Showing posts with label behavioral. Show all posts
Showing posts with label behavioral. Show all posts

31 October 2012

Ideologi ilmu ekonomi


Selama bertahun-tahun belajar "ilmu" ekonomi di kampus, saya menemukan pola perkuliahan yang jamak dilakukan baik di kampus di Indonesia maupun di luar negeri. Pola perkuliahan ini biasanya diawali dengan mewajibkan mahasiswa tahun pertama untuk mengambil mata kuliah ekonomi mikro, ekonomi makro, dan matematika ekonomi. Lalu di tahun kedua fakultas biasanya mewajibkan mahasiswa mengambil mata kuliah ekonometri.

Nah, di mata kuliah "keramat" bernama ekonomi mikro dan makro inilah kami disihir dengan berbagai model ekonomi yang begitu kompleks namun juga elegan, yang seakan bisa menggambarkan bagaimana manusia mengambil pilihan-pilihan sehari-hari. Misalnya kami diajari mengapa terlalu banyak menabung itu tidak baik, mengapa seorang tukang bakso mau menerima secarik kertas bertuliskan "Rp10.000", dan yang paling penting: bagaimana cara kita mencari untung sebanyak-banyaknya dengan ongkos sekecil-kecilnya. Itulah "ilmu" ekonomi.


Lalu apa masalahnya?

Masalahnya adalah 95% dari apa yang kami terima di ekonomi mikro, makro, ataupun ekonometri tidak terpakai di dunia kerja! Kecuali kami bekerja di lembaga penelitian atau kampus, sedikit sekali dari berbagai ilmu elegan yang kami terima dulu yang dipakai oleh kantor tempat kami bekerja. Bahkan dalam dunia penelitian pun acap kali terdapat gap yang lebar antara ilmu yang kami dapat (terutama untuk freshgraduate S1) dengan apa yang mesti kami teliti.


Kalau di dunia kerja saja ga berguna, bagaimana di percintaan? :D



Kenapa ini bisa terjadi?

Pertama, kita mesti menilik ke sejarah ilmu ekonomi. Fondasi ilmu ekonomi modern--terlepas dari kontroversi soal siapa yang sebenarnya memulai--dibangun oleh Adam Smith pada abad ke-17. Adam Smith melihat bahwa feodalisme mengekang kebebasan manusia dalam berkehidupan: barang dan uang dimonopoli oleh segelintir penguasa dengan memperbudak bagian besar rakyat. Adam Smith mendobrak konsep ini dengan konsep kebebasan berkeadilan, dimana rakyat sendirilah yang semestinya menentukan nasib dirinya sendiri. Jika seseorang lebih suka menanam gandum, maka biarlah dia menanam gandum, toh kalau gandumnya tidak terjual ya yang rugi si petani gandum itu sendiri. Seorang petani gandum yang rasional akan melihat bahwa lebih menguntungkan untuk, misalnya, berjualan baju daripada menanam gandum. Inilah sesungguhnya konsep invisible hand yang terkenal itu...

Sayangnya dalam pengajaran ilmu ekonomi konsep invisible hand secara derogatif diartikan "biarkan pasar yang menentukan segalanya". Ini tentu salah besar. Ingat, sang petani gandum akan beralih profesi menjadi penjual baju kalau dia rasional dan individu-individu lain juga berlaku rasional

Ilmu ekonomi sebenarnya mengajarkan tentang konsep rasionalitas, namun sayangnya konsep ini diajarkan secara sempit dan kaku. Sebagian beralasan: demi menjaga elegansi teori ilmu ekonomi itu sendiri! Ini membolak-balik nalar! Kita belajar ilmu ekonomi agar kita paham tentang apa yang terjadi sehari-hari, bukan agar kita memaksakan apa yang diteorikan dengan kenyataan. Tentunya model-model ekonomi ini bukan tak berguna, dia adalah "peta" bagi kehidupan sehari-hari, namun bukan berarti "peta" yang dibuat di abad ke-17 masih layak dipakai di abad ke-21.


