03 June 2011

Ilmu ekonomi = ilmu tentang insentif

Seperti yang pernah saya singgung sedikit dalam blog ini sebelumnya, ilmu ekonomi pada dasarnya adalah ilmu tentang insentif. Nah saya ingin mengelaborasi pernyataan ini sedikit lebih dalam.

Tentang self-interest
Tentu teman-teman yang pernah belajar ekonomi pernah menemui kalimat Adam Smith berikut:
"It is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or the baker, that we expect our dinner, but from their regard to their own interest."


Satu kalimat singkat yang lalu diterjemahkan oleh para ekonom sebagai dasar persaingan bebas: bahwa yang menggerakkan ekonomi adalah kepentingan pribadi (own interest) orang itu, karenanya tidak boleh dihalang-halangi. Namun yang kurang dijabarkan lebih jauh adalah kata "interest" itu sebenarnya mengacu pada apa sih? Apakah "interest" ini mengacu pada animal spirit-nya Akerlof dan Shiller misalnya? Menurut saya kata "interest" perlu dilihat dari makna awalnya, yaitu sesuatu yang diingini/diminati oleh seseorang, sesuatu yang menjadi insentif bagi seseorang untuk berbuat sesuatu.

Insentif dalam ilmu ekonomi standar
Dalam pengajaran pengantar ilmu ekonomi jamak kita temui asumsi yang kita anggap sebagai sesuatu yang pasti. Misalnya, pertumbuhan ekonomi itu baik, mengkonsumsi barang lebih banyak itu akan menambah kepuasan, dan yang disebut sebagai efisien adalah tidak ada sumber daya yang terbuang percuma. Bagi mereka yang bertanya kenapa begitu, jawabannya sudah pasti: makin banyak uang makin baik.

Jadi dalam ilmu ekonomi uang adalah segalanya? Tidak! Ingat, misalnya, konsep kepuasan (utility) hanya menunjukkan bahwa mengkonsumsi lebih banyak lebih baik, tapi tidak mengajarkan kita bagaimana mencari sumber daya yang memungkinkan kita mengkonsumsi barang lebih banyak. Negara ingin warganya memiliki pendapatan per kapita tinggi, tapi ilmu ekonomi tidak mendoktrin tentang uang itu sendiri sebagai ultimate cause, melainkan bagaimana uang itu bisa memungkinkan kita meningkatkan kemakmuran. Jadi uang sebenarnya hanya salah satu medium untuk mencapai suatu tujuan utama (ultimate cause), nah ultimate cause inilah insentif yang saya maksud.

Tentang kepuasan (utility)
Jadi apa saja ultimate cause ini? Seperti disebut di atas, kepuasan (utility) adalah salah satu ukuran: puas karena bisa makan 2 apel daripada 1 apel, puas karena bisa membantu pembangunan rumah sakit, puas karena bisa mengajar orang lain. Konsep kepuasan itu universal!

Sayangnya, demi mempermudah pengajaran, acap kali para pengajar kita hanya menggunakan istilah-istilah sederhana seperti konsumsi 2 jenis barang daripada konsumsi untuk hal-hal yang sifatnya altruis atau utopis (seperti memberi uang untuk orang miskin atau mewakafkan tanahnya untuk pembangunan masjid). Kenapa tidak, selama hal-hal itu memiliki karakteristik barang normal (makin banyak makin memberi kepuasan).

Tentu mereka tidak sebodoh itu

Ya, jelas saya bukan orang pertama yang menyadari tentang konsep kepuasan dan insentif di atas. Tentu para ekonom tidak sebodoh itu. Apa buktinya? Well, berikut daftar perkembangan-perkembangan untuk mengukur kepuasan dan insentif yang mungkin berbeda dibandingkan model standard yang sering kita temui di perkuliahan.

  • Green GDP. Pertama kali saya mendengar istilah ini waktu tahun-tahun terakhir kuliah S1 dulu, waktu itu ada dosen tamu yang menjelaskan tentang memasukkan faktor-faktor lingkungan dalam penghitungan PDB. Konon RRC yang menjadi pelopor penggunaan metodologi ini. Namun entah kenapa kini gaungnya kalah keras dibanding isu perubahan iklim misalnya.
  • Gross national happiness (GNH). Bhutan menjadi pelopor pengukuran kepuasan berdasarkan pada seberapa senang masyarakatnya. Indikator kesenangan menurut mereka terdiri atas 9 dimensiPsychological Well-being, Time Use, Community Vitality, Culture, Health, Education, Environmental Diversity, Living Standard, dan Governance. Terlepas dari berbagai kritik, penggunaan GNH sebagai indikator utama capaian suatu negara patut diapresiasi.
  • Publius view dalam political economics. Pandangan ini pada dasarnya mengatakan bahwa masyarakat melihat ada potensi bagi pemerintah untuk berbuat sesuai kepentingan publik (ideal), namun juga menyadari bahwa pemerintah bisa pula melakukan rent-seeking melalui misalnya korupsi. Sehingga trik dalam model political economy macam ini adalah bagaimana membuat peraturan yang bisa mengontrol hasrat pemerintah untuk melakukan rent-seeking namun sekaligus memberi alternatif insentif agar pemerintah bekerja sesuai harapan publik. Contoh penerapannya: reformasi birokrasi melalui remunerasi bagi PNS di Indonesia. Menurut pandangan publius ini, remunerasi sebenarnya adalah insentif agar tidak korupsi. Berhasil atau tidak?
  • Climate change economics. Salah satu insentif bagi negara berkembang (yang kaya akan hutan) agar tidak melanjutkan proses pembalakan hutan adalah misalnya lewat mekanisme Clean Development Mechanism dalam Kyoto Protocol.

Daftar di atas menunjukkan bagaimana ilmu ekonomi telah jauh berevolusi dari sekedar ilmu yang mempelajari bagaimana "mendapat keuntungan dengan pengorbanan sekecil-kecilnya." Daftar di atas juga menunjukkan, seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, bagaimana ilmu ekonomi telah bergumul dengan ilmu-ilmu lainnya.

1 comment:

alhayat said...

Saya kurang yakin apakah istilah "dejavu" menggambarkan apa kualami. Ketika hari ini ini ku membaca profil Akerlof dlm http://www.imf.org/external/pubs/ft/fandd/2011/06/people.htm tiba2 sy teringat dengan tulisan2 Mas Ryan, terutama istilah "procrastination". Ketika berkunjung lagi ke obrolanangking ternyata disinggung juga animal spirit-nya Arkelof.....

Mhn tanggapan mas penulis, ide2 tulisannya dr mana y? Apa di Aussie ga malam mingguan..... tks