12 May 2016

Precariat: The vulnerable middle class

Last month, I attended a lecture by Guy Standing, a prominent British academic cum social activist. His fame was largely built around his book The Precariat: The New Dangerous Class written in 2011 out of a growing concern for the specter of burgeoning temporary workers with neither careers nor job security.

The book takes London as its main setting and looks at industrialized cities in the UK and European countries post the hard-hitting global financial crisis hit hard in 2008.

He warned of the fragility of the precariat group whilst urging politicians and policymakers to take serious concern regarding this worrying trend amid widening inequality.

Within the context of Indonesia, vulnerability is at the heart of the social welfare problem. As early as the mid-20th century, JH Boeke first mentioned the dualistic economy with regard to widespread informality in various sectors.

Today, it is estimated that almost 70 percent of workers rely on traditionally insecure jobs such as seasonal labor and or casual work. It has been acknowledged that a large portion of unregulated informality lends itself to intersecting problems surrounding gender, child labor, working conditions, low income and many other issues.

Although labor law in Indonesia is considered among the most rigid and inflexible in the region, trends in industrial relations show that employers are increasingly inclined to recruit temporary, contractual, or outsourced labor.

Subsequently, an alarming number of career-less workers without sustainable income, with less shock protection, has been created. The shift to temporary labor is part of a global business practice to optimize profit. Yet, the advantage gained from the commodity boom and the rising “middle class” has masked these issues.

The middle class segment, particularly in emerging economies, is usually defined and measured based on income or spending range. However, alternative measurement using proxies such as ownership of certain durable assets or savings might infer that this group is susceptible to falling into the poverty category. Generally, those consumption patterns that separate them from the poor are not enough to secure their new found prosperity.

Arguably, the increasing middle class does not necessarily translate into the significant welfare progression of an entire society. In many emerging economies, including Indonesia, rising incomes has also meant rising inequality. If we refer to the Gini index, which measures inequality using household expenditure, an increasing trend has been highlighted — even more worrying in terms of assets or land ownership disparity — for the last five years, the gap between the rich and poor is becoming increasingly wide, both in urban and rural areas.

While poverty rates have been declining steadily in the last decade, given the method and definition used by Central Statistics Agency ( BPS ), we should remain aware that the vulnerable group might be larger than official records. The disparity often becomes clear when the government sets up direct assistance programs such as cash transfers or healthcare cards.

Recently, the data base has suggested that around 96 million individuals or the lowest 40 percent of the total population fall into the vulnerable group.

Another important issue is the increasing rate of the working-age population or the “demographic dividend”. The term sounds positive. However, this demographic shift should be an early warning to social planners and policymakers.

Most of the labor force are only equipped with elementary-level education and possess minimal skill, making them suitable only to lower-level occupations or informal jobs with meager income.

We should acknowledge the endeavor of the government and stakeholders in establishing social protection systems although these may still be in the inception phase. Indeed, social security laws and its carriers need to be improved and extra effort is required to tackle the problems surrounding social welfare, including provision for old-age maintenance and more importantly employment creation.

Reducing informality and creating decent employment is not an easy task. Most employers will be hesitant to increase operating costs. Therefore, incentives to opt for formalization should be designed appropriately without reducing competitiveness towards the era of open market and free labor mobility.

Given the potential for profound impact, a number of key issues need to be addressed so as to ensure a
viable and favorable investment climate. Taken together, there is a need for a thorough review of the industrial relations, balancing interests between employers, labors, and government as regulator and enhancing human resource capability through intensive capacity building.
_______________________________________

Posted in The Jakarta Post: Wed, May 4 2016 | 08:13 am
The original article can be found here or fetched from here 

07 December 2015

Refleksi tentang Pembangunan Kesejahteraan


AWAL tahun ini Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data terbaru kemiskinan. Meskipun terdapat penurunan jumlah penduduk miskin dari 28,3 juta jiwa (10,96 persen populasi) menjadi 27,7 juta jiwa (11,25 persen), tersirat adanya perlambatan laju turunnya angka kemiskinan. Akumulasi laju penurunan tingkat kemiskinan selama kurun sepuluh tahun terakhir sebesar 5,74 persen. Namun, tahun ini laju penurunan hanya 0,29 persen atau jauh di bawah rata-rata dekade terakhir sebesar 0,57 persen.

Melambatnya laju penurunan kemiskinan disebabkan berbagai faktor. Faktor utama adalah berkurangnya peran pertumbuhan ekonomi dalam penciptaan lapangan kerja dan kesejahteraan. Teori-teori konvensional yang mengagung-agungkan efek rembesan (spillover) terbukti usang. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sektor manufaktur yang digadang-gadang sebagai andalan penyerap tenaga kerja ternyata semakin bersifat padat modal.

