11 May 2011

Mari memilih! Sebuah catatan singkat tentang political economy dan demokrasi.

Awalnya...
Belakangan berita-berita di media massa Indonesia dihebohkan dengan kelakuan anggota DPR yang melakukan "studi banding" di Australia. Heboh ngga cuma karena ngga tau alamat email Komisi mereka sendiri (yang belum tau bisa melirik ke playlist video ini yg diupload rekan-rekan PPIA Victoria http://www.youtube.com/user/ppiavic#grid/user/8ABED40E2D7A5635) tapi juga karena *katanya* tidak mampu menjawab substansi pertanyaan yang diajukan mahasiswa saat audiensi di KJRI Melbourne. Saya sendiri waktu itu diajak ke acara tersebut tapi tidak bisa hadir karena satu dan lain hal :p

Ini videonya :D




Banyak teman yang kemudian entah mengumpat atau sekedar menyesalkan sikap anggota DPR yang demikian. Namun kemudian terbersit di pikiran saya pertanyaan,

"Oke banyak orang-orang DPR ini memang *parah* kualitasnya, tapi opsi lain apa sih? Balik ke era otoriter? Apakah demokrasi ini pilihan paling optimal?"

Kebetulan sekali beberapa waktu sebelum kejadian heboh ini saya mendapat kesempatan belajar tentang political economy. Bahan acuannya adalah buku karangan Timothy Besley, pengajar di LSE, yang berjudul Principled Agents?: The Political Economy of Good Government. Salah satu argumen Besley dalam buku ini adalah:


Having election (democracy) is better than not having election

Kenapa demikian? Mari kita ulas dengan singkat...

Sejak Habil dan Qabil

Ya, sejak pertama kali kejahatan dilakukan umat manusia maka orang-orang hingga saat ini *secara kasar* terbagi menjadi dua: good guys v bad guys. Begitu juga politisi: ada politisi yang baik dan politisi yang hanya mencari kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Untuk kasus ini kita definisikan:

  • Congruent ("good") politician: politisi yang selalu melakukan hal yang "benar" ketika dihadapkan suatu masalah.
  • Dissonant ("bad") politician: politisi yang tidak selalu melakukan hal yang benar. Artinya dia kadang berbuat benar, tapi hanya jika menguntungkan kepentingan pribadinya sendiri.

Nah saya yakin pembaca sudah mengernyitkan dahi dari definisi awal diatas. Misal, tindakan "benar" itu apa saja? Untuk kasus ini kebijakan yang "benar" itu adalah suatu kebijakan yang secara nalar dan etis benar. Contoh: jika ada koruptor, ya ditangkap, ya diproses secara hukum. Contoh lain: saat krisis bikinlah kebijakan ekspansioner/stimulus fiskal. Saya tidak akan berpanjang lebar disini, mari kita lanjut ke bagian berikutnya.

Vox populi vox dei
Pemilihan umum! Ya, dalam model political economy ini terjadi pemilihan langsung oleh masyarakat. Nah untuk memudahkan analisis, pemilihan hanya dilakukan sekali (pada peralihan periode 1 dan 2) dan politisi bisa menjabat selama 2 periode. Dengan kata lain pada awal periode 1 pemilih menerima politisi yang menjabat dengan apa adanya dan tidak tahu apakah politisi yang berkuasa adalah congruent atau dissonant.

Namun seiring berjalannya waktu dalam periode 1, masyarakat bisa melihat perilaku si politisi dan lalu saat pemilu bisa memutuskan untuk memilih kembali (re-elect) politisi incumbent atau memilih calon lain. Nah disini menariknya! Menarik karena masyarakat melihat:

Politisi yang berbuat "benar" bisa karena dia memang benar-benar politisi baik/congruent atau dia sebenarnya politisi jahat/dissonant yang pura-pura berbuat benar agar dia dipilih kembali!


Dalam model ini pada periode 2 (yaitu setelah pemilihan umum) politisi baik selalu berbuat baik dan politisi jahat selalu berbuat jahat. Politisi jahat tidak ada alasan untuk berpura-pura lagi dan dia akan mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan kekuasaan yang dia miliki. Jadi kita kembali ke pertanyaan semula, "Apakah demokrasi itu pilihan terbaik?"

