07 July 2011

Overheating dan metamorfosis ekonomi Indonesia

Saat kuliah ekonomi makro kita sering ditunjukkan gambar siklus bisnis: ada saat dimana ekonomi tumbuh pesat hingga mencapai puncak (peak), mengalami overheating, dan kemudian mengalami depresi/resesi hingga titik nadir (trough). Kali ini saya ingin berbagi cerita singkat mengenai bagaimana ekonomi Indonesia yang saat ini dianggap overheating dan bagaimana kita bisa melihat ini dari sudut pandang berbeda.



Apa itu overheating?
Sederhananya overheating adalah situasi saat ekonomi berjalan terlalu cepat melebihi kapasitas yang dia miliki. Bayangkan pembaca yang sedang jogging pagi-pagi, pada 30 pertama kita merasakan semua rasa pegal menghilang, 30 menit kedua badan terasa bugar tapi mulut mulai merasa haus, 30 menit ketiga rasa haus berubah menjadi dehidrasi. Overheating pada perekonomian mirip kondisi tubuh manusia pada 30 menit kedua seperti contoh di atas: kaki masih ingin berlari tapi rasa haus mulai menghadang. Riilnya, "rasa haus" dalam perekonomian bisa diindikasikan sebagai, misalnya, tingkat inflasi yang tinggi, tingkat pengangguran yang rendah, dan tingkat suku bunga riil yang positif. Indikator-indikator inilah yang menjadi bangun dasar indeks risiko overheating yang dibikin The Economist.

Emerging-market overheating index
The Economist membuat indeks risiko terjadinya overheating berdasarkan 6 indikator utama yang lalu diranking per negara:

  • Inflasi. Makin tinggi inflasi makin besar risiko overheating.
  • Pertumbuhan ekonomi. Rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun selama periode 2008-2011 dikurangi rata-rata pertumbuhan ekonomi 10 tahun terakhir. Makin besar angkanya makin besar risiko overheating.
  • Tingkat pengangguran. Tingkat pengangguran relatif terhadap rata-rata 10 tahun terakhir. Makin kecil angkanya makin besar risiko overheating.
  • Ekspansi kredit. Pertumbuhan kredit bank ke sektor swasta dikurangi pertumbuhan PDB nominal selama 12 bulan terakhir. Makin besar angkanya makin besar risiko overheating.
  • Tingkat suku bunga riil. Tingkat suku bunga nominal dikurangi tingkat inflasi. Makin besar angkanya makin besar risiko overheating.
  • Neraca perdagangan. Neraca perdagangan sebagai rasio terhadap PDB. Makin kecil angkanya makin besar risiko overheating.
Tiap negara kemudian diranking berdasarkan risiko terjadinya overheating memakai 6 indikator ini. Misalnya jika pertumbuhan kredit yang berlebih (excess credit) diatas 5% maka negara itu mendapat poin 2 (risiko overheat tinggi), poin 1 jika 0-5% (risiko sedang), dan poin nol jika 0% (risiko kecil). Oya, indikator ini hanya diterapkan hanya untuk negara berkembang (emerging economies) seperti Cina, India, Indonesia, dan Brasil karena negara-negara inilah yang menjadi motor baru dunia usai Eropa dan Amerika Serikat dihantam krisis keuangan beberapa tahun lalu.


Indonesia mengalami overheating?
Jika kita merujuk pada indikator ini maka Indonesia termasuk diantara 7 negara yang risiko overheat-nya tinggi seperti ditunjukkan oleh gambar ini.


Melihat gambar di atas, Indonesia--bersama dengan Argentina, Brasil, Hong Kong, India, Turki, dan Vietnam--termasuk negara berkembang yang ekonominya berlari terlalu cepat, relatif terhadap negara berkembang lainnya. Biasanya "obat" overheating adalah dengan menabung lebih banyak agar bisa dipakai sebagai bantalan/buffer saat terjadi krisis/resesi nantinya, ingat: orang tidak bisa terus-menerus berlari, pertumbuhan ekonomi pun ada batasnya. Kali ini saya tidak ingin beradu debat mengenai obat overheating ini, kali ini saya ingin melihat kondisi ini dari perspektif lain. Tepatnya, dari perspektif seorang pelatih maraton.

Metamorfosis
Seseorang yang sedang berolah-raga jogging bisa dilihat dari dua sisi: kemampuan fisiknya saat itu dan potensi fisiknya yang sesungguhnya. Seorang Samuel Kamau Wanjiru mungkin tak akan dikenal saat ini sebagai peraih medali emas lari maraton Olimpiade Beijing 2008 andai ia hanya seorang pelari jogging di kampungnya Nyahururu di Kenya. Begitu pula dengan perekonomian sebuah negara. Kita bisa melihat kapasitas ekonomi saat ini dengan berbagai macam indikator namun kita juga bisa melihat potensi yang ada di dalamnya. Potensi ini biasanya terselubung oleh, misalnya, tingginya ongkos transaksi, belanja publik yang tidak efisien, birokrasi yang ribet, korupsi, dan sebagainya.



Menilik indikator Doing Business ini, misalnya, tampak bahwa Indonesia masih jauh dari peringkat atas negara dengan kemudahan berbisnis (ranking 30 dari 54 negara berpendapatan menengah kebawah). Lebih parah lagi untuk tingkat korupsi: berdasarkan Corruption Perception Index 2010 Indonesia menempati peringkat 110 dari 178 negara di dunia. Hanya dari dua indikator ini saja kita bisa melihat betapa besarnya potensi yang bisa muncul jika saja ongkos berbisnis dan perilaku korupsi kita tidak setinggi dan seburuk sekarang. 

Dengan demikian obat overheating dengan menabung atau mengurangi defisit anggaran bisa disesuaikan misalnya dengan meningkatkan belanja untuk penegakan hukum dan pemberian insentif sebagai bagian dari reformasi birokrasi yang saat ini sedang berjalan. Mari kita memetamorfosiskan perekonomian Indonesia dari sekedar pelari jogging menjadi pelari maraton.


2 comments:

Anonymous said...

Kebalikannya overheating apa gan?

ryan said...

kebalikannya overheating: cooling.