Faktor kedua adalah keberadaan kelompok sangat miskin (extreme poor atau hardcore poor) yang susah dientaskan. Berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan sejak lama umumnya berhasil mengentaskan sebagian besar kelompok miskin penerima bantuan. Namun, hal tersebut ternyata menyisakan sebagian kelompok tertentu seperti penyandang disabilitas berat dan lanjut usia telantar yang memerlukan bantuan khusus secara intensif, bahkan sepanjang hayat. Persoalan itu hanya dapat diselesaikan dengan implementasi sistem bantuan sosial yang terarah dan efektif. Untung, perubahan mekanisme subsidi BBM yang dimulai tahun ini akan memberikan ruang fiskal yang cukup besar. Tidak kurang dari Rp 140 triliun akan tersedia bagi perluasan dan pengembangan program perlindungan sosial mulai tahun anggaran 2015.

Melihat pengalaman sebelumnya, strategi pengentasan kemiskinan melalui penciptaan stimulus ekonomi terbukti kurang efektif. Untuk menghadapi persoalan tersebut, setidaknya terdapat dua cara: mengakselerasi laju pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya dan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Gustav Papanek, pakar ekonomi yang mendalami Indonesia sejak akhir 1950-an, mengatakan, dengan kisaran pertumbuhan ekonomi saat ini (5 persen), hanya akan tercipta satu juta lapangan kerja baru yang layak. Lebih lanjut dia berpendapat, untuk mencapai laju pertumbuhan dua digit, akan diperlukan reformasi yang sungguh-sungguh. Khususnya di bidang perizinan usaha, pemberian insentif usaha, upah buruh, dan penciptaan lapangan kerja di pedesaan.

Kemiskinan adalah persoalan klasik yang umumnya terjadi di tiga tempat. Yaitu, sektor pertanian, sektor informal, dan kawasan pedesaan. Data BPS terbaru menunjukkan bahwa 61,4 persen kelompok miskin tinggal di desa. Meskipun demikian, sektor pertanian sudah tidak dapat diandalkan sebagai pencipta lapangan kerja dan pemberi imbalan yang layak. Sebanyak 34 persen dari angkatan kerja pada 2014 mengandalkan sektor pertanian sebagai mata pencaharian utama, menurun dari kisaran 44 persen pada 2004. Hal tersebut menunjukkan sempitnya (atau tidak atraktifnya) bekerja di sektor agraris. Fakta bahwa kelompok petani gurem dan buruh tani mendominasi struktur pekerja mengindikasikan rendahnya kesejahteraan pekerja. Salah satu terobosan yang dapat dilakukan adalah memperkuat aspek pemberdayaan masyarakat pedesaan dengan memanfaatkan alokasi anggaran khusus sebagaimana amanat UU Desa yang disahkan tahun lalu.

Profil demografis kesejahteraan di Indonesia saat ini didominasi oleh populasi kelompok ”rentan” atau ”hampir miskin” yang sangat rawan jatuh ke golongan miskin. Fakta itu dapat dilihat pada perhitungan Bank Dunia yang menunjukkan bahwa 75 persen rumah tangga masih berada dalam kategori rentan. Guna mengatasi masalah tersebut, perhatian khusus perlu ditujukan pada pemeliharaan kesejahteraan melalui mekanisme jaminan sosial untuk melindungi masyarakat dari guncangan ekonomi. Relevan dengan hal tersebut, penyiapan pelaksanaan jaminan ketenagakerjaan yang sesuai amanat UU BPJS akan dimulai pada pertengahan tahun ini untuk melengkapi jaminan kesehatan nasional yang telah dimulai pada 2014. Perhatian khusus perlu diberikan pada aspek pengelolaan dana iuran serta penghitungan manfaat yang akan diterima oleh pekerja.

Selain persoalan kemiskinan yang belum selesai, gejala peningkatan ketimpangan kesejahteraan selama lima tahun terakhir juga perlu diwaspadai. Sebagaimana yang ditulis oleh Thomas Piketty tahun lalu, laju ketimpangan yang meningkat dikhawatirkan mengancam tatanan masyarakat yang ideal. Ketimpangan secara mencolok dapat ditemui di perkotaan dengan tren yang meningkat secara drastis. Pertumbuhan yang Jawa-sentris turut memperparah kondisi tersebut. Strategi yang dapat diambil adalah menerapkan pola perpajakan yang lebih adil serta menciptakan pusat pertumbuhan di kawasan luar Jawa.

Tahun ini menandai berakhirnya masa pelaksanaan Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs) serta dimulainya era baru pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yang segera difinalkan dalam waktu dekat. Dalam konteks tersebut, perlu digagas sasaran-sasaran pembangunan yang lebih luas dan inklusif untuk melengkapi serta memperbaiki hasil yang telah dicapai pada era sebelumnya. Namun, berbagai indikator yang ada dalam SDGs hendaknya tidak diadopsi mentah-mentah. Melainkan sebaiknya diselaraskan dengan arah dan konsep pembangunan sebagaimana yang tertuang dalam dokumen rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) di tingkat pusat maupun daerah. (*)

Diambil dari artikel yang dimuat di SKH Jawa Pos, 20 Februari 2015. Dapat diunduh disini atau akses disini.

