Pertanyaan sebagaimana judul diatas kerap ditanyakan oleh calon mahasiswa baru (undergraduates) yang akan memilih jurusan kuliah yang akan ditempuh selama kurang lebih 3-4 tahun mendatang. Hal ini wajar mengingat daftar mata kuliah dalam prospektus atau silabus mencantumkan beberapa subjek yang memiliki disclaimer berbunyi “memerlukan latar belakang matematika dan statistika” sehingga menimbulkan kekhawatiran bagi seseorang yang tidak terlalu menyukai hal-hal numerik dan kuantitatif.
Sebagai contoh kutipan dari laman situs UCLA Berkeley bagian persiapan studi PhD for Economics (http://www.econ.berkeley.edu/econ/grad/preparation.shtml) terdapat kutipan sebagai berikut: “Applicants must have knowledge of multivariate calculus, basic matrix algebra, and differential equations; completion of a two-year math sequence, which emphasizes proofs and derivations, should provide adequate preparation...” Meskipun juga terdapat keterangan “An undergraduate degree in economics is not required for admission to the Ph.D. program, provided that applicants have achieved an adequate background in economics and mathematics at the undergraduate level”.
Banyak pula mahasiswa yang merasa “terkecoh” ketika mengambil ilmu ekonomi sebagai pilihannya, karena menganggap kategori ilmu sosial yang “seharusnya” minim dari sentuhan matematika ternyata ditemui sebaliknya. Sebagai contoh, mahasiswa ilmu ekonomi tahun pertama dari jurusan SMA IPS pasti akan terkejut saat menemui mata kuliah Ekonometri yang isi substansinya jauh lebih njelimet dibandingkan mata pelajaran yang diambilnya saat di bangku sekolah tahun sebelumnya. Beberapa kalangan menduga hal tersebut menjadi salah satu penyebab kenapa ilmu ekonomi menyandang predikat ratunya ilmu-ilmu sosial.
Dalam salah satu bukunya, Boediono mengungkapkan bahwa pendekatan kuantitatif adalah suatu keniscayaan (sunnatulah) untuk menjadi prasyarat dalam mendalami ilmu ekonomi. Sebagai contoh: tak perlu menjadi orang bergelar sarjana ekonomi untuk mengetahui alur logis sebab-akibat dalam hukum permintaan-penawaran. Orang awam akan tahu dan maklum jika harga barang akan naik ketika persediaannya menjadi langka, namun tidak semua orang tahu BERAPA BESAR kira-kira kenaikan harga yang ditimbulkan atas kelangkaan suatu barang.
Peraih Nobel Ekonomi, Paul Krugman, dalam salah satu artikelnya di tahun 2006 menyatakan bahwa sesungguhnya ilmu ekonomi modern memang tergolong sebagai salah satu disiplin ilmu sains hard-core karena melibatkan permodelan matematika, bagi mereka yang tidak menyukai pendekatan ilmu ekonomi modern adalah karena mereka hanya menyukai pendekatan literatur-filosofis yang mbulet tak karuan (economics is a hard-core sciencey discipline because it uses mathematical models, and that those who dislike modern economics do so because they would prefer literary criticism style blah-blah...).
Krugman berkata demikian setelah perdebatannya dengan seseorang bernama Bob Kuttner mengenai epistemologi ilmu ekonomi. Tak tanggung-tanggung, Krugman berujar bahwa sikap yang berupaya menjadikan ilmu ekonomi menjadi kurang saintifik dan lebih kepada studi literer kualitatif adalah karakteristik/atribut dari penulis anti-akademik. Luar biasa!
Lebih dari 40 tahun lalu, ilmuwan yang menjadi novelis bernama C.P. Snow menulis esai terkenal mengenai peperangan antara “dua budaya” yakni antara essentially literary sensibility yang diaharapkan memiliki card-carrying intellectual dengan scientific/mathematical outlook yang diduga menjadi lambang kejayaan peradaban. Perang aliran budaya ini terus berlanjut, dan ilmu ekonomi berada di garis terdepan. Dapat dikatakan juga bahwa dalam wilayah garis depan ini kaum literati telah kehilangan pengaruhnya dalam kurun 30 tahun terakhirdan mereka sangat menginginkan wilayah ini dapat direbut kembali. Hal ini yang menjelaskan mengapa gaya lit-crit sangat disukai oleh kritikus kaum “kiri” (leftist) terhadap ilmu ekonomi arus utama (mainstream), karena mereka tahu bahwa penjelasan kuantitatif dan aljabar yang terdapat di belakang layar ilmu ekonomi sangat sukar untuk dibantah dengan sendirinya secara logis. Pendapat ini juga diamini oleh Kenneth Galbraith (pemuka ekonomi aliran alternatif), yang menyatakan bahwa untuk menghadapi aliran mainstream diperlukan standar alternatif atas otoritas intelektual dan legitimasi. Dengan kata lain ini seperti ungkapan dialog. ”Kalian (mainstreamers) punya Paul Samuelson? Well, kami (non-mainstreamers) punya Jacques Derrida dalam line-up”. Kaum literati tidak akan puas sampai ilmu ekonomi dikembalikan ke khittahnya sebagai ilmu sosial yang tidak dicemari oleh formula-formula njelimet namun mereka akan kesulitan setelah mengetahui bahwa kaum mainstream yang dianggap nerds ternyata memiliki klaim yang lebih baik.
Statement dari Krugman sangat menarik namun dia tidak menjelaskan bukti empirik dalam tulisannya. Dengan ini, diskusi menjadi sekedar debat teologis antara penggemar mistis Pythagorean yang beriman kepada kebangkitan atas kekuatan matematika dengan kaum scholar abad pertengahan yang taqlid buta pada tataran konseptual filosofis abstraktif. Yang lebih menarik, keduanya menyatakan klaim kebenaran masing-masing!
Lalu, apakah dengan adanya “kosmetik” matematika yang penuh pesona tersebut menjadikan ilmu ekonomi yang sempurna? Belum tentu. Lihat kegagalan prediksi pakar ekonomi atas krisis ekonomi kemarin atau lihat banyaknya pialang saham yang menghabisi hidupnya dengan meloncat dari puncak gedung karena prediksi/proyeksi teknis-matematis-fundamentalnya ternyata menemui kegagalan.
Anyway, seperti dalam posting Sdr. Ryan sebelumnya, saya sepakat kalau ilmu ekonomi ini adalah disiplin ilmu yang terus berevolusi menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan sekaligus beradaptasi dengan kemajuan subjek-subjek lainnya. Kemarin filosofis, sekarang matematis, besok agamis? Siapa tahu??
Sebagai tambahan, mahasiswa ilmu ekonomi sekarang tidak cukup berbekal matematika-statistika untuk memecahkan formula atau keahlian bahasa Inggris tingkat advanced untuk mencerna konsep-konsep abstrak buku babon klasik Adam Smith, Keynes, Ricardo, Marx, Friedman tetapi juga life skills lainnya seperti komputasi/pemrograman dasar (seperti command-line Stata) hingga kemampuan interpersonal yang diperlukan dalam pekerjaan teamwork dan negosiasi atau kecerdasan retorika dalam berargumen.
Last but not least, perlu disadari bahwa ilmu ekonomi (dan mungkin ilmu lainnya) bekerja dengan melandaskan pada asumsi. Disclaimer ini perlu untuk dicamkan baik-baik karena penyelesaian persoalan problem model matematis yang cenderung menyederhanakan formula (ceteris paribus) belum tentu sama/sesuai dengan solusi praktis pengambilan kebijakan atas permasalahan riil yang dinamis (mutatis mutandis). Siap-siaplah dengan sakit kepala (atau sakit jiwa)!
Untuk sekedar refreshing kemampuan matematis bagi mahasiswa ilmu ekonomi, silakan buktikan dengan menyederhanakan persamaan dibawah ini:
Jawaban: Persamaan tersebut sesungguhnya hanyalah “perwujudan tidak wajar” atas persamaan sangat sederhana 1 + 1 = 2. Hasil karya nerd bernama John T. Siegfried dalam papernya yang berjudul “A First Lesson in Econometrics” yang diterbitkan oleh Chicago Journals dan dimuat dalam The Journal of Political Economy volume 78 nomor 6 (November-Desember 1970).
No comments:
Post a Comment