29 July 2011

Pentingkah Siami?

Pembaca yang aktif di situs jejaring sosial tentu menyadari fenomena "Koin untuk ..." (isi "..." dengan nama seseorang yang saat itu sedang populer karena suatu masalah), yang muncul dengan berbagai variannya. Yang terbaru, misalnya, perlakuan diskriminatif yang diterima Siami, memicu munculnya berbagai komentar, grup, tweets, dan pemberitaan luas di media massa. Saya yakin ada sebagian dari pembaca yang bertanya kenapa Siami mendapat begitu banyak perhatian dari masyarakat? Bukankah ada banyak korban-korban lain yang mungkin memiliki tingkat keparahan yang lebih tinggi? Sederhananya, kenapa masyarakat--pada satu waktu--lebih suka menaruh perhatian ke satu individu tertentu daripada ke suatu kelompok?


Kali ini saya ingin membahas ini dengan menyontek satu bab tentang empati dan emosi dari buku karangan Dan Ariely, salah satu proponen Behavioral Economics, yang berjudul The Upside of Irrationality.


The Identifiable Victim Effect
Kata kunci dari efek ini ada pada kata "identifiable" yang pada dasarnya mengatakan bahwa seseorang akan memberi perhatian lebih pada seorang korban yang teridentifikasi dengan jelas. Sederhananya begini, jika pembaca dihadapkan pada dua berita:

  1. Teriakan “Usir, usir…tak punya hati nurani,” terus menggema di Balai RW 02 Kelurahan Gadel, Kecamatan Tandes, Surabaya, Kamis (9/6/2011) siang. Ratusan orang menuntut Ny Siami meninggalkan kampung. Sementara wanita berkerudung biru di depan kerumunan warga itu hanya bisa menangis pilu. (Sumber: Kompas).
  2. Sebuah kereta barang dan kereta api penumpang bertabrakan satu sama lain pada Sabtu malam di Jerman timur, menyebabkan sedikitnya 10 orang tewas dan sekitar 20 lainnya cedera, kata polisi. Kedua kereta bertubrukan kepala pada sekitar pukul 22:30 waktu setempat (2130 WIB) dekat kota Oschersleben di negara bagian Sachsen-Anhalt, Jerman timur. (Sumber: Republika)

Mana dari dua korban di atas yang akan pembaca sumbangkan uang atau mendapat empati lebih banyak? Menurut sebuah eksperimen pada tahun 2007, kebanyakan orang akan memberi lebih banyak ke korban pertama dimana korban teridentifikasi dengan jelas daripada korban kedua yang selain tak teridentifikasi dengan jelas juga tampak "kering" karena hanya menunjukkan statistik. Konon Josef Stalin pernah berujar,

"The death of one man is a tragedy, the death of millions is a statistic."

Lebih jauh, gambar di bawah menunjukkan bahwa apa yang diucapkan Stalin bisa jadi benar.


Tampak bahwa makin banyak korban maka justru makin sedikit uang yang tersedia.


Closeness, Vividness, "Drop-in-the-Bucket" Effect
Dua kasus diatas menunjukkan bahwa kedekatan (closeness) memainkan peranan penting. Bagaimana tidak, Siami yang selain sebangsa juga merupakan warga kelas menengah, satu kelas sosial yang kini mayoritas di Indonesia. Bandingkan dengan derita warga Jerman yang selain terhalang jarak ribuan kilometer dan tidak memiliki kedekatan yang seerat Siami dengan kita bangsa Indonesia.

Selain itu, kasus Siami yang diekspose media massa yang video dan gambarnya bisa kita lihat dengan jelas. Ekspresi seorang Siami yang dipaparkan dengan nyata, emosional, dan hidup tampak bertolak belakang dengan korban kecelakaan kereta di Jerman. Efek ini disebut sebagai vividness effect.

Efek ketiga, Drop-in-the-Bucket effect, sudah cukup dikenal bangsa Indonesia sejak lama. Bahkan ada peribahasa Jawa yang berujar, "nguyahi segara", yang kurang lebih bermakna serupa. Pembaca yang terpikir memberi bantuan sumbangan ke korban kecelakaan di Jerman mungkin akan merasa perbuatannya sia-sia karena, misalnya, uang yang dimiliki terlalu sedikit dibandingkan jumlah korban yang banyak (10 korban meninggal), juga nilai tukar kita yang jauh dibawah Euro.

Peran media
Dari paparan di atas tampak bahwa kedekatan emosional (closeness) dan gambaran jelas (vividness) menjadi faktor yang mendorong seseorang untuk berempati kepada orang lain. Nah sekarang pertanyaannya adalah bagaimana tindakan yang tidak rasional yang tampaknya sudah menjadi satu dalam diri kita ini bisa "diarahkan"?

Dalam mempromosikan isu HIV/AIDS, misalnya, salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan menonjolkan satu korban penyakit ini untuk menjadi ikon dalam promosi program anti-HIV/AIDS. Cara ini mungkin lebih baik daripada sekedar menampilkan statistik jumlah korban HIV/AIDS yang meninggal tiap harinya.


Cara lain misalnya dengan memberi porsi lebih banyak untuk "gambar-gambar dramatis" (yang tidak melanggar etika tentunya) untuk para korban suatu bencana. Tentu ini mesti disajikan dengan cerdas, jangan hanya menonjolkan darah dan luka, tapi juga menampilkan cerita yang bisa menggugah perhatian pemirsa/pembaca.

No comments: