20 September 2011

Pertarungan yang Menghidupkan…



Hari ini mendadak kontak bbm saya dipenuhi oleh logo 56, ternyata hari ini adalah hari ulang tahun Fakultas Ekonomi (FE) UGM atau sekarang bernama Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UGM, ada sedikit penambahan embel-embel bisnis dibelakang kata ekonomi. Mungkin karena jengah dengan banyaknya yang memasang propic ultah FEB UGM, salah satu teman pasang status 'FEB UGM ultah! So what!'. Tulisan ini hanya sebagai catatan ringan untuk FEB UGM, kampus saya dulu.

Masih lekat dalam ingatan saya ketika saya memilih Jurusan IESP di FE UGM sebagai pilihan utama, bagi saya itu adalah sebuah pertaruhan untuk masa depan. Karena pada saat itu ibu saya hanya memberi dua opsi, kuliah di UGM atau kerja, bagi lulusan SMU seperti saya kuliah adalah opsi terbaik. Karena selain lulusan SMU belum siap kerja, status mahasiswa itu keren bagi saya karena memiliki tempat khusus dalam masyarakat. Lalu, kenapa opsinya harus kuliah di UGM? Karena terjangkau, murah! Jadi bukan karena keren atau hebat atau bagaimana, dan ini tentu saja menjadi pilihan bagi generasi saya saat itu, sebuah generasi yang berasal dari keluarga pas-pasan namun memiliki mimpi yang cukup wah, menjadi sarjana, karena itu mungkin satu-satunya jalan untuk melakukan mobilitas vertikal.

Ilmu Ekonomi kurang lebih seperti itu, bagaimana membawa sebuah negara, suatu masyarakat ataupun individu untuk melakukan mobilitas vertikal. Dimulai dari organ tekecil yang bernama individu atau rumah tangga, sebagai supplier tenaga kerja sekaligus konsumen barang/jasa hasil produksi perusahaan. Disisi lain ada perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja untuk melaksanakan proses produksi dan menjual barang hasil produksi ke rumah tangga. Masing-masing berpikir rasional dan mengupayakan keuntungan maksimal. Rumah tangga berupaya sedemikian rupa untuk menjual jasa tenaga kerja yang dimiliki dengan harga terbaik (tertinggi), begitu juga perusahaan berusaha memperoleh tenaga kerja dengan harga terbaik (terendah). Dengan menjual jasa tenaga kerja dengan harga tebaik tentu saja akan bisa meningkatkan kelas sosial mereka, begitu juga bagi perusahaan.

Proses tarik menarik antara kepentingan Rumah Tangga dan perusahaan inilah yang dalam Ilmu Ekonomi dilembagakan dalam suatu institusi yang bernama pasar tenaga kerja yang selalu akan mencari titik equilibrium secara otomatis (invisible hand). Titik equilibrium adalah titik optimal yang bisa dicapai kedua belah pihak, baik itu dari sisi supply atau demand. Inilah yang kurang lebih diajarkan selama berkutat di FE UGM, bagaimana bekerjanya mekanisme pasar yang akan melahirkan suatu kondisi equilibrium, suatu kondisi yang merupakan capaian optimal bagi semua pihak, dengan asumsi bahwa manusia itu rasional.

Apakah itu menguntungkan kedua belah pihak? Apakah titik itu merupakan win-win solution, bukan zero sum game? Kalau memang menguntungkan semua pihak, kenapa masih ada serikat buruh? Kenapa sampai ada kasus Marsinah yang berusaha memperjuangkan nasib buruh yang memperoleh gaji kurang layak. Sampai disini kita akan berpikir ulang tentang konsep titik equilibrium yang tenyata tidak menguntungkan kedua belah pihak. Tentu saja dalam proses tarik menarik (suplai demand) siapa yang kuat dialah yang menang (memperoleh keuntungan). Cilakanya ada banyak cara menjadi kuat, bukan hanya melalui jalan ekonomi, tapi bisa melalui politik bahkan militer. Nah lho, tambah rumit lagi kalau begini. Jadi dalam dunia nyata harga bisa ditentukan oleh banyak faktor bukan hanya faktor ekonomi.



Pengetahuan tentang hal-hal diluar ekonomi inilah yang kurang memperoleh porsi dalam pengajaran ilmu ekonomi di FE UGM. Mungkin inilah yang sempat menjadi perdebatan sengit ketika ada perubahan nama dari Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP) menjadi Ilmu Ekonomi (IE). Konon beberapa dosen senior non mainstream dengan gigih mempertahankan nama IESP karena memang banyak faktor diluar ekonomi yang perlu juga diajarkan dalam mata kuliah ekonomi. Apalagi untuk negara sedang berkembang seperti Indonesia dimana proses politik ternyata sangat berpengaruh dalam pengambilan kebijakan ekonomi, belum lagi dengan tatanan sosial-budaya masyarakat yang begitu beragam. Diperlukan pengetahuan komprehensif untuk bisa mengaplikasikan ilmu ekonomi yang diperoleh selama dikampus, bukan hanya semata konsep. Untuk itulah diperlukan pengetahuan yang komprehensif yang dipelajari dalam arus ekonomi heterodox yang kurang memperoleh tempat pengajaran selama saya kuliah di FE UGM, apakah sekarang masih seperti itu?

Kalau itu masih, sepertinya ada ketidak konsistenan disini, ketika konsep monopoli dalam pasar diserang habis-habisan, ternyata dalam keilmuan monopoli dilanggengkan. Pengajaran ilmu ekonomi dimonopoli oleh apa yang sering disebut oleh ekonom heterodox sebagai ekonomi orthodox. Sebagaimana monopoli dalam perekonomian yang memunculkan kemandekan, ketidak-efisienan, monopoli dalam ilmu ekonomi juga memunculkan kemandekan, paling tidak perkembangannya tidak akan secepat apabila ada pertarungan wacana.

Ide tentang keberadaan sistem ekonomi diluar mainstream (Ekonomi Pancasila) pernah di lontarkan oleh Alm. Mubyarto dan memunculkan perdebatan di dalam kampus, begitu juga dengan Wacana Ekonomi Kerakyatan yang juga sempat muncul. Perdebatan tentang Ekonomi Pancasila maupun ekonomi kerakyatan ini menarik, karena mengusik kemapanan Ilmu Ekonomi yang selama ini diajarkan dikampus dan mengajak untuk berpikir lebih jauh mengenai konsep tersebut. Terus terang saya kurang tahu bagaimana suasana dalam kampus saat ini, apakah ada Mubyarto-Mubyarto baru yang berani mengusik suasana kemapanan intelektual kampus dengan mewacanakan semacam Ekonomi Pancasila?



Adanya pertarungan wacana tentu saja akan membuat pengajaran menjadi sebuah arena pertarungan dan pertaruhan yang menggairahkan. Mahasiswa akan bebas memilih arus mana yang dia pilih, masing-masing akan berusaha menampilkan yang terbaik, ini tentu akan sangat menarik dan akan menjadikan FEB-UGM semakin hidup. Akan selalu ada pembaruan-pembaruan dan peremajaan ilmu di FEB-UGM, bukankah ilmu itu menjadi mati ketika tidak ada pembaruan-pembaruan?



Ah, sepertinya mimpi saya barusan sudah keterlaluan... Bagaimanapun juga Selamat Ultah FEB-UGM...

2 comments:

Anonymous said...

You live in global environment, dude!! whether u like or not, the result of your happiness in your own, it doesn't matter about your preference on economic system. communist? capitalist? Pancasilaist? Kerakyatanaist? as long as positive impact to society, why not to change and adapt it to the effect from international world??

-Asu Lonte-

Anonymous said...

Mas Asu lonte, bukannya poin yg Anda sampaikan sama dengan penulis itu ya? penulis bilang pembaharuan atas cabang ilmu ekonmi, mas Asu lonte bilang adaptasi aja pengaruh global yg penting memberikan dampak positif.

Suatu saat pembaharuan dalam ilmu ekonomi akan mencapai taraf itu. Taraf dimana bisa memberikan dampak positif (mungkin).