31 October 2012

Ideologi ilmu ekonomi


Selama bertahun-tahun belajar "ilmu" ekonomi di kampus, saya menemukan pola perkuliahan yang jamak dilakukan baik di kampus di Indonesia maupun di luar negeri. Pola perkuliahan ini biasanya diawali dengan mewajibkan mahasiswa tahun pertama untuk mengambil mata kuliah ekonomi mikro, ekonomi makro, dan matematika ekonomi. Lalu di tahun kedua fakultas biasanya mewajibkan mahasiswa mengambil mata kuliah ekonometri.

Nah, di mata kuliah "keramat" bernama ekonomi mikro dan makro inilah kami disihir dengan berbagai model ekonomi yang begitu kompleks namun juga elegan, yang seakan bisa menggambarkan bagaimana manusia mengambil pilihan-pilihan sehari-hari. Misalnya kami diajari mengapa terlalu banyak menabung itu tidak baik, mengapa seorang tukang bakso mau menerima secarik kertas bertuliskan "Rp10.000", dan yang paling penting: bagaimana cara kita mencari untung sebanyak-banyaknya dengan ongkos sekecil-kecilnya. Itulah "ilmu" ekonomi.


Lalu apa masalahnya?

Masalahnya adalah 95% dari apa yang kami terima di ekonomi mikro, makro, ataupun ekonometri tidak terpakai di dunia kerja! Kecuali kami bekerja di lembaga penelitian atau kampus, sedikit sekali dari berbagai ilmu elegan yang kami terima dulu yang dipakai oleh kantor tempat kami bekerja. Bahkan dalam dunia penelitian pun acap kali terdapat gap yang lebar antara ilmu yang kami dapat (terutama untuk freshgraduate S1) dengan apa yang mesti kami teliti.


Kalau di dunia kerja saja ga berguna, bagaimana di percintaan? :D



Kenapa ini bisa terjadi?

Pertama, kita mesti menilik ke sejarah ilmu ekonomi. Fondasi ilmu ekonomi modern--terlepas dari kontroversi soal siapa yang sebenarnya memulai--dibangun oleh Adam Smith pada abad ke-17. Adam Smith melihat bahwa feodalisme mengekang kebebasan manusia dalam berkehidupan: barang dan uang dimonopoli oleh segelintir penguasa dengan memperbudak bagian besar rakyat. Adam Smith mendobrak konsep ini dengan konsep kebebasan berkeadilan, dimana rakyat sendirilah yang semestinya menentukan nasib dirinya sendiri. Jika seseorang lebih suka menanam gandum, maka biarlah dia menanam gandum, toh kalau gandumnya tidak terjual ya yang rugi si petani gandum itu sendiri. Seorang petani gandum yang rasional akan melihat bahwa lebih menguntungkan untuk, misalnya, berjualan baju daripada menanam gandum. Inilah sesungguhnya konsep invisible hand yang terkenal itu...

Sayangnya dalam pengajaran ilmu ekonomi konsep invisible hand secara derogatif diartikan "biarkan pasar yang menentukan segalanya". Ini tentu salah besar. Ingat, sang petani gandum akan beralih profesi menjadi penjual baju kalau dia rasional dan individu-individu lain juga berlaku rasional

Ilmu ekonomi sebenarnya mengajarkan tentang konsep rasionalitas, namun sayangnya konsep ini diajarkan secara sempit dan kaku. Sebagian beralasan: demi menjaga elegansi teori ilmu ekonomi itu sendiri! Ini membolak-balik nalar! Kita belajar ilmu ekonomi agar kita paham tentang apa yang terjadi sehari-hari, bukan agar kita memaksakan apa yang diteorikan dengan kenyataan. Tentunya model-model ekonomi ini bukan tak berguna, dia adalah "peta" bagi kehidupan sehari-hari, namun bukan berarti "peta" yang dibuat di abad ke-17 masih layak dipakai di abad ke-21.


