19 October 2011

Salahkah asumsi dasar perekonomian kita?

Membaca sebuah buku tentang pertumbuhan ekonomi yang dikarang oleh William Easterly mengingatkanku pada sebuah pengalaman kerja di Negara konflik dan terhitung sebagai Negara yang cukup gagal. Afghanistan. Persepsi yang melekat pada Negara ini adalah Negara teroris yang ditopang oleh opium sebagai mata pencaharian utama para petaninya. Pernah saya tuliskan betapa parah dan hancurnya perekonomian di Negara ini pasca perang saudara yang salah satunya didukung oleh Negara-negara seperti Amerika, Inggris dan Australia.

Tetapi bukan itu yang justru menggelitik benak saya ketika membaca buku ini. Buku yang dikarang oleh William Easterly ini mengedepankan pemahaman dan logika atas teori yang dipergunakan selama ini oleh Negara-negara donor maupun para lembaga internasional, tidak terkecuali lembaga sekelas UNDP, IMF dsb. Teori yang mengacu pada teori pertumbuhan Solow dan Harrod-Domar yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi harus didukung oleh penambahan mesin atau investasi yang terus menerus.

Solow theory

Permasalahan yang mendasari kenapa Robert Solow menganulir teori adalah kesalahan asumsi yang dia pergunakan, yaitu penambahan jumlah mesin yang terus menerus akan meningkatkan produktivitas. Satu hal yang beliau lupakan pada saat itu adalah adanya Law of Diminishing Return yang berlaku di dalam system ekonomi. Hokum ini sendiri menyatakan bahwa setiap penambahan suatu barang akan mengakibatkan pengurangan kepuasan atau manfaat atas barang tersebut. Hal yang sama pun nampaknya juga berlaku untuk factor produksi yang saat itu dikemukakan oleh Solow.

Penambahan mesin yang dilakukan secara terus menerus memang diyakini akan mampu meningkatkan produktifitas ekonomi. Bahkan teori yang dikemukakan oleh Harrod-Domar pun nampaknya mendukung teori ini. Kalau yang dikatakan oleh Solow adalah penumpukan mesin, Harrod-Domar menyatakan bahwa investasilah yang justru meningkatkan pertumbuhan. Investasi yang tidak hanya dilakukan untuk mesin, namun justru dalam skala yg lebih luas.


Sumber: The friday times

Apa yang disanggahkan oleh Solow sendiri adalah fakta bahwa penambahan mesin tanpa dibarengi dengan penambahan tenaga kerja justru akan mengurangi produktifitas tenaga kerja itu sendiri. Bandingkan antara 1 tenaga kerja yg mengoperasikan 1 mesin dengan 1 orang yang mengoperasikan 10 mesin. Tentu saja ratio output atas mesin akan lebih tinggi dibandingkan dengan ratio output atas mesin bg tenaga kerja yg mengoperasikan 10 mesin.

Setali tiga uang, Domar yang menyatakan bahwa investasilah yang mendukung pertumbuhan ekonomi harus diinvestasikan ke mesin. Yang menjadi pertanyaannya adalah seberapa besar peran mesin ke dalam perekonomian? Apakah pertambahan mesin (dengan mengabaikan law of diminishing return) akan memiliki tingkat pengali efek yang besar? Sejumlah Negara hanyalah memiliki 1/3 dari GDP disokong oleh investasi pada mesin. Namun, pemahaman bahwa investasi ini adalah sesuatu hal yg penting, terlanjur dianggap sebuah common knowledge dimana diadopsi oleh para ekonom (mungkin saya juga). Dan karena hal inilah, kurangnya kemampuan saving sebuah Negara dalam memenuhi kebutuhan investasi akan dipenuhi dengan penerbitan surat utang maupun utang kepada pihak Negara luar.

Salahkah?

Financing gap pada akhirnya menjadi suatu hal yang mahfum dipahami guna mendorong pertumbuhan ekonomi melalui akumulasi investasi. Akumulasi investasi yang diberikan kepada Negara-negara miskin, mungkinkah efektif untuk mendorong pertuumbuhan? Kasus di Guyana selama tahun 1980 – 1990 nampaknya tidak menunjukkan korelasi positif di antara keduanya. Ketika investasi meningkat drastic menjadi 42 persen dari GDP, justru pertumbuhan ekonomi menurun dengan sangat tajam (Bill Easterly).

Beberapa hal mendasari permasalahan ini, selain kontribusi investasi dalam mesin terhadap GDP dan law of diminishing return, upaya ini yang tidak dibarengi dengan kondusifitas perekonomian, keamanan, politik dan daya beli di Negara tersebut pun menjadi permasalahan lainnya. Sama halnya ketika mencoba untuk running sebuah model layaknya RMSM yang menggunakan financing gap sebagai salah satu instrumennya, namun tidak memasukan dummy variable untuk meng-cover hal-hal yg justru sangat penting.
Memang berbicara mengenai pertumubuhan ekonomi semacam ini hanya akan memunculkan perdebatan-perdebatan yang panjang. Tapi sebenarnya apakah yang menjadi permasalahan dalam ekonomi? Bagaimana dengan Indonesia?

(sumber: The Elusive Quest of Growth)

No comments: