01 August 2011

Refleksi Konsumen terhadap Kenaikan Harga (di Bulan Puasa)


Artikel diambil dari situs Media Indonesia pada Senin, 17 September 2007 07:27 WIB (link sudah tidak bekerja). Ditulis oleh salah satu founding parents grup “konkowiken” Sdr. Aria Ganna Henryanto, pada saat artikel ditulis masih berstatus sebagai mahasiswa Magister Sains Ilmu Ekonomi UGM dengan fokus riset pada perilaku konsumen dan mikroekonomi.

Sudah jamak terjadi menjelang hari besar agama, kenaikan harga akan terjadi. Untuk ke sekian kalinya kisah itu berulang. Seminggu sebelum puasa, harga-harga sembilan kebutuhan pokok (sembako) pelan tapi pasti merangkak naik. Dari pemantauan di lapangan, kenaikan harga dengan persentase bervariasi, antara lain: komoditas ayam potong, telur ayam, daging, sapi, gula pasir, ketan hitam dan ketan putih, kacang tanah serta tepung terigu. Sementara itu, sayuran yang naik harganya, misalnya, buncis, kembang kol, kentang, wortel, cabai, bawang putih, bawang merah, kemiri, dan jeruk limau.

Fenomena yang menarik, kenaikan harga tersebut bukan disebabkan stok produksi yang terbatas, melainkan aksi spekulasi pedagang untuk meraih keuntungan saat permintaan naik (Kompas, 11/09). Padahal, produsen makanan dan minuman, melalui Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), menginformasikan bahwa untuk mengantisipasi permintaan menjelang puasa produksi ditingkatkan 20%-25% dari biasanya. Harga jual pun dipertahankan agar stok tidak menumpuk di gudang.

Pemerintah melalui Departemen Perdagangan pun merespons kenaikan harga tersebut dengan menggelar pasar murah atau operasi pasar. Akan tetapi, pasar murah itu bukan untuk menurunkan harga, melainkan lebih menitikberatkan menolong orang miskin.

Perilaku konsumen
Kenaikan harga sembako itu seharusnya menjadi bahan refleksi konsumen, bukan lantas menyalahkan pemerintah maupun produsen. Jika dikaji lebih teliti, kenaikan harga itu karena rangsangan konsumen yang meningkatkan permintaannya sebagai dampak psikologis menyambut puasa. Momentum itu dimanfaatkan pedagang besar untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya melalui spekulasi.


Hipotesisnya, seorang konsumen dalam berperilaku ekonomi sebagai berikut, pertama, mampu membuat rangking (urutan) jenis barang dari 'yang disukai' sampai 'tidak disukai' atau indiferen. Yakni kedua barang memberikan kepuasan yang sama (completeness). Kedua, konsisten terhadap pilihannya. Artinya, apabila barang satu lebih disukai daripada barang dua, konsumen akan konsisten terhadap pilihannya, tetap mempertahankan preferensinya tersebut (making consistent choices). Ketiga, transitif, yaitu jika barang satu lebih disukai daripada barang dua, dan barang dua lebih disukai daripada barang tiga, barang satu akan lebih disukai daripada barang tiga (transitivity). Keempat, kelebihan lebih disukai daripada kekurangan. Dalam hal ini 'kuantitas lebih banyak' lebih disukai daripada 'kuantitas lebih sedikit' (more is prefered to less).

Peningkatan permintaan konsumen sebagai stimulator kenaikan harga sembako tidak hanya didukung perilaku konsumen tersebut, tetapi diperkuat Survei Anggaran Pengeluaran Indonesia yang dilakukan BPS. Dalam survei itu disimpulkan adanya generalisasi dalam pola konsumsi masyarakat Indonesia. Pertama, pada tingkat pendapatan rendah, konsumen perseorangan akan membelanjakan proporsi yang besar dari pendapatannya untuk konsumsi, bahkan mungkin terjadi pembelanjaan yang lebih besar daripada pendapatannya. Kedua, pada tingkat pendapatan rendah, proporsi yang dibelanjakan untuk pangan lebih tinggi. Pada pendapatan yang lebih tinggi, proporsi itu akan semakin menurun, sedangkan proporsi pengeluaran untuk barang konsumsi lainnya akan mengalami kenaikan.

Antara Konsumsi dan Konsumerisme
Secara implisit, kenaikan harga mengajarkan agar konsumen dalam pemenuhan pangan harus berdasar pada kebutuhan, bukan keinginan. Kalau dituruti, keinginan manusia tidak berbatas, sedangkan ketersediaan sumber daya terbatas. Sebagai konsumen, hendaknya melakukan pemilihan yang cerdas, dengan tidak mengonsumsi secara berlebihan. Seperti dikatakan Marshall Sahlins (2001), sesungguhnya konsumsi itu merupakan tragedi ganda, yang berawal dalam kekurangan akan berakhir dalam ketiadaan. Kekeliruan mendasar masyarakat konsumsi terletak pada asumsi bahwa alam merupakan variabel tetap, sesuatu yang tidak akan habis.

Selama ini, faktor pendorong kenaikan konsumsi lebih ditentukan gaya hidup. Demi hidupnya, manusia butuh konsumsi. Namun, ketika konsumsi menjadi tujuan hidup, ia bergeser menjadi konsumerisme (Juliawan, 2005). Implikasinya, terjadi naturalisasi konsumerisme, seolah-olah konsumerisme merupakan bagian dari hakikat kodrati manusia, berada di luar jangkauan kehendak bebas, dan karena itu pula bebas dari penilaian moral.

Etika ekonomis memang memandang milik pribadi atas barang yang tersedia sebagi perluasan dari kebebasan manusia. Tata milik pribadi manusia atas barang-barang material dipandang 'kodrati'. Artinya, pemenuhan kebutuhan (kepuasan) dipandang sebagai hak kodrati manusia. Dalam konteks ini, Sindhunata menambahkan, sebagai manusia adalah pribadi, dengan demikian ia melampaui segala barang yang tersedia baginya, akan tetapi tidak boleh diperbudak olehnya.



Akhirnya, kenaikan harga sembako hendaknya dimaknai sebagai peringatan dini bagi konsumen bahwa populasi manusia semakin tinggi yang diikuti peningkatan kebutuhan pangan sedangkan lahan pengolahan akan semakin turun produktivitasnya (the law of diminishing return). Konsumsi berlebihan hanya akan berujung pada kekurangan, yang akhirnya kepunahan. Hidup sederhana harus diterapkan. Perhatian harus dipusatkan pada standar minimum, bukan lagi standar layak atau malah standar yang tinggi. Relevan kiranya berbuka puasa pun tidak harus dengan menu yang bervariasi, yang penting bergizi.

No comments: