Teriakan “Gw lulus!!” atau perasaan deg-degan, mungkin adalah perasaan yg dialami oleh adhek2 kita (yg lucu...) setelah menghadapi ujian nasional yg melelahkan. Berbagai macam cara mereka ekspresikan, dari mencoret-coret baju hingga potong rok atau justru berusaha bunuh diri karena malu tidak lulus. Yah…kata orang “begitulah anak-anak yg masih labil emosinya”.
Kelulusan itu penting?
Tingkat kelulusan SMU tahun ini pun cukup tinggi mencapai 90,5% untuk SMU dan 90,75% untuk MA. Ujian nasional sendiri merupakan salah satu momok yg menakutkan bagi adhek2 kita karena penentuan apakah mereka mampu menyelesaikan pendidikan selama 3 tahun ditentukan oleh ujian selama 3 hari berturut-turut.
Tetapi pertanyaan yg lebih mendasar, apakah ijasah mereka serta merta mengantarkan mereka masuk ke universitas yg mereka inginkan? Atau menjamin mereka untuk mendapatkan pekerjaan yg mereka inginkan? Kenyataannya tidak!
Courtesy of: //ardansirodjuddin.wordpress.com/
Ijasah SMU hanyalah ijasah yg kurang bisa memberikan nilai jual bagi mereka. Untuk masuk ke dalam universitas, tuntutan yg mereka hadapi justru lebih besar. Ujian masuk dg ketatnya persaingandari berbagai penjuru negeri tanpa mengetahui peta persaingan. Parahnya, tidak ada standar baku yg bisa diakses publik atas kriteria kelolosan. Apakah murni hasil ujian masuk? Ataukah ada campur tangan pihak ketiga? Ataukah kemampuan mereka memberikan sumbangan (atau apalah namanya) kepada PT itu?
Kuliah vs Kerja
Pilihan itu pun muncul ketika sesorang lulus SMU: "mau kerja atau kuliah?". Kerja menghasilkan uang atau kuliah menghabiskan uang tetapi merupakan sebuah investasi jangka panjang. Opportunity cost inipun bisa dilihat dari rata-rata pendapatan yg diterima per bulan oleh masing-masing kelompok. Di tahun 2007, rata-rata pendapatan sarjana mencapai 1,7 jt rupiah - 70% lebih tinggi dibandingkan lulusan SMU (1 jt rupiah).
Nah..ketatnya kompetisi dan perbedaan kemampuan ekonomi, kesempatan lolos untuk melanjutkan ke perguruan tinggipun semakin kecil. Ditilik dari tingkat partisipasi bersih di tahun yg sama, angka partisipasi bersih utk jenjang PT hanya 1.9 persen dari populasi umur. Jauh lebih kecil dari tingkat partisipasi bersih jenjang SMU yg mencapai 44%. Lantas, kemana sisa lebih dari 40% angkatan ini? Apakah ini karena kurangnya jumlah PT? ataukah karena kurangnya kemampuan lulusan ini?
Nilai jual?
Potensi pendapatan di atas merepresentasikan nilai jual lulusan SMU vs lulusan PT di Indonesia. Tentu saja, lulusan PT memiliki potensi pendapatan yg lebih tinggi (dalam hal ini 70% lebih tinggi) dibandingkan lulusan SMU. Tentu perbedaan ini akan mendorong kesenjangan ekonomi yg lebih jauh lagi. Kenapa? Karena hanya segelintir lulusan SMU yg memiliki kesempatan utk meningkatkan nilai jual mereka melalui pendidikan tinggi. Yang lainnya?
Apakah ini bentuk kapitalisme pendidikan di Indonesia?
No comments:
Post a Comment