Ditulis oleh Komaidi. Penulis adalah Wakil Direktur Reforminer Institute. Artikel ini telah dipublikasikan dalam Media Indonesia, edisi Senin, 9 Mei 2011.
SAMPAI dengan awal kuartal kedua 2011 harga minyak di pasar internasional masih terus bergejolak. Berdasarkan data yang ada, rata-rata harga minyak jenis WTI dan brent sejak Januari-April 2011 masing -masing mencapai US$97,53 per barel dan US$109,53 per barel. Pada periode yang sama rata-rata Indonesia crude price (ICP) mencapai US$109,20 per barel, jauh melampaui asumsi ICP yang ditetapkan di dalam APBN 2011 yang ditetapkan sebesar US$80 per barel. Jika dibandingkan dengan realisasi harga minyak pada bulan yang sama tahun sebelumnya, harga minyak dunia dan ICP mengalami peningkatan sebagaimana disampaikan dalam tabel 1.
Sebagaimana telah disampaikan banyak analis, kenaikan harga minyak didorong faktor fundamental dan nonfundamental. Pertumbuhan ekonomi yang mulai membaik di beberapa negara dan keputusan produsen minyak (utamanya OPEC) untuk tidak menambah kuota produksi termasuk faktor fundamental yang mendorong terjadinya kecenderungan peningkatan harga minyak. Ketegangan politik di negara-negara kawasan Timur Tengah, baik negara yang berperan sebagai produsen minyak dan/atau negara yang memiliki posisi strategis dalam jalur distribusi minyak, adalah faktor nonfundamental yang memberikan kontribusi signifikan terhadap pergerakan harga minyak 2011.
Bagi Indonesia, dengan postur anggaran negara yang dijalankan memiliki keterkaitan yang besar terhadap migas, mengetahui faktor-faktor penentu gejolak harga minyak di pasar internasional menjadi penting. Akan tetapi, mengetahui dampak yang ditimbulkan akibat gejolak harga minyak, baik terhadap postur anggaran dan perekonomian nasional, serta bagaimana respons kebijakan (solusi) yang tepat untuk permasalahan tersebut, adalah yang lebih penting dan substansial.
Sementara itu, berdasarkan beberapa asumsi makromigas yang ditetapkan di dalam APBN 2011, sensitivitas APBN 2011 (pos-pos yang terkait dengan harga minyak) terhadap gejolak harga minyak adalah sebagaimana disampaikan pada tabel 2. Berdasarkan simulasi ReforMiner Institute tersebut, jika ICP meningkat hingga rata-rata mencapai US$100 per barel (US$20 lebih tinggi daripada asumsi APBN 2011), akan berdampak terhadap meningkatnya penerimaan migas dan subsidi energi (BBM & listrik) pada nominal yang relatif besar. Penerimaan migas akan bertambah sekitar Rp51,39 triliun, sementara di sisi lain subsidi energi akan bertambah sekitar Rp69,79 triliun. Dengan demikian, terdapat penambahan defisit APBN sekitar Rp18,39 triliun. Besarnya sensitivitas (tambahan) subsidi energi yang lebih besar jika dibandingkan dengan sensitivitas (tambahan) penerimaan migas terkait dengan penaikan harga minyak disebabkan konsumsi minyak domestik telah jauh melampaui kemampuan produksi minyak nasional. Karena itu, meski pada dasarnya merupakan masalah klasik yang hampir selalu berulang, pemerintah selalu dibingungkan untuk mencari pilihan kebijakan yang tepat ketika harga minyak di pasar internasional bergejolak (naik).
Terkait kecenderungan penaikan harga minyak pada 2011, dari sejumlah pilihan kebijakan yang ada, guna me respons kecenderungan penaikan harga minyak, pemerintah memilih opsi kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Premium dan solar bersubsidi dibatasi hanya boleh dikonsumsi sepeda motor dan angkutan umum. Kebijakan tersebut (menurut pemerintah) diklaim dapat membuat subsidi BBM lebih tepat sasaran, tidak sama (tidak identik) dengan menaikkan harga BBM, dan dapat menghemat pengeluaran APBN.
Sementara itu, berdasarkan simulasi ReforMiner Institute, jika rata-rata harga minyak 2011 mencapai US$100 per barel, kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi tidak kompatibel dengan penaikan harga minyak. Artinya, penghematan yang diperoleh dari kebijakan pembatasan tidak mencukupi untuk menutup tambahan defisit APBN akibat penaikan harga minyak.
Selain itu, implementasi kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi masih menghadapi beberapa permasalahan yang di antaranya belum siapnya infrastruktur penunjang, potensi distorsi kebijakan yang besar, dan membutuhkan pengawasan yang ekstra dalam implementasinya. Jika tujuan kebijakan BBM 2011 adalah semata-mata untuk mengatasi tekanan fiskal dalam APBN, pada prinsipnya terdapat beberapa opsi kebijakan yang dapat diambil. Berdasarkan simulasi ReforMiner Institute, jika hanya berorientasi pada penyelematan APBN 2011, berikut adalah beberapa opsi kebijakan BBM nasional beserta biaya-manfaatnya, disampaikan pada tabel 3.
Berdasarkan simulasi ReforMiner Institute tersebut, jika kebijakan pembatasan konsumsi BBM subsidi diimplementasikan di Jawa-Bali-untuk premium dan solar, dan diimplementasikan sejak Januari 2011, potensi penghematan yang didapatkan hanya sekitar Rp9,29 triliun, jauh di bawah potensi tambahan subsidi energi yang diproyeksikan akan mencapai Rp18,39 triliun. Karena itu, jika objective kebijakan BBM hanya untuk menutup defisit APBN, kebijakan penaikan harga BBM (dalam besaran terbatas) dengan berbagai pilihan nominal penaikan adalah pilihan yang rasional. Jika objective kebijakan BBM adalah mempertahankan subsidi `untuk menolong daya beli masyarakat', pilihannya adalah melakukan pembia yaan (utang) untuk menutup potensi defisit APBN. Namun, semua pilihan kebijakan yang akan diimplementasikan akan berpulang kepada pemerintah, tentunya bergantung pada kebijakan mana yang paling `optimal' menurut pemerintah.
Berbagai pilihan kebijakan BBM sebagaimana disampaikan pada prinsipnya adalah kebijakan jangka pendek. Tujuannya semata-mata untuk menyelamatkan tekanan fiskal APBN.
Akan tetapi, jika tidak terdapat perubahan yang signifikan dalam kebijakan energi nasional (tetap bergantung pada BBM), tekanan fiskal APBN masih akan terus berulang hampir di setiap tahun, terutama ketika harga minyak di pasar internasional bergejolak. Jika mengacu ke aspek ketersediaan dan biaya penyediaan, pengembangan dan pemanfaatan gas domestik (utamanya untuk sektor transportasi) adalah salah satu pilihan yang tepat untuk menjawab permasalahan energi nasional untuk beberapa tahun mendatang. Dari aspek ketersediaan, dengan total cadangan sekitar 158 trillion standard cubic feet (tscf), gas yang kita miliki masih mampu untuk memenuhi kebutuhan domestik hingga sekitar 60 tahun mendatang.
Dari aspek biaya penyediaan, bahan bakar gas (BBG/CNG) jauh lebih murah jika dibandingkan dengan biaya penyedian BBM. Karena hal itulah, negara-negara seperti Argentina, Brasil, Pakistan, Italia, India, Amerika, dan China serius mengembangkan pemanfaatan gas untuk kebutuhan energi di negara mereka, utamanya untuk sektor transportasi. Berdasarkan kalkulasi PT Energy Compressed Natural Gas, jika kebutuhan premium dan solar bersubsidi 2011 dikonversi dengan BBG, penghematan yang didapat masing-masing sekitar Rp67 triliun dan Rp41 triliun (total Rp108 triliun). Artinya, jika 60% saja kebutuhan BBM bersubsidi dapat disubstitusi dengan BBG, nilai penghematan subsidi yang didapatkan adalah sekitar Rp65 triliun per tahun.
Berdasarkan pengalaman di negara lain, utamanya Argentina yang hampir 60% kebutuhan bahan bakar sektor transportasi mereka dipenuhi dari BBG (CNG), kunci kesuksesan kebijakan di Argentina tersebut adalah terletak pada konsistensi dan keseriusan pemerintah dalam membangun infrastruktur penunjang seperti stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG). Dalam kurun waktu kurang dari lima tahun, Argentina telah mampu membangun sistem jaringan distribusi BBG (CNG) di 18 provinsi dan di 255 kota, melakukan tidak kurang dari 2.400 workshop terkait kebijakan pengembangan BBG, dan mampu membangun sekitar 1.200 SPBG. Bandingkan dengan Indonesia, meskipun telah lama mewacanakan pengembangan dan pemanfaatan BBG, hingga Juli 2010 Indonesia baru memiliki 16 SPBG, yang terdistribusi atas 6 SPBG beroperasi dan 10 SPBG tidak beroperasi.
Berdasarkan fakta dan pengalaman, baik di domestik maupun di negara lain, apa pun pilihan kebijakan yang diambil, termasuk kebijakan BBM di dalamnya, menjadi tidak memberikan manfaat jika tidak dilaksanakan dengan konsisten dan sungguh-sungguh. Semoga kebijakan pengembangan dan pemanfaatan gas (BBG/CNG), pengembangan bioenergi, dan pengembangan energi baru dan terbarukan yang lain tidak hanya muncul dan diwacanakan penyelenggara negara ketika pemerintah terjepit dengan besarnya beban subsidi BBM, tetapi memang merupakan kebijakan yang memang direncanakan dan diimplementasikan dengan baik dan sungguh-sunguh. Semoga.
No comments:
Post a Comment