Demokrasi = dêmos + kratos
Yang kurang lebih artinya "people power". Ya, masyarakatlah sang pengadil terbaik (faktor Tuhan jangan dimasukkan disini dulu ya :D). Pada akhir periode 1, namun sebelum pemilu, masyarakat akan melihat bagaimana kinerja politisi-politisi ini. Pilihan mereka secara kasar dibagi menjadi 2 kelompok:

  • Politisi baik (termasuk yang berpura-pura baik): dipilih ulang
  • Politisi jahat: tidak dipilih ulang

Nah mengingat semua hal memiliki kemungkinan, maka selalu ada kemungkinan bahwa:

  • Ada politisi jahat yang berpura-pura baik (seperti yang sudah dijelaskan di awal)
  • Ada politisi baik yang ada di masyarakat (bukan incumbent)

Jadi apabila masyarakat memutuskan untuk tidak memilih ulang politisi incumbent maka...

... pemilu memungkinkan masyarakat memilih politisi baik yang saat ini belum menjabat. Ini berarti absennya pemilu membuat kemungkinan memilih politisi baik ini hilang.

Secara formal (baca: matematika) kesimpulan di atas bisa dibuktikan. Lihat bagian sedikit catatan di akhir tulisan ini.

To be or not to be ...
... that is not the question. Pertanyaannya adalah berapa besar kemungkinan:

  • Ada politisi jahat diantara politisi-politisi yang saat ini menjabat?
  • Berapa banyak politisi baik yang ada di masyarakat?
  • Berapa banyak calon politisi baik yang ada di masyarakat?
  • Berapa besar kemungkinan politisi jahat berpura-pura baik?
  • Berapa besar keuntungan yang didapat politisi jahat yang berpura-pura baik jika kemudian dia terpilih kembali?
  • Et cetera

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu diperlukan usaha agar informasi yang dimiliki masyarakat makin banyak agar mereka mampu melihat *dengan lebih baik* kinerja politisi-politisi yang kini menjabat. Selain itu juga penting menekankan adanya pembatasan masa jabatan dan sistem reward and punishment yang maknyus... Ah saya sudah mulai berklise ria.

Cukup sekian.

Salam.


Sedikit catatan
Pembuktian formal argumen di atas (maaf kalo dalam bahasa Inggris).
  • In period 1 citizens obtained πΔ from all good politicians (π) doing the right thing (e1 = s1). Then there is also probability (λ) that some dissonant politicians (1 – π) pretend to be good politicians (that is doing e1 = s1). Combining these two would results in V1= [π + (1 – π)λ]Δ.
  • In period 2 all politicians choose their short-term political decisions that maximises their own utility. In this period citizens will get two πΔ from good politicians who consistently do the right thing in period 1 and 2. However, if citizens perceive that the politician is dissonant and choose to select another politician randomly, the probability of getting congruent politician at this period is reflected by a fraction of {1 – [π + (1 – π)λ]}. Therefore payoff in period 2 is V2 = {1 – [π + (1 – π)λ]}πΔ + πΔ. Thus the expected value of total citizens welfare is W = V1 + βV2 where β is the discount factor which takes value between 0 and 1.
  • The consequence of no election is that there is no incentive for dissonant politicians to do pretence. Therefore congruent politicians will always do the right thing (citizen’s payoff on period 1 and 2 = (1 + β)πΔ) and dissonant politicians will always do the bad thing (citizen’s payoff on period 1 and 2 = 0). Then people's welfare when there is no election is W’ = (1 + β)πΔ.
  • The difference between having elections and not:
W − W' = [π + (1 − π)λ]Δ + β{1 − [π + (1 − π)λ]}πΔ + βπΔ − π(Δ + βΔ)
= (1 − π)λΔ + β{1 − [π + (1 − π)λ]}πΔ
= (1 − π)λΔ + β(1 − π)(1 − λ)πΔ
> 0
since 0 < π < 1, 0 < λ < 1, 0 < β < 1, and Δ > 0.

No comments: