28 January 2008

Global Recession...(lagi??)

Tahun ini (2008) diperkirakan menjadi tahun yang cukup sulit bagi seluruh perekonomian dunia (tentu saja kecuali China, India dan Rusia). Betapa tidak, ancaman resesi global, yang dimulai dari Amerika Serikat nampaknya memang benar-benar sudah di depan mata. Kita pun patut memberikan salut kepada George Soros dan Alan Grenspan yang dulu (kalau tidak salah) pada tahun 2005 - 2006 telah mengatakan bahwa US sangat berpotensi untuk terjadi resesi.


Pada waktu itu, dugaan ini sepertinya hanya isapan jempol..ketika kita melihat perekonomian US yang sangat bagus dan kemampuannya dalam menjaga inflasi. tapi begitu melihat dari sisi mikro dengan adanya sub-prime (yg nantinya akan menciptakan "krisis" baru di tahun 2007) menjadikan sektor perumahan US sangat rentan akan terjadinya keruntuhan. Bahkan indikasi ini pun sebenarnya sudah terlihat dari tingginya suku bunga the Fed yang mencapai 5,25%. angka ini merupakan salah satu angka tertinggi sejak tahun 1990.

Selanjutnya sepanjang tahun 2007, kinerja perekonomian di seluruh dunia (dilihat dari sisi finance) cenderung mengalami kenaikan yang sangat tinggi. Kenaikan ini memang tidak terjadi secara serta merta pada tahun ini saja, melainkan hanya meneruskan pertumbuhan yang telah dimulai sejak tahun 2003. Namun bila kita perhatikan lebih lanjut, selama tiga tahun terakhir terjadi koreksi yang sangat dalam pada sisi pertumbihan finance (2005-2007). Umumnya penurunan indeks di seluruh dunia selama tiga tahun tersebut mencapai 15-20% dari titik tertingginya. Koreksi yang terjadi di sektor finance tentu saja berkaitan erat dengan kondisi di sektor riil di seluruh dunia. Penurunan pertumbuhan US akibat tingginya suku bunga the Fed selama tiga tahun terakhir, inflasi dunia, penyerangan terhadap Irak dan Afganistan serta pergeseran dominasi perekonomian dunia oleh China, India dan Rusia telah menyebabkan adanya suatu turbulensi dalam perekonomian dunia.

Turbulensi ini pun diperparah dengan timbulnya kasus di US pada pertengahan tahun 2007 dimana sub-prime mortgage (yang merupakan kredit yang diberikan kepada penduduk yang sebenarnya kurang layak) akhirnya meledak. Dampaknya, sebagaimana yang kita ketahui, beberapa investment banking di seluruh dunia mengalami kerugian milyaran dollar. Sebutlah Citibank dan Credit Suisse yang mengalami kerugian cukup besar. tentu saja hal ini menyebabkan adanya gonjang ganjing dalam perekonomian (lebih tepatnya bursa) dunia, tidak terkecuali Indonesia. Oklah, selama ini kita membicarakan mengenai sektor finance. Bila kita menilik dari sisi sektor riil, harga minyak pada akhir tahun 2007 sempat mencapai US$100/barrel, dan CPO mencapai US$1000/ton. Tentu saja hal ini menyebabkan kenaikan pada harga produk turunannya, bahkan secara tidak langsung akan berimbas pada kenaikan produk-produk lainnya yang menggunakan kedua bahan energi ini sebagai bahan bakarnya.

gonjang ganjing perekonomian pada tahun 2007, diakhiri dengan sebuah kasus fenomenal dari investment banking di Perancis, Societe Generale, yang mengalami kerugian sebesar US$7,2 milyar, akibat penggelapan dana oleh salah satu tradernya. Hal ini mengakibatkan sempat terjadinya kepanikan di sejumlah bursa dunia. Pada Januari 2008, kembali beberapa bursa dunia mengalami penurunan sebesar 18-20%. Perubahan siklus ini pun ikut menandakan dampak resesi telah semakin intens menyerang perekonomian di dunia.

Kemanakah perekonomian berjalan pada tahun 2008 ini? Yang pasti, pada awal 2008, sejumlah permasalahan ekonomi telah mencuat. Kebijakan George Bush untuk memberikan insentif kepada perekonomian US sebesar kurang lebih US$150 milliar serta kebijakan the Fed yang menurunkan fed fund rate sebesar 75 bps mendapatkan banyak kritikan dari sejumlah ekonom dunia. Memang bila diperhatikan, dua kebijakan ini memiliki sinergi yang cukup jelas, yaitu meningkatkan produksi nasional.

Langkah the Fed memang patut dimaklumi mengingat tekanan di bursa yang terus berlanjut selama dua minggu telah mengakibatkan bursa dunia berguguran, dan di sisi lain tekanan perlambatan ekonomi akibat dominasi konsumsi di US kian berlanjut. Pada akhirnya, Bush pun berusaha untuk meningkatkan produksi dengan kebijakan stimulus sebagaimana telah disebutkan di atas. Bukan tidak mungkin, sinergi dua kebijakan ini sangat efektif dalam meningkatkan produksi dalam negeri di US. Langkah the Fed ini pun merupakan suatu langkah yang berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama sebagaimana yang pernah terjadi pada masa The Great Depression dimana the Fed gagal dalam mempertahankan suplai uang. Kesalahan ini pun diakui oleh Bernanke pada tahun 2002, dan membenarkan pendapat Milton Friedman serta Anna Schwartz: "...I would like to say to Milton and Anna: Regarding the Great Depression. You're right, we did it...." (Wikipedia).