Peta dunia yang dibuat 4000 tahun yang lalu 

Sekarang kita melompat ke masa kini. Krisis ekonomi global yang terjadi tahun 2008 lalu mencoreng muka para ekonom yang gagal memprediksi terjadinya krisis ini. Meski sebagian ekonom mengakui dengan besar hati kegagalan mereka, tapi beberapa ekonom justru menyalahkan para pejabat yang mengambil keputusan tanpa berpegang pada prinsip ekonomi. Sekali lagi, dunia terbolak-balik. Ilmu ekonomi mengajarkan apa yang idealnya terjadi di dunia yang serba sempurna, ilmu ekonomi tidak memaksakan apa yang yang diteorikan harus diterapkan atau terjadi di dunia nyata.


Begitu buruknya reputasi ilmu ekonomi, sebagian orang menganggap Nobel ilmu ekonomi tak layak disejajarkan dengan Nobel bidang-bidang lainnya:

“The Economics Prize has nestled itself in and is awarded as if it were a Nobel Prize. But it’s a PR [public relation] coup by economists to improve their reputation ... It’s most often awarded to stock market speculators ... There is nothing to indicate that [Alfred Nobel] would have wanted such a prize,” Peter Nobel (http://www.thelocal.se/2173/20050928/)

Lalu kesimpulannya?

Kira-kira begini rekapnya:

  1. Fondasi ilmu ekonomi adalah konsep-konsep yang maju dan sekaligus kompleks 
  2. Namun kemudian terjadi reduksi konsep yang kompleks ini demi kenyamanan berteori (dan pengajaran)
  3. Begitu ada ketidakcocokan antara teori dan praktek, sebagian "oknum" ekonom justru menyalahkan mereka yang di dunia nyata

Inilah sebabnya kenapa sebagian orang sinis dengan keilmuan "ilmu" ekonomi. Selama kita hanya melihat ekonomi hanya sebagai rentetan rumus dan model elegan tanpa ada kepraktisan di dunia nyata, maka pantaslah kita memberi imbuhan "ideologi" di depan "ilmu ekonomi".

"Ideologi ilmu ekonomi"

Lalu apa yang mesti para ekonom lakukan? Saya bukan ekonom yang pantas mengajari ekonom lain, tapi boleh dong saya memberi saran ke diri saya sendiri.

Langkah pertama, bukalah diri terhadap ilmu-ilmu lain. Sejak beberapa dekade terakhir ilmu ekonomi telah banyak terpengaruh oleh cabang-cabang ilmu yang tidak terduga sebelumnya. Biasanya ilmu ekonomi dekat dengan ilmu politik dan matematika/statistika. Namun kini makin banyak penelitian yang menggabungkan konsep ilmu ekonomi dengan ilmu psikologi, neuroscience, biologi, hingga fisika. Bahkan tren di beberapa cabang ilmu ekonomi yang dulunya tidak dianggap kini mulai mengalahkan kepopuleran cabang ilmu ekonomi yang "tradisional".



Kedua, tidak semua yang tradisional itu buruk. Model-model ekonomi standar tetap mesti diajarkan, dengan menekankan bahwa ini demi menyederhanakan masalah yang kompleks, bukan mereduksinya. Lalu seperti yang saya bilang diatas, ilmu ekonomi umumnya dekat dengan ilmu politik. Oxford University, misalnya, menawarkan program S1 "Philosophy, Politics and Economics". Benar-salah ditilik dari sisi filosofi, untung-rugi ditimbang dari segi ekonomi, dan eksekusi ditinjau dari sisi politik, kira-kira begitu. 


Yes you are, sir

Ketiga, fokus pada kekuatan ilmu ekonomi. Selama bertahun-tahun belajar ilmu ekonomi, kerap kali saya mendengar istilah ilmu ekonomi sebagai the queen of social sciences. Maksudnya, ilmu ekonomi tidak cuma bisa mengatakan untung atau rugi, tapi seberapa besar untungnya atau seberapa besar ruginya. Ini terkait dengan kentalnya pengajaran ekonometrika dan statistika di bangku perkuliahan. Pakailah ekonometrika, tunjukkan kekuatannya, dan yang lebih penting: ketahui kelemahannya dan jujurlah dalam menyampaikan hasilnya.

Keempat, ilmu ekonomi bagi saya adalah ilmu tentang insentif. Misalnya, saya suka aktif di media sosial karena saya menikmati berbagi informasi (plus curhat tentunya) ke orang lain. Motivasi saya ini tentu tak bisa saya paksakan, orang lain mungkin melihat insentif untuk aktif di media sosial karena dibayar (jadi ingat #3macan2000). Karena itu penting buat kita untuk memahami apa saja insentif yang mungkin mempengaruhi individu-individu.

Kelima, praktekkan! Ini mungkin saran yang paling susah. Banyak teori ekonomi yang secara elegan memberi solusi bagi masalah sehari-hari, misalnya pajak untuk polusi, alokasi ideal untuk donor tubuh, dan bagaimana cara terbaik menentukan siapa yang layak mendapat bantuan langsung tunai.

Tentu kelima saran tadi tidak serta merta bisa membuat ilmu ekonomi jadi lebih terpakai di dunia nyata, tapi paling tidak mahasiswa yang belajar ilmu ekonomi++ ini bisa lebih merasa tercerahkan tentang bagaimana dunia disekitar mereka bekerja. Tentu tak jelek bukan kalau kita jadi lebih paham? ;)

09 November 2011

Ilusi Koordinasi

Telah sekian lama istilah koordinasi menjadi jargon andalan para pengambil keputusan terutama bagi mereka yang mengabdi pada negara. Salah satu tugas Bappenas, misalnya, adalah mengkoordinasikan program-program pembangunan berbagai kementerian. Namun begitu koordinasi sering menimbulkan benturan kepentingan, seperti pembentukan OJK, yang menunjukkan bahwa koordinasi bukan sesuatu yang mudah dicapai.

Dalam tulisan kali ini saya tak akan bertele-tele menjelaskan pentingnya (atau tidak pentingnya) koordinasi. Kali ini saya ingin menilik koordinasi dari konteks yang lebih sempit: koordinasi antar dua individu.

Battle of Sexes
Mempelajari koordinasi antara dua individu (suami-istri, dua teman baik, dst) bisa menjadi pegangan bagi kita yang ingin meninjau koordinasi pada tingkat yang lebih tinggi. Terkait koordinasi dua individu ini ada salah satu permainan (ya, permainan!) yang cukup terkenal dan relevan yang bernama battle of sexes. Kenapa disebut permainan? Sederhana, karena battle of sexes ini memiliki peraturan, strategi, pemain, dan imbalan.

Begini kurang lebih bentuk permainannya: ada dua individu (sebut saja Iwan dan Nungki) yang ingin menonton film serial (Bajaj Bajuri atau Putri yang Ditukar). Sayangnya selera Iwan berbeda dengan Nungki: Iwan lebih suka menonton Bajaj Bajuri (BB) sementara Nungki sudah mengikuti Putri yang Ditukar (PYD) sejak musim pertama. Walau begitu, karena Iwan dan Nungki saling menyayangi satu sama lain, mereka lebih senang bisa menonton film bersama daripada menonton film sendiri-sendiri. Secara sederhana permainan ini bisa digambarkan sebagai berikut:


Angka 0, 200, dan 600 hanya sebagai ilustrasi tingkat kesenangan mereka: makin tinggi makin senang. Misalnya jika mereka memutuskan menonton Bajaj Bajuri (BB-BB) maka tingkat kebahagiaan Iwan sebesar 600 (Nungki hanya 200), begitu pula sebaliknya untuk PYD-PYD. Namun jika mereka menonton sendiri-sendiri maka tingkat kebahagiaan mereka berdua adalah 0.

