Saat pertama kali saya membaca judul artikel "Club Goods and Group Identity: Evidence from Islamic Resurgence during the Indonesian Financial Crisis", hal pertama yang terbersit di kepala saya adalah... jeng jeeeeng!!
Ini Islamist insurgence, bukan resurgence |
Nah, jadi artikel ini ternyata mengulas kaitan antara krisis ekonomi dengan bangkitnya ke-Islam-an di Indonesia. Karena keterbatasan data, ke-Islam-an disini didefinisikan sebagai partisipasi di pengajian dan sekolah Islam (madrasah dan pesantren). Jadi apa yang mereka temukan?
Pertama, krisis tahun 1997/1998 mengakibatkan jatuhnya pendapatan riil rumah tangga akibat tingginya inflasi (±78%). Kemudian mengingat 90% warga Indonesia mayoritas mengaku beragama Islam, maka dampak absolut paling besar dari krisis ini menimpa kelompok ini. Chen lalu menghitung dampak jatuhnya pendapatan (yang diproksi dengan pengeluaran) terhadap partisipasi dalam mengikuti pengajian. Hasilnya: jika pendapatan kita jatuh, kita cenderung lebih sering ikut pengajian. Menarik!
Kenduri Cinta oleh Cak Nun. Yang begini termasuk pengajian gak ya? |
Sedikit catatan tentang metodologi: dalam menghitung dua temuan diatas, Chen menginstrumen pendapatan dengan luas lahan sawah basah dan apakah individu bekerja sebagai pegawai negeri. Cek ini untuk tahu apa itu instrumental variable method.Kembali ke temuan penelitian, sebagian pembaca pasti berpikir, "ah jangan-jangan ini gak cuma terjadi di pengajian saja?" Tapi ternyata setelah mengestimasi ulang model regresinya, Chen menemukan bahwa dampak ini hanya terjadi di pengajian dan tidak terjadi di aktivitas lain seperti karang taruna, olahraga, dasawisma, maupun PKK. Bahkan khusus untuk arisan, jatuhnya pendapatan menyebabkan partisipasi di arisan menurun, temuan yang wajar menurut saya.
Ibu-ibu PKK memecahkan rekor mencuci baju terbanyak versi MURI |
Temuan lain yang menarik adalah ternyata dengan berpartisipasi di pengajian maka kemungkinan menerima sedekah jadi turun. Artinya, ikut pengajian bisa sedikit mengurangi kebutuhan sehari-hari. Contoh sederhananya, dengan ikut pengajian maka kita dapat ta'jil--atau syukur-syukur bancakan--jadi kita merasa tercukupi, tak perlu menerima sedekah :))
Ini lho bancakan |
Penelitian yang diterbitkan di Journal of Political Economy tahun 2010 lalu ini memberi cukup banyak informasi tentang bagaimana masyarakat muslim bereaksi terhadap jatuhnya pendapatan saat krisis terjadi. Meski begitu kita mesti cermat dalam membaca metodologi dan hasil di penelitian ini, misalnya mengenai waktu luang yang tadi saya singgung diatas. Selain itu penelitian memakai data rumah tangga, dimana hasil penelitian mungkin hanya mencerminkan preferensi kepala rumah tangga pemberi informasi dan bukan seluruh anggota rumah tangga. Data yang dipakai di penelitian ini bisa diunduh disini.
Sebagai penutup, judul yang dipakai oleh Chen ini menurut saya agak lebay. "Pembaruan Islam" tentu sangat tereduksi maknanya jika kita hanya melihat naiknya partisipasi di pengajian dan sekolah Islam. Ah tapi rasanya munafik kalau saya bilang begitu tapi ga pernah ikut pengajian, jadi ikut pengajian (online), yuk!
Video pengajian Habib Luthfi Pekalongan
4 comments:
Mas dab, sekedar cara pikir lain: waktu krisis moneter 1997/98 yang lalu, daerah-daerah pengekspor komoditas tertentu (coklat,kopi, udang) malah mendapat durian runtuh atas devaluasi Rupiah terhadap USD (sbg currency standar untuk administrasi L/C ekspor). Hal ini, konon, membuat para pemilik, perajin, pekerja, atau stakeholder terkait kelompok tsb di atas memanfaatkan sebagian windfall profit-nya untuk "kegiatan religiusitas" d.h.i rukun Islam wajib seperti Haji atau sunnah seperti umroh atau sekedar ziarah ke makam wali, sunan, atau kondangan2 seperti diatas. Sekali lagi, just my 2 cents.
Btw, ayo sekali2 melu jamaah maiyah Cak Nun dab.. :)
Betul masbro. Menurut Chen, salah satu penyebab maraknya kelompok pengajian adalah makin banyaknya orang yg kasih sumbangan, yang mungkin karena mereka dapat windfall profit itu.
Ayo Januari ke maiyah-e Cak Nun. Dulu sempet 2-3 kali datang di acaranya Cak Nun juga, boleh lah dilestarikan...
Tiap Jumat minggu ke-2 di Jakarta (Kenduri Cinta) yang kota lain beda jadwalnya. Fenomena kelompok "pengajian" unik ala Cak Nun sempat diikuti oleh antropolog Oxford (Ian L. Betts) dan ditulis dalam berbagai buku. Lebih jauh bisa ditelusuri sendiri...
http://www.youtube.com/watch?v=xBwUiJbeL6Y
Tiap Jumat minggu ke-2 di Jakarta (Kenduri Cinta) yang kota lain beda jadwalnya. Fenomena kelompok "pengajian" unik ala Cak Nun sempat diikuti oleh antropolog Oxford (Ian L. Betts) dan ditulis dalam berbagai buku. Lebih jauh bisa ditelusuri sendiri...
http://www.youtube.com/watch?v=xBwUiJbeL6Y
Post a Comment