, but how to create the elements which have positive effect on growth? one of the solution is through good governance (GC). GC can be considered as the source of growth based on theory of institution as a basis for growth. for further explanation please remind about case in North Korea vs South Korea.
Regards,
Asu Lonte
Post a Comment