Dengan sekilas membandingkan berbagai pilihan di atas, pilihan terbaik (misal dari 10 kesempatan dalam sebulan) adalah menonton Bajaj Bajuri 5 kali dan Putri yang Ditukar juga 5 kali. Namun tentu saja Iwan dan Nungki tidak selalu bisa berkoordinasi seperti itu. Terkadang mereka menonton sendiri-sendiri (akibatnya adalah mereka tidak optimal dalam mendapat kebahagiaan).

Nah karena prediksi battle of sexes ini hanya berdasar logika, maka timbul pertanyaan: apakah benar faktanya demikian? Juga muncul pertanyaan lain: andai dimungkinkan koordinasi (satu arah atau dua arah), apakah hasilnya berbeda? Eksperimen berikut akan menjawab dua pertanyaan ini.

Eksperimen
Cooper dkk melakukan studi ini pada tahun 1990-an memakai 165 pasang pemain yang dari tiap pasang secara acak diberi peran sebagai seorang "Iwan" atau "Nungki" untuk kemudian memilih satu dari dua pilihan ("BB" atau "PYD"). Hasil eksperimen adalah sebagai berikut:


Bagaimana kita membaca tabel di atas? Begini caranya:

  • BOS (battle of sexes):  ini permainan standar seperti yang dijelaskan di atas. Dari 165 pasang pemain, hanya sekitar 20% (33 pasang) yang memilih strategi optimal (BB-BB atau PYD-PYD), mayoritas (59%) gagal melakukan koordinasi dan memilih untuk "menonton sendiri-sendiri."
  • BOS-1W (komunikasi satu arah): sebelum permainan dimulai, peserta yang berperan sebagai Nungki diberi hak untuk mengutarakan pilihannya (yaitu PYD). Hasil menunjukkan koordinasi satu arah semacam ini secara drastis meningkatkan pilihan pada PYD-PYD hingga 96%.
  • BOS-2W (komunikasi dua arah): kali ini sebelum permainan dimulai, "Iwan" maupun "Nungki" boleh berkomunikasi atau bernegosiasi sesuka mereka. Hasilnya... Kegagalan koordinasi tetap pada tingkat yang tinggi (42%).


Ilusi koordinasi?
Eksperimen di atas (dan berbagai eksperimen lainnya tentang koordinasi seperti studi oleh Dani Rodrik atau Rimawan Pradiptyo) menunjukkan sulitnya koordinasi dilakukan bahkan pada level individu.

Satu hal yang menarik untuk disebutkan di bagian penutup ini adalah bagaimana komunikasi satu arah ternyata lebih efektif dari komunikasi dua arah. Dengan kata lain: "mendikte" pasangan kita terkadang berujung pada pilihan optimal. Dan tentunya tiap pasangan harus melakukan koordinasi untuk menentukan siapa dan kapan seseorang harus mendikte, ha!


29 July 2011

Pentingkah Siami?

Pembaca yang aktif di situs jejaring sosial tentu menyadari fenomena "Koin untuk ..." (isi "..." dengan nama seseorang yang saat itu sedang populer karena suatu masalah), yang muncul dengan berbagai variannya. Yang terbaru, misalnya, perlakuan diskriminatif yang diterima Siami, memicu munculnya berbagai komentar, grup, tweets, dan pemberitaan luas di media massa. Saya yakin ada sebagian dari pembaca yang bertanya kenapa Siami mendapat begitu banyak perhatian dari masyarakat? Bukankah ada banyak korban-korban lain yang mungkin memiliki tingkat keparahan yang lebih tinggi? Sederhananya, kenapa masyarakat--pada satu waktu--lebih suka menaruh perhatian ke satu individu tertentu daripada ke suatu kelompok?


Kali ini saya ingin membahas ini dengan menyontek satu bab tentang empati dan emosi dari buku karangan Dan Ariely, salah satu proponen Behavioral Economics, yang berjudul The Upside of Irrationality.