03 August 2011

Inflasi saat Ramadan: Berkah atau Musibah?

Artikel ini ditulis untuk menanggapi tulisan sebelumnya dari Sdr. Arya berjudul Refleksi Konsumen terhadap Kenaikan Harga yang mengupas tentang perilaku masyarakat (pembeli dan penjual) dalam mengantisipasi bulan puasa yang umumnya ditandai dengan meningkatnya harga barang kebutuhan pokok. Dengan menggunakan sudut pandang mikroekonomi, sdr. Arya berkesimpulan bahwa para konsumenlah yang seharusnya berintrospeksi dan memberikan respons yang tepat atas fenomena rutin tahunan ini. “Inflasi selalu dan di mana pun merupakan fenomena moneter.” Begitulah yang ditulis oleh Milton Friedman. Dampak sosial yang ditimbulkan cukup banyak mengganggu stabilitas perekonomian, diantaranya memperburuk tingkat kesejahteraan masyarakat akibat menurunnya daya beli masyarakat secara umum.

Bulan Ramadan yang jatuh lebih cepat beberapa hari lebih awal setiap tahunnya -tahun Hijriah (lunar calendar) dengan tahun Masehi/Gregorian (solar calender) berselisih 10-11 hari- selalu dinanti-nanti oleh kaum Muslim sedunia. Mereka percaya bahwa bulan ini adalah bulan spesial yang nilai ibadahnya berkali lipat lebih besar dari waktu lainnya sehingga mereka memanfaatkan momen ini untuk lebih menggembleng ketahanan spiritualitas dan fisik mereka melalui puasa dan serangkaian ibadah tambahan lainnya.

Hal yang kontradiktif dan ironis adalah ketika kenaikan harga-harga di bulan puasa terjadi karena perilaku konsumen itu sendiri. Bulan dimana seharusnya hawa nafsu ditekan dan pola hidup dikendalikan, namun harga-harga bahan pokok melambung tinggi. Perilaku produsen yang sengaja memainkan harga di saat Ramadan juga dipandang kurang etis dan menyalahi hakikat ibadah seperti yang dituntunkan oleh agama. Indonesia adalah negara penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia dengan tradisi dan budaya keislaman yang telah melekat dalam berbagai aspek kehidupan sejak ratusan tahun yang lalu. Meskipun sebagian dari mereka tidak terlalu religius (tidak menjalankan ritual), namun diyakini mereka masih memegang teguh prinsip dan nilai yang terkandung dalam setiap ibadah. Adalah suatu paradoks jika masyarakat muslim Indonesia sengaja “menyalahi” kaidah dan hakikat puasa di bulan suci ini.

Grafik diatas menunjukkan perbandingan tingkat inflasi saat Ramadan dengan tingkat inflasi di bulan lainnya menggunakan data periode 1970 Masehi (1390 Hijriah) sampai dengan 2010 M (1431 H). Dari grafik tersebut dapat diketahui bahwa inflasi pada bulan puasa cenderung lebih tinggi daripada rata-rata bulan inflasi pada tahun yang sama, dengan perkecualian di periode tertentu. Terdapat garis putus pada periode 1997 M karena saat itu terdapat dua kali bulan Ramadan pada tahun Masehi yang sama (hal ini dimungkinkan terjadi karena jumlah hari kalender masehi adalah 365 sedangkan jumlah hari kalender hijriah hanya 354).

Apabila ditinjau dari proporsinya, tingkat inflasi saat Ramadan berperan besar dalam pembentukan tingkat inflasi tahunan. Ini dapat dilihat pada tampilan grafik diatas yang menunjukkan kisaran rata-rata sekitar 20 persen dalam setahun, bahkan pada periode 1999 M mencapai diatas 80 persen. Sebelum tahun 1998 (ketika terjadi krisis moneter), pergerakan proporsi inflasi relatif moderat, stabil, dan tidak fluktuatif.

Badan Pusat Statistik tidak mempublikasikan estimasi rangkaian makroekonomi yang disesuaikan secara musiman. Data rangkaian waktu makroekonomi, seperti produk domestik bruto atau indeks harga, cenderung bergerak dengan tiga proses utama: komponen siklus tren, komponen musiman dan komponen iregular. Komponen siklus tren adalah gerakan jangka panjang dan jangka menengah rangkaian untuk PDB misalnya, mencakup tingkat pertumbuhan rata-rata dan fluktuasi siklus bisnis. Komponen musimannya adalah fluktuasi dalam setahun yang berulang dengan cara yang sama di bulan atau kuartal yang sama dari tahun ke tahun, misalnya musim panen yang menghasilkan peningkatan hasil pertanian jangka pendek, masa liburan yang sama mengurangi kegiatan industri, atau penyesuaian kembali harga pada awal tahun sekolah atau tahun kalender baru.

Untuk mengetahui seberapa besar perilaku masyarakat pada musim tertentu, dapat dilakukan dengan menggunakan estimasi yang memisahkan komponen musiman melalui regresi atas dummy untuk setiap periode rutin pada rangkaian sebenarnya. Pendekatan ini berasumsi bahwa pergerakan musiman dalam periode tertentu tidak berubah secara signifikan bersamaan dengan berjalannya waktu. Pendekatan lain yang lebih canggih dan tidak terlalu memperhitungkan asumsi ini adalah dengan memperbolehkan faktor musiman untuk berubah secara berkala. Pendekatan yang dapat digunakan secara umum adalah paket X12-ARIMA yang biasanya termasuk dalam program tambahan (add-on) pada software statistik regresi seperti Eviews. Pendekatan ini dapat digunakan untuk menghitung data inflasi Indonesia yang disesuaikan secara musiman.

Menurut Laporan Kuartalan Ekonomi Indonesia yang dirilis oleh Bank Dunia pada September 2009 diketahui bahwa Ramadan dan Idul Fitri memiliki dampak signifikan terhadap perilaku ekonomi melalui peningkatan konsumsi makanan, pengurangan jam kerja, dan penggunaan hari libur. Namun untuk data kuartalan, dampak Ramadan terhadap pola musiman tidak signifikan, terutama jika faktor musiman dapat disesuaikan secara perlahan melalui teknik X12-ARIMA. Untuk data bulanan, jika liburan umat Muslim memiliki dampak signifikan, dampak tersebut dapat dihitung dengan melakukan regresi terhadap rangkaian yang disesuaikan secara musiman untuk beragam hari libur.


Pernyataan diatas memang tampaknya terdengar kompleks namun dapat diartikan secara ringkas bahwa inflasi di saat bulan Ramadan yang disebabkan oleh kenaikan permintaan maupun kelangkaan pasokan ternyata tidak memiliki dampak permanen terhadap perekonomian dalam jangka panjang namun memiliki dampak jangka pendek. Hal ini dapat diduga karena kenaikan harga hanya terbatas untuk produk-produk tertentu seperti bahan makanan.
Akhirul kalam, agak susah menyimpulkan apakah inflasi Ramadan ini merupakan berkah bagi sebagian kalangan (karena volume transaksi perdagangan lebih besar) atau menjadi beban bagi konsumen (terutama yang berpendapatan tetap/rendah). Budaya menyajikan makanan yang “lebih spesial” di bulan Ramadan juga tidak serta merta dapat dihilangkan karena sudah menjadi tradisi atau identitas atau bahkan mendekati ritual bersantap. Hal yang seharusnya diperhatikan adalah self-control terhadap pola konsumsi dan daya beli setiap orang. Selain itu, perlu juga direnungkan bahwa di bulan ini kegiatan filantrofi masyarakat semestinya meningkat.

2 comments:

anta said...

Selain itu, perlu juga direnungkan bahwa di bulan ini kegiatan filantrofi masyarakat semestinya meningkat. <<
kesimpulan terakhir ini terkesan agak melompat, apakah ini yang disebut sebagai berkah??

Anonymous said...

Mungkin lebih tepatnya: "kegiatan filantrofi masyarakat yang mengakibatkan meningkatnya jumlah uang beredar melalui kegiatan, zakat, infak, dan sedekah". Wallahu a'lam