06 March 2014

Literatur Ekonomi Indonesia (1)

Sudah banyak sumber literatur mengenai perekonomian Indonesia, namun belum terlalu banyak yang kredibel dan berpengaruh besar. Kalangan ekonom dan akademisi umumnya mengandalkan publikasi ilmiah dalam bentuk jurnal akademis. Dalam lingkup yang lebih luas, jurnal internasional yang kredibel menjadi rujukan dan wahana penyampaian karya ilmiah secara aktual. Kredibilitas dan kualitas jurnal akademis internasional diukur melalui impact factor yang merupakan penghitungan rata-rata jumlah sitasi (pengutipan) suatu artikel dalam satu jurnal ilmiah peer-review.


Salah satu jurnal ilmiah mengenai perekonomian Indonesia adalah Bulletin of Indonesian Economic Studies (BIES) yang terbit sejak tahun 1965. Dikelola oleh Australian National University, terbitan ini mendapat tempat khusus di kalangan akademisi internasional. Diterbitkan setiap caturwulan (3 kali terbit dalam setahun), BIES berisi kumpulan artikel analisis mendalam tentang perkembangan ekonomi Indonesia, pandangan editorial, ulasan buku, rangkuman prosiding konferensi, ringkasan thesis/disertasi, dan beberapa rubrik mengenai profil para ekonom terkemuka, baik yang masih hidup maupun sudah meninggal dunia (obituari). Akses terhadap jurnal ini relatif mudah (khususnya bagi kalangan akademisi) karena secara elektronik dikelola oleh Taylor and Francis Online, sindikasi yang menyediakan literatur secara online ke banyak lembaga pendidikan tinggi.  Jurnal ini mendapatkan skor impact factor (IF) sebesar 1.33 di tahun 2012, lebih tinggi daripada publikasi internasional sekelas Economica (1.22) dan tidak terlalu jauh dibanding jurnal bidang ekonomi dengan IF tertinggi, Econometrica (3.37). Patut diduga bahwa tingginya skor IF didapat dari artikel reguler BIES bertitel Survey of Recent Development. Artikel rutin yang hadir di setiap terbitan BIES ini berisi analisis perkembangan ekonomi termutakhir dengan gaya bahasa Inggris ilmiah dan data akurat sehingga mampu menciptakan daya tarik bagi para pakar internasional. Di Indonesia, BIES diterbitkan dan diedarkan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS).

Artikel singkat ini akan membedah isi BIES secara berseri. Posting kali ini secara khusus mengulas terbitan BIES edisi pertama. Terbit pada bulan Juni 1965, BIES edisi perdana menyajikan 3 artikel dan 1 catatan. Dengan menggunakan format cetakan mesin ketik, BIES No.1 langsung mengangkat tema yang relevan pada saat terbit yakni sosialisme dan produktivitas beras. Tidak mengherankan karena pada waktu itu Orde Lama sedang dalam periode puncak glorifikasi ideologi kiri. Survey of Recent Development (SoRD) ditaruh sebagai artikel pembuka, tradisi yang masih berlangsung hingga kini, SoRD perdana ini disusun dengan gaya reportase yang diberi sub-judul: economic policy, foreign trade, government finance, inflation, production, transport and administration. Nama penyusun artikel ditulis hanya menggunakan inisial, masing-masing adalah S.A.; J.G.; dan L.C.



SoRD secara ringkas menceritakan kebijakan ekonomi di bawah kendali Presiden Sukarno yang dipenuhi dengan slogan-slogan khas bernuansa nasionalisme seperti "berdikari" dan "banting stir". Suasana revolusi dan perjuangan mempertahankan kedaulatan turut mewarnai kebijakan, yang pada puncaknya mampu mengorbankan rasionalitas (misalnya penyelenggaraan Ganefo dan pembangunan Monas di tengah ekonomi yang bergejolak). Neraca perdagangan yang defisit, diperparah oleh penghentian kerjasama diplomatik dengan Malaysia turut mengisi analisis SoRD. Kebijakan pemenuhan kebutuhan pokok secara mandiri merujuk pada contoh di Korea Utara (disebutkan secara eksplisit dalam arahan Presiden) dengan fokus komoditas pangan dan pakaian. Kebijakan "sosialisme" (bahkan mewacanakan tata dunia baru) nampak terlalu bersemangat namun cenderung abai pada aspek teknis pencapaian tujuannya. Gambaran ekonomi yang suram juga terlihat dalam artikel ini, ditunjukkan dengan adanya defisit APBN yang sangat parah karena pengeluaran militer/pertahanan yang terlampau besar. Postur fiskal juga diperlemah dengan hiperinflasi yang mencapai puncaknya pada September 1964-Februari 1965 (kenaikan harga di Jakarta mencapai 160 persen). Peningkatan pasokan uang oleh Bank Indonesia dan aksi spekulasi juga memperburuk suasana. Kondisi infrastruktur dan transportasi juga tidak optimal dan tidak dapat mendukung aktivitas usaha (hanya 15 persen kondisi rel kereta api yang layak).Struktur kabinet yang menggelembung menimbulkan ketidakjelasan proses pengambilan keputusan, sebagaimana kritik Menteri Perdagangan (A. Jusuf).

Artikel berjudul "Socialism and Private Business" (penulis: L.C.) mengambil tema di balik kebijakan pemerintah yang saat itu dinyatakan memasuki fase sosialisme. Tulisan ini secara komprehensif menganalisis teori dan praktik kebijakan serta mengambil kesimpulan bahwa pemilihan kiblat ideologi diawali sejak masa perjuangan kemerdekaan, khususnya oleh Sukarno yang menaruh minat besar pada penulis-penulis beraliran Marxis-Leninis. Penulis menyoroti praktik penerapan kebijakan yang menyimpang dari teori sosialisme sesungguhnya. Perjuangan antar kelas yang terjadi di era kolonial diawali oleh ketimpangan struktur ekonomi yang didominasi oleh bangsa Eropa dan kaum minoritas Cina. Semangat nasionalisme yang bangkit di kalangan pedagang pribumi bercampur dengan spirit anti-kapitalisme dipandang sebagai ladang subur untuk menemai bibit-bibit sosialis. Bahkan di antara kalangan bangsawan (yang umumnya diketahui tidak memiliki properti) ternyata juga tidak menginginkan kondisi status quo dan cenderung simpatik pada pergerakan. Kondisi ini mewarnai sistem pemerintahan, yang waktu itu dijuluki "Demokrasi Terpimpin". Dalam artikelnya, penulis menyampaikan kesan adanya kemunduran situasi ekonomi meskipun pemerintah secara resmi senantiasa optimis dalam mencapai tujuan (masayarakat adil dan makmur). Gejala ketimpangan juga terasa ditandai dengan menurunnya upah riil namun diiringi dengan pola konsumsi mencolok di kalangan kaya. Jumlah kendaraan pribadi (mobil) meningkat cukup tajam namun kendaraan umum yang layak ternyata mengalami penurunan. Tensi meninggi pada isu-isu seputar reforma agraria dan slogan-slogan yang memecah kohesifitas masyarakat (OKB, Kapitalis Birokrat, dan Dinasti ekonomi) mulai bermunculan. Artikel ini ditutup dengan prediksi bahwa birokrasi dan usaha swasta akan dapat hidup berdampingan tetapi akan menimbulkan konsekuensi negatif terhadap kesejahteraan umum dan perekonomian.

Artikel lain berjudul "Rice Production and Imports" (oleh J.G.) mengetengahkan analisis mendalam pada komoditas utama sekaligus makanan pokok masyarakat Indonesia: beras. Pada waktu itu, Indonesia telah menjadi negara pengimpor beras terbesar sedunia (18 persen impor adalah beras) namun di saat yang sama pemerintah "berani" mengambil keputusan untuk melarang impor beras (pidato Presiden 17 Agustus 1964). Imbauan untuk mencapai swasembada pangan ditindaklanjuti dengan berbagai upaya, salah satunya adalah substitusi beras dengan komoditas pangan lain yang digalakkan secara resmi oleh Sukarno dalam pidato Tavip-nya. Hasil penelitian waktu itu menunjukkan bahwa alternatif beras terbaik adalah jagung sedangkan ketela dan ubi tidak direkomendasikan karena perbedaan kandungan protein. Solusi kedua adalah peningkatan budidaya beras dengan intervensi pada infrastruktur pertanian (meliputi saprodi, irigasi, pengendalian hama, penyediaan pupuk, pengadaan benih dan bibit unggul). Selain alasan swasembada pangan, keputusan pelarangan impor beras waktu itu terkait dengan kebijakan pengendalian devisa.

BIES ditutup dengan bagian Catatan (Notes) yang menganalisis kondisi sektor migas (oleh Alex Hunter), mekanisme pembentukan ongkos pemasaran produk pertanian, proyek aluminium, struktur pemerintahan (oleh L.C.).


01 November 2012

Religiusitas di kala krisis

Setelah terakhir kali berbincang tentang berbagai metode penentuan siapa yang layak mendapatkan BLT, kali ini saya ingin berbagi tentang kaitan antara krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997/1998 lalu dengan religiusitas warganya yang ditulis oleh Daniel L. Chen.

Saat pertama kali saya membaca judul artikel "Club Goods and Group Identity: Evidence from Islamic Resurgence during the Indonesian Financial Crisis", hal pertama yang terbersit di kepala saya adalah... jeng jeeeeng!!

Ini Islamist insurgence, bukan resurgence
Tapi setelah mengecek ulang artinya, ternyata kata resurgence bermakna "pembaruan" atau "kebangkitan", berbeda dengan insurgence yang berarti "pemberontakan" yang saya bayangkan sebelumnya :D

Nah, jadi artikel ini ternyata mengulas kaitan antara krisis ekonomi dengan bangkitnya ke-Islam-an di Indonesia. Karena keterbatasan data, ke-Islam-an disini didefinisikan sebagai partisipasi di pengajian dan sekolah Islam (madrasah dan pesantren). Jadi apa yang mereka temukan?

Pertama, krisis tahun 1997/1998 mengakibatkan jatuhnya pendapatan riil rumah tangga akibat tingginya inflasi (±78%). Kemudian mengingat 90% warga Indonesia mayoritas mengaku beragama Islam, maka dampak absolut paling besar dari krisis ini menimpa kelompok ini. Chen lalu menghitung dampak jatuhnya pendapatan (yang diproksi dengan pengeluaran) terhadap partisipasi dalam mengikuti pengajian. Hasilnya: jika pendapatan kita jatuh, kita cenderung lebih sering ikut pengajian. Menarik!

Kenduri Cinta oleh Cak Nun. Yang begini termasuk pengajian gak ya?
Kedua, serupa dengan pengajian, keluarga yang pendapatannya jatuh juga cenderung lalu menyekolahkan anaknya ke madrasah atau pesantren, padahal rata-rata biaya di sekolah Islam lebih tinggi dari sekolah negeri!
Sedikit catatan tentang metodologi: dalam menghitung dua temuan diatas, Chen menginstrumen pendapatan dengan luas lahan sawah basah dan apakah individu bekerja sebagai pegawai negeri. Cek ini untuk tahu apa itu instrumental variable method.
Kembali ke temuan penelitian, sebagian pembaca pasti berpikir, "ah jangan-jangan ini gak cuma terjadi di pengajian saja?" Tapi ternyata setelah mengestimasi ulang model regresinya, Chen menemukan bahwa dampak ini hanya terjadi di pengajian dan tidak terjadi di aktivitas lain seperti karang taruna, olahraga, dasawisma, maupun PKK. Bahkan khusus untuk arisan, jatuhnya pendapatan menyebabkan partisipasi di arisan menurun, temuan yang wajar menurut saya.

Ibu-ibu PKK memecahkan rekor mencuci baju terbanyak versi MURI
Kemungkinan lain, orang yang jatuh pendapatannya mungkin punya banyak waktu luang dan karenanya jadi punya kesempatan untuk ikut pengajian. Chen mengatakan bahwa mereka yang paling parah terimbas krisis justru yang paling mau bekerja keras pasca krisis. Nah disini saya agak tidak yakin dengan argumen Chen tadi karena tidak secara eksplisit mengaitkan antara "bekerja keras setelah krisis usai" dengan "punya banyak waktu untuk ikut pengajian".

Temuan lain yang menarik adalah ternyata dengan berpartisipasi di pengajian maka kemungkinan menerima sedekah jadi turun. Artinya, ikut pengajian bisa sedikit mengurangi kebutuhan sehari-hari. Contoh sederhananya, dengan ikut pengajian maka kita dapat ta'jil--atau syukur-syukur bancakan--jadi kita merasa tercukupi, tak perlu menerima sedekah :))

Ini lho bancakan
Nah yang lebih menarik lagi, ternyata kalau di desa atau kecamatan tempat kita tinggal ada lembaga keuangan seperti bank, maka partisipasi di pengajian malah turun saat pendapatan kita jatuh. Jadi ini menguatkan temuan sebelumnya kalau ikut pengajian bisa agak menggantikan peran lembaga formal seperti bank. Dampak krisis terhadap pengajian ini lebih berasa jika desa tempat kita tinggal memiliki ketimpangan pendapatan yang relatif tinggi.

Penelitian yang diterbitkan di Journal of Political Economy tahun 2010 lalu ini memberi cukup banyak informasi tentang bagaimana masyarakat muslim bereaksi terhadap jatuhnya pendapatan saat krisis terjadi. Meski begitu kita mesti cermat dalam membaca metodologi dan hasil di penelitian ini, misalnya mengenai waktu luang yang tadi saya singgung diatas. Selain itu penelitian memakai data rumah tangga, dimana hasil penelitian mungkin hanya mencerminkan preferensi kepala rumah tangga pemberi informasi dan bukan seluruh anggota rumah tangga. Data yang dipakai di penelitian ini bisa diunduh disini.

Sebagai penutup, judul yang dipakai oleh Chen ini menurut saya agak lebay. "Pembaruan Islam" tentu sangat tereduksi maknanya jika kita hanya melihat naiknya partisipasi di pengajian dan sekolah Islam. Ah tapi rasanya munafik kalau saya bilang begitu tapi ga pernah ikut pengajian, jadi ikut pengajian (online), yuk!

Video pengajian Habib Luthfi Pekalongan

31 October 2012

Ideologi ilmu ekonomi


Selama bertahun-tahun belajar "ilmu" ekonomi di kampus, saya menemukan pola perkuliahan yang jamak dilakukan baik di kampus di Indonesia maupun di luar negeri. Pola perkuliahan ini biasanya diawali dengan mewajibkan mahasiswa tahun pertama untuk mengambil mata kuliah ekonomi mikro, ekonomi makro, dan matematika ekonomi. Lalu di tahun kedua fakultas biasanya mewajibkan mahasiswa mengambil mata kuliah ekonometri.

Nah, di mata kuliah "keramat" bernama ekonomi mikro dan makro inilah kami disihir dengan berbagai model ekonomi yang begitu kompleks namun juga elegan, yang seakan bisa menggambarkan bagaimana manusia mengambil pilihan-pilihan sehari-hari. Misalnya kami diajari mengapa terlalu banyak menabung itu tidak baik, mengapa seorang tukang bakso mau menerima secarik kertas bertuliskan "Rp10.000", dan yang paling penting: bagaimana cara kita mencari untung sebanyak-banyaknya dengan ongkos sekecil-kecilnya. Itulah "ilmu" ekonomi.


Lalu apa masalahnya?

Masalahnya adalah 95% dari apa yang kami terima di ekonomi mikro, makro, ataupun ekonometri tidak terpakai di dunia kerja! Kecuali kami bekerja di lembaga penelitian atau kampus, sedikit sekali dari berbagai ilmu elegan yang kami terima dulu yang dipakai oleh kantor tempat kami bekerja. Bahkan dalam dunia penelitian pun acap kali terdapat gap yang lebar antara ilmu yang kami dapat (terutama untuk freshgraduate S1) dengan apa yang mesti kami teliti.


Kalau di dunia kerja saja ga berguna, bagaimana di percintaan? :D



Kenapa ini bisa terjadi?

Pertama, kita mesti menilik ke sejarah ilmu ekonomi. Fondasi ilmu ekonomi modern--terlepas dari kontroversi soal siapa yang sebenarnya memulai--dibangun oleh Adam Smith pada abad ke-17. Adam Smith melihat bahwa feodalisme mengekang kebebasan manusia dalam berkehidupan: barang dan uang dimonopoli oleh segelintir penguasa dengan memperbudak bagian besar rakyat. Adam Smith mendobrak konsep ini dengan konsep kebebasan berkeadilan, dimana rakyat sendirilah yang semestinya menentukan nasib dirinya sendiri. Jika seseorang lebih suka menanam gandum, maka biarlah dia menanam gandum, toh kalau gandumnya tidak terjual ya yang rugi si petani gandum itu sendiri. Seorang petani gandum yang rasional akan melihat bahwa lebih menguntungkan untuk, misalnya, berjualan baju daripada menanam gandum. Inilah sesungguhnya konsep invisible hand yang terkenal itu...

Sayangnya dalam pengajaran ilmu ekonomi konsep invisible hand secara derogatif diartikan "biarkan pasar yang menentukan segalanya". Ini tentu salah besar. Ingat, sang petani gandum akan beralih profesi menjadi penjual baju kalau dia rasional dan individu-individu lain juga berlaku rasional

Ilmu ekonomi sebenarnya mengajarkan tentang konsep rasionalitas, namun sayangnya konsep ini diajarkan secara sempit dan kaku. Sebagian beralasan: demi menjaga elegansi teori ilmu ekonomi itu sendiri! Ini membolak-balik nalar! Kita belajar ilmu ekonomi agar kita paham tentang apa yang terjadi sehari-hari, bukan agar kita memaksakan apa yang diteorikan dengan kenyataan. Tentunya model-model ekonomi ini bukan tak berguna, dia adalah "peta" bagi kehidupan sehari-hari, namun bukan berarti "peta" yang dibuat di abad ke-17 masih layak dipakai di abad ke-21.


Peta dunia yang dibuat 4000 tahun yang lalu 

Sekarang kita melompat ke masa kini. Krisis ekonomi global yang terjadi tahun 2008 lalu mencoreng muka para ekonom yang gagal memprediksi terjadinya krisis ini. Meski sebagian ekonom mengakui dengan besar hati kegagalan mereka, tapi beberapa ekonom justru menyalahkan para pejabat yang mengambil keputusan tanpa berpegang pada prinsip ekonomi. Sekali lagi, dunia terbolak-balik. Ilmu ekonomi mengajarkan apa yang idealnya terjadi di dunia yang serba sempurna, ilmu ekonomi tidak memaksakan apa yang yang diteorikan harus diterapkan atau terjadi di dunia nyata.


Begitu buruknya reputasi ilmu ekonomi, sebagian orang menganggap Nobel ilmu ekonomi tak layak disejajarkan dengan Nobel bidang-bidang lainnya:

“The Economics Prize has nestled itself in and is awarded as if it were a Nobel Prize. But it’s a PR [public relation] coup by economists to improve their reputation ... It’s most often awarded to stock market speculators ... There is nothing to indicate that [Alfred Nobel] would have wanted such a prize,” Peter Nobel (http://www.thelocal.se/2173/20050928/)

Lalu kesimpulannya?

Kira-kira begini rekapnya:

  1. Fondasi ilmu ekonomi adalah konsep-konsep yang maju dan sekaligus kompleks 
  2. Namun kemudian terjadi reduksi konsep yang kompleks ini demi kenyamanan berteori (dan pengajaran)
  3. Begitu ada ketidakcocokan antara teori dan praktek, sebagian "oknum" ekonom justru menyalahkan mereka yang di dunia nyata

Inilah sebabnya kenapa sebagian orang sinis dengan keilmuan "ilmu" ekonomi. Selama kita hanya melihat ekonomi hanya sebagai rentetan rumus dan model elegan tanpa ada kepraktisan di dunia nyata, maka pantaslah kita memberi imbuhan "ideologi" di depan "ilmu ekonomi".

"Ideologi ilmu ekonomi"

Lalu apa yang mesti para ekonom lakukan? Saya bukan ekonom yang pantas mengajari ekonom lain, tapi boleh dong saya memberi saran ke diri saya sendiri.

Langkah pertama, bukalah diri terhadap ilmu-ilmu lain. Sejak beberapa dekade terakhir ilmu ekonomi telah banyak terpengaruh oleh cabang-cabang ilmu yang tidak terduga sebelumnya. Biasanya ilmu ekonomi dekat dengan ilmu politik dan matematika/statistika. Namun kini makin banyak penelitian yang menggabungkan konsep ilmu ekonomi dengan ilmu psikologi, neuroscience, biologi, hingga fisika. Bahkan tren di beberapa cabang ilmu ekonomi yang dulunya tidak dianggap kini mulai mengalahkan kepopuleran cabang ilmu ekonomi yang "tradisional".



Kedua, tidak semua yang tradisional itu buruk. Model-model ekonomi standar tetap mesti diajarkan, dengan menekankan bahwa ini demi menyederhanakan masalah yang kompleks, bukan mereduksinya. Lalu seperti yang saya bilang diatas, ilmu ekonomi umumnya dekat dengan ilmu politik. Oxford University, misalnya, menawarkan program S1 "Philosophy, Politics and Economics". Benar-salah ditilik dari sisi filosofi, untung-rugi ditimbang dari segi ekonomi, dan eksekusi ditinjau dari sisi politik, kira-kira begitu. 


Yes you are, sir

Ketiga, fokus pada kekuatan ilmu ekonomi. Selama bertahun-tahun belajar ilmu ekonomi, kerap kali saya mendengar istilah ilmu ekonomi sebagai the queen of social sciences. Maksudnya, ilmu ekonomi tidak cuma bisa mengatakan untung atau rugi, tapi seberapa besar untungnya atau seberapa besar ruginya. Ini terkait dengan kentalnya pengajaran ekonometrika dan statistika di bangku perkuliahan. Pakailah ekonometrika, tunjukkan kekuatannya, dan yang lebih penting: ketahui kelemahannya dan jujurlah dalam menyampaikan hasilnya.

Keempat, ilmu ekonomi bagi saya adalah ilmu tentang insentif. Misalnya, saya suka aktif di media sosial karena saya menikmati berbagi informasi (plus curhat tentunya) ke orang lain. Motivasi saya ini tentu tak bisa saya paksakan, orang lain mungkin melihat insentif untuk aktif di media sosial karena dibayar (jadi ingat #3macan2000). Karena itu penting buat kita untuk memahami apa saja insentif yang mungkin mempengaruhi individu-individu.

Kelima, praktekkan! Ini mungkin saran yang paling susah. Banyak teori ekonomi yang secara elegan memberi solusi bagi masalah sehari-hari, misalnya pajak untuk polusi, alokasi ideal untuk donor tubuh, dan bagaimana cara terbaik menentukan siapa yang layak mendapat bantuan langsung tunai.

Tentu kelima saran tadi tidak serta merta bisa membuat ilmu ekonomi jadi lebih terpakai di dunia nyata, tapi paling tidak mahasiswa yang belajar ilmu ekonomi++ ini bisa lebih merasa tercerahkan tentang bagaimana dunia disekitar mereka bekerja. Tentu tak jelek bukan kalau kita jadi lebih paham? ;)