Peta dunia yang dibuat 4000 tahun yang lalu 

Sekarang kita melompat ke masa kini. Krisis ekonomi global yang terjadi tahun 2008 lalu mencoreng muka para ekonom yang gagal memprediksi terjadinya krisis ini. Meski sebagian ekonom mengakui dengan besar hati kegagalan mereka, tapi beberapa ekonom justru menyalahkan para pejabat yang mengambil keputusan tanpa berpegang pada prinsip ekonomi. Sekali lagi, dunia terbolak-balik. Ilmu ekonomi mengajarkan apa yang idealnya terjadi di dunia yang serba sempurna, ilmu ekonomi tidak memaksakan apa yang yang diteorikan harus diterapkan atau terjadi di dunia nyata.


Begitu buruknya reputasi ilmu ekonomi, sebagian orang menganggap Nobel ilmu ekonomi tak layak disejajarkan dengan Nobel bidang-bidang lainnya:

“The Economics Prize has nestled itself in and is awarded as if it were a Nobel Prize. But it’s a PR [public relation] coup by economists to improve their reputation ... It’s most often awarded to stock market speculators ... There is nothing to indicate that [Alfred Nobel] would have wanted such a prize,” Peter Nobel (http://www.thelocal.se/2173/20050928/)

Lalu kesimpulannya?

Kira-kira begini rekapnya:

  1. Fondasi ilmu ekonomi adalah konsep-konsep yang maju dan sekaligus kompleks 
  2. Namun kemudian terjadi reduksi konsep yang kompleks ini demi kenyamanan berteori (dan pengajaran)
  3. Begitu ada ketidakcocokan antara teori dan praktek, sebagian "oknum" ekonom justru menyalahkan mereka yang di dunia nyata

Inilah sebabnya kenapa sebagian orang sinis dengan keilmuan "ilmu" ekonomi. Selama kita hanya melihat ekonomi hanya sebagai rentetan rumus dan model elegan tanpa ada kepraktisan di dunia nyata, maka pantaslah kita memberi imbuhan "ideologi" di depan "ilmu ekonomi".

"Ideologi ilmu ekonomi"

Lalu apa yang mesti para ekonom lakukan? Saya bukan ekonom yang pantas mengajari ekonom lain, tapi boleh dong saya memberi saran ke diri saya sendiri.

Langkah pertama, bukalah diri terhadap ilmu-ilmu lain. Sejak beberapa dekade terakhir ilmu ekonomi telah banyak terpengaruh oleh cabang-cabang ilmu yang tidak terduga sebelumnya. Biasanya ilmu ekonomi dekat dengan ilmu politik dan matematika/statistika. Namun kini makin banyak penelitian yang menggabungkan konsep ilmu ekonomi dengan ilmu psikologi, neuroscience, biologi, hingga fisika. Bahkan tren di beberapa cabang ilmu ekonomi yang dulunya tidak dianggap kini mulai mengalahkan kepopuleran cabang ilmu ekonomi yang "tradisional".



Kedua, tidak semua yang tradisional itu buruk. Model-model ekonomi standar tetap mesti diajarkan, dengan menekankan bahwa ini demi menyederhanakan masalah yang kompleks, bukan mereduksinya. Lalu seperti yang saya bilang diatas, ilmu ekonomi umumnya dekat dengan ilmu politik. Oxford University, misalnya, menawarkan program S1 "Philosophy, Politics and Economics". Benar-salah ditilik dari sisi filosofi, untung-rugi ditimbang dari segi ekonomi, dan eksekusi ditinjau dari sisi politik, kira-kira begitu. 


Yes you are, sir

Ketiga, fokus pada kekuatan ilmu ekonomi. Selama bertahun-tahun belajar ilmu ekonomi, kerap kali saya mendengar istilah ilmu ekonomi sebagai the queen of social sciences. Maksudnya, ilmu ekonomi tidak cuma bisa mengatakan untung atau rugi, tapi seberapa besar untungnya atau seberapa besar ruginya. Ini terkait dengan kentalnya pengajaran ekonometrika dan statistika di bangku perkuliahan. Pakailah ekonometrika, tunjukkan kekuatannya, dan yang lebih penting: ketahui kelemahannya dan jujurlah dalam menyampaikan hasilnya.

Keempat, ilmu ekonomi bagi saya adalah ilmu tentang insentif. Misalnya, saya suka aktif di media sosial karena saya menikmati berbagi informasi (plus curhat tentunya) ke orang lain. Motivasi saya ini tentu tak bisa saya paksakan, orang lain mungkin melihat insentif untuk aktif di media sosial karena dibayar (jadi ingat #3macan2000). Karena itu penting buat kita untuk memahami apa saja insentif yang mungkin mempengaruhi individu-individu.

Kelima, praktekkan! Ini mungkin saran yang paling susah. Banyak teori ekonomi yang secara elegan memberi solusi bagi masalah sehari-hari, misalnya pajak untuk polusi, alokasi ideal untuk donor tubuh, dan bagaimana cara terbaik menentukan siapa yang layak mendapat bantuan langsung tunai.

Tentu kelima saran tadi tidak serta merta bisa membuat ilmu ekonomi jadi lebih terpakai di dunia nyata, tapi paling tidak mahasiswa yang belajar ilmu ekonomi++ ini bisa lebih merasa tercerahkan tentang bagaimana dunia disekitar mereka bekerja. Tentu tak jelek bukan kalau kita jadi lebih paham? ;)

