01 November 2012

Religiusitas di kala krisis

Setelah terakhir kali berbincang tentang berbagai metode penentuan siapa yang layak mendapatkan BLT, kali ini saya ingin berbagi tentang kaitan antara krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997/1998 lalu dengan religiusitas warganya yang ditulis oleh Daniel L. Chen.

Saat pertama kali saya membaca judul artikel "Club Goods and Group Identity: Evidence from Islamic Resurgence during the Indonesian Financial Crisis", hal pertama yang terbersit di kepala saya adalah... jeng jeeeeng!!

Ini Islamist insurgence, bukan resurgence
Tapi setelah mengecek ulang artinya, ternyata kata resurgence bermakna "pembaruan" atau "kebangkitan", berbeda dengan insurgence yang berarti "pemberontakan" yang saya bayangkan sebelumnya :D

Nah, jadi artikel ini ternyata mengulas kaitan antara krisis ekonomi dengan bangkitnya ke-Islam-an di Indonesia. Karena keterbatasan data, ke-Islam-an disini didefinisikan sebagai partisipasi di pengajian dan sekolah Islam (madrasah dan pesantren). Jadi apa yang mereka temukan?

Pertama, krisis tahun 1997/1998 mengakibatkan jatuhnya pendapatan riil rumah tangga akibat tingginya inflasi (±78%). Kemudian mengingat 90% warga Indonesia mayoritas mengaku beragama Islam, maka dampak absolut paling besar dari krisis ini menimpa kelompok ini. Chen lalu menghitung dampak jatuhnya pendapatan (yang diproksi dengan pengeluaran) terhadap partisipasi dalam mengikuti pengajian. Hasilnya: jika pendapatan kita jatuh, kita cenderung lebih sering ikut pengajian. Menarik!

Kenduri Cinta oleh Cak Nun. Yang begini termasuk pengajian gak ya?
Kedua, serupa dengan pengajian, keluarga yang pendapatannya jatuh juga cenderung lalu menyekolahkan anaknya ke madrasah atau pesantren, padahal rata-rata biaya di sekolah Islam lebih tinggi dari sekolah negeri!
Sedikit catatan tentang metodologi: dalam menghitung dua temuan diatas, Chen menginstrumen pendapatan dengan luas lahan sawah basah dan apakah individu bekerja sebagai pegawai negeri. Cek ini untuk tahu apa itu instrumental variable method.
Kembali ke temuan penelitian, sebagian pembaca pasti berpikir, "ah jangan-jangan ini gak cuma terjadi di pengajian saja?" Tapi ternyata setelah mengestimasi ulang model regresinya, Chen menemukan bahwa dampak ini hanya terjadi di pengajian dan tidak terjadi di aktivitas lain seperti karang taruna, olahraga, dasawisma, maupun PKK. Bahkan khusus untuk arisan, jatuhnya pendapatan menyebabkan partisipasi di arisan menurun, temuan yang wajar menurut saya.

Ibu-ibu PKK memecahkan rekor mencuci baju terbanyak versi MURI
Kemungkinan lain, orang yang jatuh pendapatannya mungkin punya banyak waktu luang dan karenanya jadi punya kesempatan untuk ikut pengajian. Chen mengatakan bahwa mereka yang paling parah terimbas krisis justru yang paling mau bekerja keras pasca krisis. Nah disini saya agak tidak yakin dengan argumen Chen tadi karena tidak secara eksplisit mengaitkan antara "bekerja keras setelah krisis usai" dengan "punya banyak waktu untuk ikut pengajian".

Temuan lain yang menarik adalah ternyata dengan berpartisipasi di pengajian maka kemungkinan menerima sedekah jadi turun. Artinya, ikut pengajian bisa sedikit mengurangi kebutuhan sehari-hari. Contoh sederhananya, dengan ikut pengajian maka kita dapat ta'jil--atau syukur-syukur bancakan--jadi kita merasa tercukupi, tak perlu menerima sedekah :))

Ini lho bancakan
Nah yang lebih menarik lagi, ternyata kalau di desa atau kecamatan tempat kita tinggal ada lembaga keuangan seperti bank, maka partisipasi di pengajian malah turun saat pendapatan kita jatuh. Jadi ini menguatkan temuan sebelumnya kalau ikut pengajian bisa agak menggantikan peran lembaga formal seperti bank. Dampak krisis terhadap pengajian ini lebih berasa jika desa tempat kita tinggal memiliki ketimpangan pendapatan yang relatif tinggi.

Penelitian yang diterbitkan di Journal of Political Economy tahun 2010 lalu ini memberi cukup banyak informasi tentang bagaimana masyarakat muslim bereaksi terhadap jatuhnya pendapatan saat krisis terjadi. Meski begitu kita mesti cermat dalam membaca metodologi dan hasil di penelitian ini, misalnya mengenai waktu luang yang tadi saya singgung diatas. Selain itu penelitian memakai data rumah tangga, dimana hasil penelitian mungkin hanya mencerminkan preferensi kepala rumah tangga pemberi informasi dan bukan seluruh anggota rumah tangga. Data yang dipakai di penelitian ini bisa diunduh disini.

Sebagai penutup, judul yang dipakai oleh Chen ini menurut saya agak lebay. "Pembaruan Islam" tentu sangat tereduksi maknanya jika kita hanya melihat naiknya partisipasi di pengajian dan sekolah Islam. Ah tapi rasanya munafik kalau saya bilang begitu tapi ga pernah ikut pengajian, jadi ikut pengajian (online), yuk!

Video pengajian Habib Luthfi Pekalongan

31 October 2012

Ideologi ilmu ekonomi


Selama bertahun-tahun belajar "ilmu" ekonomi di kampus, saya menemukan pola perkuliahan yang jamak dilakukan baik di kampus di Indonesia maupun di luar negeri. Pola perkuliahan ini biasanya diawali dengan mewajibkan mahasiswa tahun pertama untuk mengambil mata kuliah ekonomi mikro, ekonomi makro, dan matematika ekonomi. Lalu di tahun kedua fakultas biasanya mewajibkan mahasiswa mengambil mata kuliah ekonometri.

Nah, di mata kuliah "keramat" bernama ekonomi mikro dan makro inilah kami disihir dengan berbagai model ekonomi yang begitu kompleks namun juga elegan, yang seakan bisa menggambarkan bagaimana manusia mengambil pilihan-pilihan sehari-hari. Misalnya kami diajari mengapa terlalu banyak menabung itu tidak baik, mengapa seorang tukang bakso mau menerima secarik kertas bertuliskan "Rp10.000", dan yang paling penting: bagaimana cara kita mencari untung sebanyak-banyaknya dengan ongkos sekecil-kecilnya. Itulah "ilmu" ekonomi.


Lalu apa masalahnya?

Masalahnya adalah 95% dari apa yang kami terima di ekonomi mikro, makro, ataupun ekonometri tidak terpakai di dunia kerja! Kecuali kami bekerja di lembaga penelitian atau kampus, sedikit sekali dari berbagai ilmu elegan yang kami terima dulu yang dipakai oleh kantor tempat kami bekerja. Bahkan dalam dunia penelitian pun acap kali terdapat gap yang lebar antara ilmu yang kami dapat (terutama untuk freshgraduate S1) dengan apa yang mesti kami teliti.


Kalau di dunia kerja saja ga berguna, bagaimana di percintaan? :D



Kenapa ini bisa terjadi?

Pertama, kita mesti menilik ke sejarah ilmu ekonomi. Fondasi ilmu ekonomi modern--terlepas dari kontroversi soal siapa yang sebenarnya memulai--dibangun oleh Adam Smith pada abad ke-17. Adam Smith melihat bahwa feodalisme mengekang kebebasan manusia dalam berkehidupan: barang dan uang dimonopoli oleh segelintir penguasa dengan memperbudak bagian besar rakyat. Adam Smith mendobrak konsep ini dengan konsep kebebasan berkeadilan, dimana rakyat sendirilah yang semestinya menentukan nasib dirinya sendiri. Jika seseorang lebih suka menanam gandum, maka biarlah dia menanam gandum, toh kalau gandumnya tidak terjual ya yang rugi si petani gandum itu sendiri. Seorang petani gandum yang rasional akan melihat bahwa lebih menguntungkan untuk, misalnya, berjualan baju daripada menanam gandum. Inilah sesungguhnya konsep invisible hand yang terkenal itu...

Sayangnya dalam pengajaran ilmu ekonomi konsep invisible hand secara derogatif diartikan "biarkan pasar yang menentukan segalanya". Ini tentu salah besar. Ingat, sang petani gandum akan beralih profesi menjadi penjual baju kalau dia rasional dan individu-individu lain juga berlaku rasional

Ilmu ekonomi sebenarnya mengajarkan tentang konsep rasionalitas, namun sayangnya konsep ini diajarkan secara sempit dan kaku. Sebagian beralasan: demi menjaga elegansi teori ilmu ekonomi itu sendiri! Ini membolak-balik nalar! Kita belajar ilmu ekonomi agar kita paham tentang apa yang terjadi sehari-hari, bukan agar kita memaksakan apa yang diteorikan dengan kenyataan. Tentunya model-model ekonomi ini bukan tak berguna, dia adalah "peta" bagi kehidupan sehari-hari, namun bukan berarti "peta" yang dibuat di abad ke-17 masih layak dipakai di abad ke-21.


Peta dunia yang dibuat 4000 tahun yang lalu 

Sekarang kita melompat ke masa kini. Krisis ekonomi global yang terjadi tahun 2008 lalu mencoreng muka para ekonom yang gagal memprediksi terjadinya krisis ini. Meski sebagian ekonom mengakui dengan besar hati kegagalan mereka, tapi beberapa ekonom justru menyalahkan para pejabat yang mengambil keputusan tanpa berpegang pada prinsip ekonomi. Sekali lagi, dunia terbolak-balik. Ilmu ekonomi mengajarkan apa yang idealnya terjadi di dunia yang serba sempurna, ilmu ekonomi tidak memaksakan apa yang yang diteorikan harus diterapkan atau terjadi di dunia nyata.


Begitu buruknya reputasi ilmu ekonomi, sebagian orang menganggap Nobel ilmu ekonomi tak layak disejajarkan dengan Nobel bidang-bidang lainnya:

“The Economics Prize has nestled itself in and is awarded as if it were a Nobel Prize. But it’s a PR [public relation] coup by economists to improve their reputation ... It’s most often awarded to stock market speculators ... There is nothing to indicate that [Alfred Nobel] would have wanted such a prize,” Peter Nobel (http://www.thelocal.se/2173/20050928/)

Lalu kesimpulannya?

Kira-kira begini rekapnya:

  1. Fondasi ilmu ekonomi adalah konsep-konsep yang maju dan sekaligus kompleks 
  2. Namun kemudian terjadi reduksi konsep yang kompleks ini demi kenyamanan berteori (dan pengajaran)
  3. Begitu ada ketidakcocokan antara teori dan praktek, sebagian "oknum" ekonom justru menyalahkan mereka yang di dunia nyata

Inilah sebabnya kenapa sebagian orang sinis dengan keilmuan "ilmu" ekonomi. Selama kita hanya melihat ekonomi hanya sebagai rentetan rumus dan model elegan tanpa ada kepraktisan di dunia nyata, maka pantaslah kita memberi imbuhan "ideologi" di depan "ilmu ekonomi".

"Ideologi ilmu ekonomi"

Lalu apa yang mesti para ekonom lakukan? Saya bukan ekonom yang pantas mengajari ekonom lain, tapi boleh dong saya memberi saran ke diri saya sendiri.

Langkah pertama, bukalah diri terhadap ilmu-ilmu lain. Sejak beberapa dekade terakhir ilmu ekonomi telah banyak terpengaruh oleh cabang-cabang ilmu yang tidak terduga sebelumnya. Biasanya ilmu ekonomi dekat dengan ilmu politik dan matematika/statistika. Namun kini makin banyak penelitian yang menggabungkan konsep ilmu ekonomi dengan ilmu psikologi, neuroscience, biologi, hingga fisika. Bahkan tren di beberapa cabang ilmu ekonomi yang dulunya tidak dianggap kini mulai mengalahkan kepopuleran cabang ilmu ekonomi yang "tradisional".



Kedua, tidak semua yang tradisional itu buruk. Model-model ekonomi standar tetap mesti diajarkan, dengan menekankan bahwa ini demi menyederhanakan masalah yang kompleks, bukan mereduksinya. Lalu seperti yang saya bilang diatas, ilmu ekonomi umumnya dekat dengan ilmu politik. Oxford University, misalnya, menawarkan program S1 "Philosophy, Politics and Economics". Benar-salah ditilik dari sisi filosofi, untung-rugi ditimbang dari segi ekonomi, dan eksekusi ditinjau dari sisi politik, kira-kira begitu. 


Yes you are, sir

Ketiga, fokus pada kekuatan ilmu ekonomi. Selama bertahun-tahun belajar ilmu ekonomi, kerap kali saya mendengar istilah ilmu ekonomi sebagai the queen of social sciences. Maksudnya, ilmu ekonomi tidak cuma bisa mengatakan untung atau rugi, tapi seberapa besar untungnya atau seberapa besar ruginya. Ini terkait dengan kentalnya pengajaran ekonometrika dan statistika di bangku perkuliahan. Pakailah ekonometrika, tunjukkan kekuatannya, dan yang lebih penting: ketahui kelemahannya dan jujurlah dalam menyampaikan hasilnya.

Keempat, ilmu ekonomi bagi saya adalah ilmu tentang insentif. Misalnya, saya suka aktif di media sosial karena saya menikmati berbagi informasi (plus curhat tentunya) ke orang lain. Motivasi saya ini tentu tak bisa saya paksakan, orang lain mungkin melihat insentif untuk aktif di media sosial karena dibayar (jadi ingat #3macan2000). Karena itu penting buat kita untuk memahami apa saja insentif yang mungkin mempengaruhi individu-individu.

Kelima, praktekkan! Ini mungkin saran yang paling susah. Banyak teori ekonomi yang secara elegan memberi solusi bagi masalah sehari-hari, misalnya pajak untuk polusi, alokasi ideal untuk donor tubuh, dan bagaimana cara terbaik menentukan siapa yang layak mendapat bantuan langsung tunai.

Tentu kelima saran tadi tidak serta merta bisa membuat ilmu ekonomi jadi lebih terpakai di dunia nyata, tapi paling tidak mahasiswa yang belajar ilmu ekonomi++ ini bisa lebih merasa tercerahkan tentang bagaimana dunia disekitar mereka bekerja. Tentu tak jelek bukan kalau kita jadi lebih paham? ;)

04 April 2012

Tentang subsidi BBM


  1. Tweeps kali ini saya ingin ikut berkicau ttg pencabutan subsidi BBM. Masa saya yg dari dl belajar ekonomi malah tidak turut berpendapat?
  2. Saya rasa sudah banyak ekonom yg berargumen tentang knp subsidi BBM mesti dicabut. Ini dokumen resminya dari Wapres:  
  3. Pada dasarnya subsidi BBM dicabut krn lebih menguntungkan org yg tidak miskin, dlm artian mereka yg mampu beli mobil/motor.
  4. Saya bilang org yg tidak miskin, krn mayoritas masyarakat Indonesia adalah kelas menengah: kaya engga, miskin juga engga.
  5. Subsidi BBM (aktual) mencapai hampir Rp200 triliun (20% dari APBN Pemerintah Pusat 2012, 2x lipat gaji & tunjangan PNS Pusat).
  6. Tweeps tentu sudah tahu soal subsidi ini, jd fokus saya adalah mencoba menjawab argumen2 yg sering muncul di permukaan.
  7. "Drpd cabut subsidi mending hapus korupsi." Pertama, jelas ini ada perbedaan dimensi krn subsidi dalam APBN dimensinya tahunan ...
  8. ... sementara korupsi sudah mengakar sejak puluhan tahun. Kedua, Korupsi bkn cm soal duit, tp jg soal mental, birokrasi, institusi, dll.
  9. Sementara subsidi BBM jauh lebih sederhana: APBN kita akan goyah jika tetap membayar subsidi sebegitu besar. Bgmn nasib program2 lain?
  10. Ketiga, harga BBM mengikuti harga minyak dunia. Artinya jika harga minyak dunia turun, ya harga BBM bisa jadi turun (pernah terjadi).
  11. "Pengeluaran utk BBM itu besar porsinya bagi rakyat miskin tp kecil bagi org kaya." Betul, tp ingat BBM bs dibeli siapa sj, miskin/kaya.
  12. Mengingat org miskin <20% penduduk, maka 80% sisanya-lah yg menikmati subsidi itu. Fair?
  13. Kalo mau main devil’s advocate, sebenarnya pos belanja kaum miskin itu seperti apa sih? Ada studi kl kaum miskin diberi subsidi uang...
  14. ... uang itu bukan buat beli makanan pokok, tp buat makanan yg lebih "mewah", plus hal2 lain kayak rokok.
  15. Nah saya pernah denger kalo porsi buat rokok & pulsa hp besar. Knp ga protes k Sampoerna & Telkomsel kalo gitu? Rokok + pulsa mahal lho.
  16. "Drpd cabut subsidi mending naikin pajak." Sama seperti korupsi, ada perbedaan dimensi disini. Naikin penerimaan pajak tdk bs seketika.
  17. Lagipula, yakin lo mau dipajaki lagi sama pemerintah?
  18. Ingat Indo beruntung bs tumbuh 5-6% di tengah krisis global. Ekonomi tumbuh artinya penerimaan pajak cukup besar, bayangkan jika resesi.
  19. “BBM naik tapi transport jelek.” Apakah dengan BBM tidak naik transport jadi baik? Counterfactual...
  20. Justru dengan BBM naik maka ada keleluasaan anggaran utk membenahi transport. Walau diakui kl pajak kita ga earmarked utk transport dll.
  21. “Harga BBM > harga sekali makan, tidak seperti di luar negeri dimana harga BBM<makanan.” Luar negeri mana dulu? Di Filipina...
  22. ... di Filipina harga BBM (tanpa subsidi) sekitar Rp12 ribu, harga Big Mac sekitar Rp25 ribu, sama seperti di Indonesia. Lebih parah.
  23. Kalo perbandingannya dengan negara maju jelas tidak fair, namanya juga negara maju pendapatannya pasti tinggi juga, biaya hidup jg tggi.
  24. Kl bandingin dg Saudi atau Venezuela juga sama saja bohong, secara 2 negara itu eksporter minyak sementara Indonesia importir BBM.
  25. “BBM naik, harga2 naik, beban hidup naik.” Ini memang problem paling besar. Masalahnya, apa opsi lain pemerintah?
  26. Naikin pajak & berantas korupsi? Tdk bisa dlm waktu dekat. Potong anggaran? Sudah dilakukan (paling tdk menurut dokumen Wapres diatas).
  27. Hutang dlm negeri? Surat utang negara udah byk diterbitkan, kita tidak mau sembrono menerbitkan tanpa yakin kita bs bayar bunga+pokok.
  28. Pinjam lembaga asing (World Bank)? Apa yakin WB mau kasih pinjaman secara mereka yg advocate hapus subsidi.
  29. Do nothing? Berarti hrs ada pos2 lain yg dikorbankan, korban kuantitas maupun kualitas. Subsidi nambah Rp53 triliun itu banyak bung!
  30. “BBM naik tapi tidak ada jaminan sosial.” Reverse causality: terbatasnya jaminan sosial krn keterbatasan anggaran.
  31. Sangat menggoda bagi kita untuk mengait2kan isu BBM dengan isu2 lain seperti jaminan sosial, transportasi, listrik, renewable energy...
  32. ... masalahnya, semua “meminta” duit: jamsos butuh duit, begitu pula utk transport umum & energi terbarukan. Jika semua “meminta” duit..
  33. Trus duit siapa dong yg dikorbankan? Zero-sum game. Jika mau subsidi BBM, ya yg lain mesti berkorban, entah transportnya atau jamsosnya.
  34. Akhirul kalam, jika saya ditanya apakah suka BBM naik? Jelas jawabnya TIDAK. Siapa sudi membayar lebih mahal untuk barang yang sama?
  35. Tapi jika pertanyaannya “apakah sebaiknya harga BBM naik?” Maka jawabnya, YA. “Paradoks” ini adl cerminan dari teori ekonomi...
  36. Konsumen (kaya-miskin) ingin dpt untung sebanyak2nya, sementara pemerintah ingin redistribusi kekayaan (si kaya ke si miskin via APBN).
  37. Jika pemerintah terbelenggu dengan APBN maka tidak ada cara lain selain memotong pos yg paling tidak tepat sasaran: subsidi BBM.
  38. Sengaja saya tidak berkicau tentang BLT dan isu2 politik, biarlah mereka yg tau soal itu yg bercerita :)
  39. Sekian twit saya kali ini. Terima kasih. *siap2 dicap neolib, ga populis, dan ga merakyat*