04 April 2012

Tentang subsidi BBM


  1. Tweeps kali ini saya ingin ikut berkicau ttg pencabutan subsidi BBM. Masa saya yg dari dl belajar ekonomi malah tidak turut berpendapat?
  2. Saya rasa sudah banyak ekonom yg berargumen tentang knp subsidi BBM mesti dicabut. Ini dokumen resminya dari Wapres:  
  3. Pada dasarnya subsidi BBM dicabut krn lebih menguntungkan org yg tidak miskin, dlm artian mereka yg mampu beli mobil/motor.
  4. Saya bilang org yg tidak miskin, krn mayoritas masyarakat Indonesia adalah kelas menengah: kaya engga, miskin juga engga.
  5. Subsidi BBM (aktual) mencapai hampir Rp200 triliun (20% dari APBN Pemerintah Pusat 2012, 2x lipat gaji & tunjangan PNS Pusat).
  6. Tweeps tentu sudah tahu soal subsidi ini, jd fokus saya adalah mencoba menjawab argumen2 yg sering muncul di permukaan.
  7. "Drpd cabut subsidi mending hapus korupsi." Pertama, jelas ini ada perbedaan dimensi krn subsidi dalam APBN dimensinya tahunan ...
  8. ... sementara korupsi sudah mengakar sejak puluhan tahun. Kedua, Korupsi bkn cm soal duit, tp jg soal mental, birokrasi, institusi, dll.
  9. Sementara subsidi BBM jauh lebih sederhana: APBN kita akan goyah jika tetap membayar subsidi sebegitu besar. Bgmn nasib program2 lain?
  10. Ketiga, harga BBM mengikuti harga minyak dunia. Artinya jika harga minyak dunia turun, ya harga BBM bisa jadi turun (pernah terjadi).
  11. "Pengeluaran utk BBM itu besar porsinya bagi rakyat miskin tp kecil bagi org kaya." Betul, tp ingat BBM bs dibeli siapa sj, miskin/kaya.
  12. Mengingat org miskin <20% penduduk, maka 80% sisanya-lah yg menikmati subsidi itu. Fair?
  13. Kalo mau main devil’s advocate, sebenarnya pos belanja kaum miskin itu seperti apa sih? Ada studi kl kaum miskin diberi subsidi uang...
  14. ... uang itu bukan buat beli makanan pokok, tp buat makanan yg lebih "mewah", plus hal2 lain kayak rokok.
  15. Nah saya pernah denger kalo porsi buat rokok & pulsa hp besar. Knp ga protes k Sampoerna & Telkomsel kalo gitu? Rokok + pulsa mahal lho.
  16. "Drpd cabut subsidi mending naikin pajak." Sama seperti korupsi, ada perbedaan dimensi disini. Naikin penerimaan pajak tdk bs seketika.
  17. Lagipula, yakin lo mau dipajaki lagi sama pemerintah?
  18. Ingat Indo beruntung bs tumbuh 5-6% di tengah krisis global. Ekonomi tumbuh artinya penerimaan pajak cukup besar, bayangkan jika resesi.
  19. “BBM naik tapi transport jelek.” Apakah dengan BBM tidak naik transport jadi baik? Counterfactual...
  20. Justru dengan BBM naik maka ada keleluasaan anggaran utk membenahi transport. Walau diakui kl pajak kita ga earmarked utk transport dll.
  21. “Harga BBM > harga sekali makan, tidak seperti di luar negeri dimana harga BBM<makanan.” Luar negeri mana dulu? Di Filipina...
  22. ... di Filipina harga BBM (tanpa subsidi) sekitar Rp12 ribu, harga Big Mac sekitar Rp25 ribu, sama seperti di Indonesia. Lebih parah.
  23. Kalo perbandingannya dengan negara maju jelas tidak fair, namanya juga negara maju pendapatannya pasti tinggi juga, biaya hidup jg tggi.
  24. Kl bandingin dg Saudi atau Venezuela juga sama saja bohong, secara 2 negara itu eksporter minyak sementara Indonesia importir BBM.
  25. “BBM naik, harga2 naik, beban hidup naik.” Ini memang problem paling besar. Masalahnya, apa opsi lain pemerintah?
  26. Naikin pajak & berantas korupsi? Tdk bisa dlm waktu dekat. Potong anggaran? Sudah dilakukan (paling tdk menurut dokumen Wapres diatas).
  27. Hutang dlm negeri? Surat utang negara udah byk diterbitkan, kita tidak mau sembrono menerbitkan tanpa yakin kita bs bayar bunga+pokok.
  28. Pinjam lembaga asing (World Bank)? Apa yakin WB mau kasih pinjaman secara mereka yg advocate hapus subsidi.
  29. Do nothing? Berarti hrs ada pos2 lain yg dikorbankan, korban kuantitas maupun kualitas. Subsidi nambah Rp53 triliun itu banyak bung!
  30. “BBM naik tapi tidak ada jaminan sosial.” Reverse causality: terbatasnya jaminan sosial krn keterbatasan anggaran.
  31. Sangat menggoda bagi kita untuk mengait2kan isu BBM dengan isu2 lain seperti jaminan sosial, transportasi, listrik, renewable energy...
  32. ... masalahnya, semua “meminta” duit: jamsos butuh duit, begitu pula utk transport umum & energi terbarukan. Jika semua “meminta” duit..
  33. Trus duit siapa dong yg dikorbankan? Zero-sum game. Jika mau subsidi BBM, ya yg lain mesti berkorban, entah transportnya atau jamsosnya.
  34. Akhirul kalam, jika saya ditanya apakah suka BBM naik? Jelas jawabnya TIDAK. Siapa sudi membayar lebih mahal untuk barang yang sama?
  35. Tapi jika pertanyaannya “apakah sebaiknya harga BBM naik?” Maka jawabnya, YA. “Paradoks” ini adl cerminan dari teori ekonomi...
  36. Konsumen (kaya-miskin) ingin dpt untung sebanyak2nya, sementara pemerintah ingin redistribusi kekayaan (si kaya ke si miskin via APBN).
  37. Jika pemerintah terbelenggu dengan APBN maka tidak ada cara lain selain memotong pos yg paling tidak tepat sasaran: subsidi BBM.
  38. Sengaja saya tidak berkicau tentang BLT dan isu2 politik, biarlah mereka yg tau soal itu yg bercerita :)
  39. Sekian twit saya kali ini. Terima kasih. *siap2 dicap neolib, ga populis, dan ga merakyat*