Namun satu hal yang patut diwaspadai, dari dua kebijakan ini adalah potensi kenaikan inflasi US. Di sini, nampaknya the Fed melakukan gambling terhadap perekonomian US saat ini. upaya untuk menaikkan pertumbuhan tentu saja akan menciptakan resiko inflasi yang semakin tinggi. Kebijakan stimulus Bush serta penurunan suku bunga akan meningkatkan likuiditas uang yang secara logika ekonomi justru akan menurunkan harga uang relatif terhadap barang. Ada beberapa skenario yang bisa dipertimbangkan di sini.
pertama, Produksi dapat meningkat, inflasi pun meningkat. Bagi produsen, inflasi merupakan insentif guna meningkatkan produksi dengan catatan daya beli masyarakat tidak mengalami penurunan akibat adanya inflasi. Kondisi yang ada saat ini adalah perekonomi US diyakini ditopang oleh sektor konsumsi dan bukan sektor produksi. Kondisi ini telah mengakibatkan munculnya hipotesis bahwa apabila produksi meningkat diikuti dengan inflasi, maka dampak positifnya kecil karena daya beli masyarakat menurun. dan otomatis karena daya beli yan menurun, hasil produksi pun tidak terserap dengan baik. Yang pada akhirnya justru akan menciptakan kelesuan yang lebih.
kedua, munculnya kondisi liquidity trap. Yaitu kondisi dimana penurunan suku bunga hingga pada suatu level terendah tidak lagi berdampak terhadap produksi. Dengan kata lain, penurunan suku bunga tidak dapat meningkatkan produksi karena memang telah berada pada kondisi yang lesu. Hal ini memiliki dampak yang sangat jelas, yaitu penurunan kinerja perekonomian yang sangat dalam bagi US.

Ketakutan ini cukup beralasan mengingat efek dari resesi ekonomi di US sangatlah besar. Hingga saat ini, meskipun resesi belum terjadi di US, sejumlah negara besar seperti Jepang yang telah mulai mengalami krisis di sektor property, serta Singapura yang selama 4,5 tahun terbebas dari permasalahan ekonomi, pada kuartal keempat 2007 mengalami pertumbuhan output yang negatif (Bloomberg, Global Recession Risk Grows as U.S. `Damage' Spreads by Rich Miller).

Tahun 2008 masih sangat panjang. Namun cobaan di bidang ekonomi telah banyak menyita tenaga dan pikiran dari para pembuat kebijakan dan ekonom. Apakah US berhasil menangani permasalahan ekonomi ini? ataukah US kembali menjalankan kebijakan ekonomi yang salah? dan bagaimana dengan Indonesia dengan power ekonominya yang relatif kecil dibandingkan dengan negara lain bahkan di Asia?

2 comments:

ryan said...

Wah artikel yg panjang dan cukup menjelaskan tentang kemungkinan resesi di AS tahun ini. Nice job. Btw, ada beberapa pendapat yg pengen aku tambahi disini:

- Fluktuasi harga minyak sedikit banyak juga dipengaruhi spekulan yang melihat niche market di commodity goods. Dunia yang sempat banjir likuiditas pada 2005-7 membuat para pemegang duit macam negara2 timur tengah ingin "menaruh telur dalam banyak basket" dg bermain di emerging market hingga commodity market. Jadi kontrak futures nggak selalu mencerminkan kebutuhan riil masa depan.

- Pemakaian jagung dan foodcrops lainnya sebagai bahan pembuat biofuel semakin kencang ditolak. Riset terakhir dr Uni Eropa cenderung mendiscourage pemakaian bahan-bahan ini.

- Ada kritik bahwa stimulus $150 billion dari pemerintah AS tidak akan efektif krn digelontorkan kepada middle-upper income individuals. Sejauh ini, nggak ada teori ato bukti yg menunjukkan kaum menengah-atas ini spendingnya lebih besar drpd mereka yg miskin jika diberi tambahan uang senilai $300 (kira2 segitu besaran uang yg ditransfer dlm paket kebijakan AS).

- Ada juga kritik bahwa penurunan Fed rate tidak akan efektif mendorong sektor konstruksi krn banyaknya rumah yg belum terjual. Sehingga growth dr sektor konstruksi akan terbatas. Selain itu produktivitas di AS sudah relatif tinggi, sehingga insentif apa pun kemungkinan tidak akan banyak mendorong pertumbuhan. Harapan hanya pada spending konsumen.

- Ekonomi Eropa sedang menguat, inflasi juga menjadi ancaman disana. Krn itu Bank of England dan ECB nggak mengikuti kebijakan rate cut AS. Selain itu ekonomi Eropa lebih resilient karena kuatnya internal trade mereka yg menggunakan mata uang bersama (Euro).

- Don't forget Indonesia and Brazil. With Russia, India, and China, these countries emerged as new market and also industry for global economy.

Adi Nugroho said...

saya komen dikit aja bro ... sori kalo OOT tapi alangkah lebih baiknya kalo posting anda ini diparaphrase dulu untuk kemudian diposting dengan bahasamu sendiri. jadi nggak terkesan seperti copy and paste aja. seperti apa yang udah dilakukan oleh sdr. Ryansan dalam komen-nya

Regards