09 November 2011

Ilusi Koordinasi

Telah sekian lama istilah koordinasi menjadi jargon andalan para pengambil keputusan terutama bagi mereka yang mengabdi pada negara. Salah satu tugas Bappenas, misalnya, adalah mengkoordinasikan program-program pembangunan berbagai kementerian. Namun begitu koordinasi sering menimbulkan benturan kepentingan, seperti pembentukan OJK, yang menunjukkan bahwa koordinasi bukan sesuatu yang mudah dicapai.

Dalam tulisan kali ini saya tak akan bertele-tele menjelaskan pentingnya (atau tidak pentingnya) koordinasi. Kali ini saya ingin menilik koordinasi dari konteks yang lebih sempit: koordinasi antar dua individu.

Battle of Sexes
Mempelajari koordinasi antara dua individu (suami-istri, dua teman baik, dst) bisa menjadi pegangan bagi kita yang ingin meninjau koordinasi pada tingkat yang lebih tinggi. Terkait koordinasi dua individu ini ada salah satu permainan (ya, permainan!) yang cukup terkenal dan relevan yang bernama battle of sexes. Kenapa disebut permainan? Sederhana, karena battle of sexes ini memiliki peraturan, strategi, pemain, dan imbalan.

Begini kurang lebih bentuk permainannya: ada dua individu (sebut saja Iwan dan Nungki) yang ingin menonton film serial (Bajaj Bajuri atau Putri yang Ditukar). Sayangnya selera Iwan berbeda dengan Nungki: Iwan lebih suka menonton Bajaj Bajuri (BB) sementara Nungki sudah mengikuti Putri yang Ditukar (PYD) sejak musim pertama. Walau begitu, karena Iwan dan Nungki saling menyayangi satu sama lain, mereka lebih senang bisa menonton film bersama daripada menonton film sendiri-sendiri. Secara sederhana permainan ini bisa digambarkan sebagai berikut:


Angka 0, 200, dan 600 hanya sebagai ilustrasi tingkat kesenangan mereka: makin tinggi makin senang. Misalnya jika mereka memutuskan menonton Bajaj Bajuri (BB-BB) maka tingkat kebahagiaan Iwan sebesar 600 (Nungki hanya 200), begitu pula sebaliknya untuk PYD-PYD. Namun jika mereka menonton sendiri-sendiri maka tingkat kebahagiaan mereka berdua adalah 0.

Dengan sekilas membandingkan berbagai pilihan di atas, pilihan terbaik (misal dari 10 kesempatan dalam sebulan) adalah menonton Bajaj Bajuri 5 kali dan Putri yang Ditukar juga 5 kali. Namun tentu saja Iwan dan Nungki tidak selalu bisa berkoordinasi seperti itu. Terkadang mereka menonton sendiri-sendiri (akibatnya adalah mereka tidak optimal dalam mendapat kebahagiaan).

Nah karena prediksi battle of sexes ini hanya berdasar logika, maka timbul pertanyaan: apakah benar faktanya demikian? Juga muncul pertanyaan lain: andai dimungkinkan koordinasi (satu arah atau dua arah), apakah hasilnya berbeda? Eksperimen berikut akan menjawab dua pertanyaan ini.

Eksperimen
Cooper dkk melakukan studi ini pada tahun 1990-an memakai 165 pasang pemain yang dari tiap pasang secara acak diberi peran sebagai seorang "Iwan" atau "Nungki" untuk kemudian memilih satu dari dua pilihan ("BB" atau "PYD"). Hasil eksperimen adalah sebagai berikut:


Bagaimana kita membaca tabel di atas? Begini caranya:

  • BOS (battle of sexes):  ini permainan standar seperti yang dijelaskan di atas. Dari 165 pasang pemain, hanya sekitar 20% (33 pasang) yang memilih strategi optimal (BB-BB atau PYD-PYD), mayoritas (59%) gagal melakukan koordinasi dan memilih untuk "menonton sendiri-sendiri."
  • BOS-1W (komunikasi satu arah): sebelum permainan dimulai, peserta yang berperan sebagai Nungki diberi hak untuk mengutarakan pilihannya (yaitu PYD). Hasil menunjukkan koordinasi satu arah semacam ini secara drastis meningkatkan pilihan pada PYD-PYD hingga 96%.
  • BOS-2W (komunikasi dua arah): kali ini sebelum permainan dimulai, "Iwan" maupun "Nungki" boleh berkomunikasi atau bernegosiasi sesuka mereka. Hasilnya... Kegagalan koordinasi tetap pada tingkat yang tinggi (42%).


Ilusi koordinasi?
Eksperimen di atas (dan berbagai eksperimen lainnya tentang koordinasi seperti studi oleh Dani Rodrik atau Rimawan Pradiptyo) menunjukkan sulitnya koordinasi dilakukan bahkan pada level individu.

Satu hal yang menarik untuk disebutkan di bagian penutup ini adalah bagaimana komunikasi satu arah ternyata lebih efektif dari komunikasi dua arah. Dengan kata lain: "mendikte" pasangan kita terkadang berujung pada pilihan optimal. Dan tentunya tiap pasangan harus melakukan koordinasi untuk menentukan siapa dan kapan seseorang harus mendikte, ha!


01 November 2011

Tentang angka 0 dan 1

Pagi kawans! Lama tak bersua dengan blog ini, mari kita isi hari pertama di bulan November ini dengan tulisan yang mungkin tak terlalu populer diantara kita: binary response model!

Sedikit pengantar tentang binary response model
Ya, saya paham kalau pembaca langsung mengernyitkan dahi begitu melihat judul blog ini lalu membaca paragraf pertama di atas: "apa hubungannya angka nol dan satu dan binary response model?" Buat beberapa teman yang cukup akrab dengan matematika tentu tahu bahwa bilangan biner (binary) terdiri dari angka 0 dan 1, tapi apa maksudnya dengan binary response model?


Sebelum beranjak ke apa itu binary response model, ada baiknya kita mulai celoteh pagi ini dengan kilasan singkat tentang ekonometri.

Ekonometri pada dasarnya adalah studi yang menggabungkan metode statistik, matematika, dan teori ekonomi untuk mengatahui hubungan sebab-akibat dari sebuah fenomena ekonomi: jika x (misal harga beras) naik maka y (misal jumlah beras yang dibeli konsumen) turun, seperti yang diprediksi teori permintaan. 
Nah salah satu cabang dari ekonometri adalah binary response model, dimana variabel y diatas hanya terdiri dari angka 0 dan 1. Lalu apa maksudnya dengan angka 0 dan 1? Bilangan biner dipilih biasanya untuk merepresentasikan sebuah fenomena kualitatif.

Misalnya, fenomena tentang pemilu, dimana kita ingin membuktikan apakah faktor-faktor yang kita anggap berandil dibalik menangnya politisi (y=1 jika politisi menang, y=0 jika dia kalah) memang benar adanya. Jadi model ini mencoba menghitung kemungkinan (probabilitas) seorang politisi menang dalam pemilu setelah memperhitungkan faktor-faktor yang mungkin menjadi penyebabnya (variabel x, misalnya kekayaan sang politisi, jumlah pemilih di daerahnya, dan seterusnya).



Linear probability model (LPM)
Bentuk paling dasar dari binary response model adalah linear probability model (LPM) dimana kita mengestimasi parameter dari variabel x dengan pendekatan ordinary least square (OLS). Misalnya hasil estimasi untuk model politisi diatas:

y = 0.05 + 0.6*kekayaan + 0.5*incumbent - 0.9*korupsi + error


Interpretasi dari angka diatas adalah jika politisi tersebut adalah seorang incumbent (nilai variabel incumbent juga binary, incumbent=1 jika dia saat ini juga menjabat) maka probabilitas dia menang pemilu naik 50%, ceteris paribus. Namun jika dia pernah korupsi (korupsi=1) maka kemungkinan dia menang turun 90%.

Sekilas model ini tampak cukup untuk menjawab kebutuhan kita, namun ada satu masalah besar: perkiraan nilai y bisa negatif. Contoh: jika seorang politisi punya kekayaan sebesar Rp0.5 miliar (variabel kekayaan=0.5), dan dia juga sedang menjabat (incumbent=1), namun saat ini sedang dijerat KPK (korupsi=1), maka prediksi nilai y=-0.5. Angka negatif ini jelas tidak masuk akal karena kita menghitung probabilitas seorang politisi memenangkan pemilu, tidak ada probabilitas yang angkanya diluar rentang 0 dan 1.

Nah salah satu cara mengatasi angka prediksi yang negatif adalah dengan mengindeks prediksi dari model ekonometri yang kita pakai dengan model probit atau logit.

Probit dan logit
Formula dalam model probit (distribusi normal) dan logit (distribusi logistic) keduanya memiliki ciri yang khas: angka apapun yang dimasukkan kesitu hasilnya pasti terletak antara 0 dan 1. Jadi ini tentu menjadi solusi bagi model LPM yang saya singgung sebelumnya.
Distribusi logistic
Distribusi normal

Perbedaan logit dan probit hanya pada distribusi datanya: jika kita anggap error terdistribusi normal maka kita pakai probit, namun jika kita asumsikan distribusinya logistic ya kita pakai logit (bahkan bentuk kedua distribusi ini sangat mirip seperti gambar diatas). Sedikit informasi, kebanyakan ekonom lebih menyukai distribusi normal.

Namun sayangnya kita tidak bisa secara langsung menginterpretasikan hasil estimasi model probit/logit. Kenapa begitu? Karena kita mengindeks prediksi dengan formula distribusi normal (probit) atau formula distribusi logistic (logit) yang mana keduanya adalah model non-linear. Misal hasil estimasi dengan logit adalah: 

y = 0.03 + 0.7*kekayaan + 0.5*incumbent - 0.85*korupsi + error

Kita tidak bisa menginterpretasikan angka 0.5 diatas sama seperti dalam model LPM. Instead, kita mesti mengalikan angka tersebut dengan scale factor tertentu. Untungnya bermacam aplikasi statistik saat ini memungkinkan kita untuk mendapatkan angka yang bisa diinterpretasikan secara langsung (seperti dalam LPM) hanya dengan mengetik beberapa perintah saja. Misalnya, dengan Stata kita cukup mengetik: margins, dydx(*) dan, voila!, layar didepan kita akan langsung tersaji sederet angka yang siap diinterpretasikan secara langsung seperti di LPM.


Demikian ulasan singkat tentang binary response model, semoga bisa memberi inspirasi bagi kawan-kawan yang sedang bergelut dengan belajar dan bekerja. Selamat siang.


Stata Center di MIT (ajaib, seperti softwarenya)

19 October 2011

Salahkah asumsi dasar perekonomian kita?

Membaca sebuah buku tentang pertumbuhan ekonomi yang dikarang oleh William Easterly mengingatkanku pada sebuah pengalaman kerja di Negara konflik dan terhitung sebagai Negara yang cukup gagal. Afghanistan. Persepsi yang melekat pada Negara ini adalah Negara teroris yang ditopang oleh opium sebagai mata pencaharian utama para petaninya. Pernah saya tuliskan betapa parah dan hancurnya perekonomian di Negara ini pasca perang saudara yang salah satunya didukung oleh Negara-negara seperti Amerika, Inggris dan Australia.

Tetapi bukan itu yang justru menggelitik benak saya ketika membaca buku ini. Buku yang dikarang oleh William Easterly ini mengedepankan pemahaman dan logika atas teori yang dipergunakan selama ini oleh Negara-negara donor maupun para lembaga internasional, tidak terkecuali lembaga sekelas UNDP, IMF dsb. Teori yang mengacu pada teori pertumbuhan Solow dan Harrod-Domar yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi harus didukung oleh penambahan mesin atau investasi yang terus menerus.

Solow theory

Permasalahan yang mendasari kenapa Robert Solow menganulir teori adalah kesalahan asumsi yang dia pergunakan, yaitu penambahan jumlah mesin yang terus menerus akan meningkatkan produktivitas. Satu hal yang beliau lupakan pada saat itu adalah adanya Law of Diminishing Return yang berlaku di dalam system ekonomi. Hokum ini sendiri menyatakan bahwa setiap penambahan suatu barang akan mengakibatkan pengurangan kepuasan atau manfaat atas barang tersebut. Hal yang sama pun nampaknya juga berlaku untuk factor produksi yang saat itu dikemukakan oleh Solow.

Penambahan mesin yang dilakukan secara terus menerus memang diyakini akan mampu meningkatkan produktifitas ekonomi. Bahkan teori yang dikemukakan oleh Harrod-Domar pun nampaknya mendukung teori ini. Kalau yang dikatakan oleh Solow adalah penumpukan mesin, Harrod-Domar menyatakan bahwa investasilah yang justru meningkatkan pertumbuhan. Investasi yang tidak hanya dilakukan untuk mesin, namun justru dalam skala yg lebih luas.


Sumber: The friday times

Apa yang disanggahkan oleh Solow sendiri adalah fakta bahwa penambahan mesin tanpa dibarengi dengan penambahan tenaga kerja justru akan mengurangi produktifitas tenaga kerja itu sendiri. Bandingkan antara 1 tenaga kerja yg mengoperasikan 1 mesin dengan 1 orang yang mengoperasikan 10 mesin. Tentu saja ratio output atas mesin akan lebih tinggi dibandingkan dengan ratio output atas mesin bg tenaga kerja yg mengoperasikan 10 mesin.

Setali tiga uang, Domar yang menyatakan bahwa investasilah yang mendukung pertumbuhan ekonomi harus diinvestasikan ke mesin. Yang menjadi pertanyaannya adalah seberapa besar peran mesin ke dalam perekonomian? Apakah pertambahan mesin (dengan mengabaikan law of diminishing return) akan memiliki tingkat pengali efek yang besar? Sejumlah Negara hanyalah memiliki 1/3 dari GDP disokong oleh investasi pada mesin. Namun, pemahaman bahwa investasi ini adalah sesuatu hal yg penting, terlanjur dianggap sebuah common knowledge dimana diadopsi oleh para ekonom (mungkin saya juga). Dan karena hal inilah, kurangnya kemampuan saving sebuah Negara dalam memenuhi kebutuhan investasi akan dipenuhi dengan penerbitan surat utang maupun utang kepada pihak Negara luar.

Salahkah?

Financing gap pada akhirnya menjadi suatu hal yang mahfum dipahami guna mendorong pertumbuhan ekonomi melalui akumulasi investasi. Akumulasi investasi yang diberikan kepada Negara-negara miskin, mungkinkah efektif untuk mendorong pertuumbuhan? Kasus di Guyana selama tahun 1980 – 1990 nampaknya tidak menunjukkan korelasi positif di antara keduanya. Ketika investasi meningkat drastic menjadi 42 persen dari GDP, justru pertumbuhan ekonomi menurun dengan sangat tajam (Bill Easterly).

Beberapa hal mendasari permasalahan ini, selain kontribusi investasi dalam mesin terhadap GDP dan law of diminishing return, upaya ini yang tidak dibarengi dengan kondusifitas perekonomian, keamanan, politik dan daya beli di Negara tersebut pun menjadi permasalahan lainnya. Sama halnya ketika mencoba untuk running sebuah model layaknya RMSM yang menggunakan financing gap sebagai salah satu instrumennya, namun tidak memasukan dummy variable untuk meng-cover hal-hal yg justru sangat penting.
Memang berbicara mengenai pertumubuhan ekonomi semacam ini hanya akan memunculkan perdebatan-perdebatan yang panjang. Tapi sebenarnya apakah yang menjadi permasalahan dalam ekonomi? Bagaimana dengan Indonesia?

(sumber: The Elusive Quest of Growth)

20 September 2011

Pertarungan yang Menghidupkan…



Hari ini mendadak kontak bbm saya dipenuhi oleh logo 56, ternyata hari ini adalah hari ulang tahun Fakultas Ekonomi (FE) UGM atau sekarang bernama Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UGM, ada sedikit penambahan embel-embel bisnis dibelakang kata ekonomi. Mungkin karena jengah dengan banyaknya yang memasang propic ultah FEB UGM, salah satu teman pasang status 'FEB UGM ultah! So what!'. Tulisan ini hanya sebagai catatan ringan untuk FEB UGM, kampus saya dulu.

Masih lekat dalam ingatan saya ketika saya memilih Jurusan IESP di FE UGM sebagai pilihan utama, bagi saya itu adalah sebuah pertaruhan untuk masa depan. Karena pada saat itu ibu saya hanya memberi dua opsi, kuliah di UGM atau kerja, bagi lulusan SMU seperti saya kuliah adalah opsi terbaik. Karena selain lulusan SMU belum siap kerja, status mahasiswa itu keren bagi saya karena memiliki tempat khusus dalam masyarakat. Lalu, kenapa opsinya harus kuliah di UGM? Karena terjangkau, murah! Jadi bukan karena keren atau hebat atau bagaimana, dan ini tentu saja menjadi pilihan bagi generasi saya saat itu, sebuah generasi yang berasal dari keluarga pas-pasan namun memiliki mimpi yang cukup wah, menjadi sarjana, karena itu mungkin satu-satunya jalan untuk melakukan mobilitas vertikal.

19 September 2011

Sedikit tentang eksperimen dalam ilmu ekonomi

Aloha! Lama tak jumpa! Kali ini saya ingin sedikit berbagi tentang bagaimana eksperimen dilakukan dalam ilmu ekonomi.

Laboratorium ekonomi
Eksperimen dalam ilmu ekonomi, seperti halnya eksperimen dalam ilmu-ilmu lainnya, umumnya dilakukan di laboratorium. Nah, uniknya, laboratorium eksperimen ekonomi biasanya hanya memerlukan sejumlah komputer yang saling terkoneksi dan sejumlah partisipan (umumnya mahasiswa).
Lab eksperimen ekonomi di kampus saya Melbourne Uni

Namun kini sudah ada sejumlah eksperimen yang dilakukan di lapangan (field experiment), misalnya dengan membagi suatu populasi menjadi dua sampel, control group dan treatment group, yang mana perbedaan hasil eksperimen diantara keduanya bisa dijelaskan oleh perbedaan perlakuan yang diterima keduanya. Esther Duflo adalah salah satu ekonom (perempuan) yang paling aktif untuk kategori eksperimen semacam ini.

11 September 2011

Konektivitas (Indonesia) Kita



Saya begitu terhenyak ketika membaca buku "Meraba Indonesia" kisah perjalanan satu tahun berkeliling sisi terluar Indonesia. Perjalanan yang dilakukan oleh dua orang sahabat yang sama-sama berprofesi sebagai seorang jurnalis, Ahmad Yunus dan Farid Gaban. Mereka berbagi tugas dalam mendokumentasikan kisah perjalanan mereka, Farid Gaban lebih ke dokumentasi visual dan Ahmad Yunus dalam bentuk tulisan, meskipun Farid juga menuliskannya.