04 April 2012

Tentang subsidi BBM


  1. Tweeps kali ini saya ingin ikut berkicau ttg pencabutan subsidi BBM. Masa saya yg dari dl belajar ekonomi malah tidak turut berpendapat?
  2. Saya rasa sudah banyak ekonom yg berargumen tentang knp subsidi BBM mesti dicabut. Ini dokumen resminya dari Wapres:  
  3. Pada dasarnya subsidi BBM dicabut krn lebih menguntungkan org yg tidak miskin, dlm artian mereka yg mampu beli mobil/motor.
  4. Saya bilang org yg tidak miskin, krn mayoritas masyarakat Indonesia adalah kelas menengah: kaya engga, miskin juga engga.
  5. Subsidi BBM (aktual) mencapai hampir Rp200 triliun (20% dari APBN Pemerintah Pusat 2012, 2x lipat gaji & tunjangan PNS Pusat).
  6. Tweeps tentu sudah tahu soal subsidi ini, jd fokus saya adalah mencoba menjawab argumen2 yg sering muncul di permukaan.
  7. "Drpd cabut subsidi mending hapus korupsi." Pertama, jelas ini ada perbedaan dimensi krn subsidi dalam APBN dimensinya tahunan ...
  8. ... sementara korupsi sudah mengakar sejak puluhan tahun. Kedua, Korupsi bkn cm soal duit, tp jg soal mental, birokrasi, institusi, dll.
  9. Sementara subsidi BBM jauh lebih sederhana: APBN kita akan goyah jika tetap membayar subsidi sebegitu besar. Bgmn nasib program2 lain?
  10. Ketiga, harga BBM mengikuti harga minyak dunia. Artinya jika harga minyak dunia turun, ya harga BBM bisa jadi turun (pernah terjadi).
  11. "Pengeluaran utk BBM itu besar porsinya bagi rakyat miskin tp kecil bagi org kaya." Betul, tp ingat BBM bs dibeli siapa sj, miskin/kaya.
  12. Mengingat org miskin <20% penduduk, maka 80% sisanya-lah yg menikmati subsidi itu. Fair?
  13. Kalo mau main devil’s advocate, sebenarnya pos belanja kaum miskin itu seperti apa sih? Ada studi kl kaum miskin diberi subsidi uang...
  14. ... uang itu bukan buat beli makanan pokok, tp buat makanan yg lebih "mewah", plus hal2 lain kayak rokok.
  15. Nah saya pernah denger kalo porsi buat rokok & pulsa hp besar. Knp ga protes k Sampoerna & Telkomsel kalo gitu? Rokok + pulsa mahal lho.
  16. "Drpd cabut subsidi mending naikin pajak." Sama seperti korupsi, ada perbedaan dimensi disini. Naikin penerimaan pajak tdk bs seketika.
  17. Lagipula, yakin lo mau dipajaki lagi sama pemerintah?
  18. Ingat Indo beruntung bs tumbuh 5-6% di tengah krisis global. Ekonomi tumbuh artinya penerimaan pajak cukup besar, bayangkan jika resesi.
  19. “BBM naik tapi transport jelek.” Apakah dengan BBM tidak naik transport jadi baik? Counterfactual...
  20. Justru dengan BBM naik maka ada keleluasaan anggaran utk membenahi transport. Walau diakui kl pajak kita ga earmarked utk transport dll.
  21. “Harga BBM > harga sekali makan, tidak seperti di luar negeri dimana harga BBM<makanan.” Luar negeri mana dulu? Di Filipina...
  22. ... di Filipina harga BBM (tanpa subsidi) sekitar Rp12 ribu, harga Big Mac sekitar Rp25 ribu, sama seperti di Indonesia. Lebih parah.
  23. Kalo perbandingannya dengan negara maju jelas tidak fair, namanya juga negara maju pendapatannya pasti tinggi juga, biaya hidup jg tggi.
  24. Kl bandingin dg Saudi atau Venezuela juga sama saja bohong, secara 2 negara itu eksporter minyak sementara Indonesia importir BBM.
  25. “BBM naik, harga2 naik, beban hidup naik.” Ini memang problem paling besar. Masalahnya, apa opsi lain pemerintah?
  26. Naikin pajak & berantas korupsi? Tdk bisa dlm waktu dekat. Potong anggaran? Sudah dilakukan (paling tdk menurut dokumen Wapres diatas).
  27. Hutang dlm negeri? Surat utang negara udah byk diterbitkan, kita tidak mau sembrono menerbitkan tanpa yakin kita bs bayar bunga+pokok.
  28. Pinjam lembaga asing (World Bank)? Apa yakin WB mau kasih pinjaman secara mereka yg advocate hapus subsidi.
  29. Do nothing? Berarti hrs ada pos2 lain yg dikorbankan, korban kuantitas maupun kualitas. Subsidi nambah Rp53 triliun itu banyak bung!
  30. “BBM naik tapi tidak ada jaminan sosial.” Reverse causality: terbatasnya jaminan sosial krn keterbatasan anggaran.
  31. Sangat menggoda bagi kita untuk mengait2kan isu BBM dengan isu2 lain seperti jaminan sosial, transportasi, listrik, renewable energy...
  32. ... masalahnya, semua “meminta” duit: jamsos butuh duit, begitu pula utk transport umum & energi terbarukan. Jika semua “meminta” duit..
  33. Trus duit siapa dong yg dikorbankan? Zero-sum game. Jika mau subsidi BBM, ya yg lain mesti berkorban, entah transportnya atau jamsosnya.
  34. Akhirul kalam, jika saya ditanya apakah suka BBM naik? Jelas jawabnya TIDAK. Siapa sudi membayar lebih mahal untuk barang yang sama?
  35. Tapi jika pertanyaannya “apakah sebaiknya harga BBM naik?” Maka jawabnya, YA. “Paradoks” ini adl cerminan dari teori ekonomi...
  36. Konsumen (kaya-miskin) ingin dpt untung sebanyak2nya, sementara pemerintah ingin redistribusi kekayaan (si kaya ke si miskin via APBN).
  37. Jika pemerintah terbelenggu dengan APBN maka tidak ada cara lain selain memotong pos yg paling tidak tepat sasaran: subsidi BBM.
  38. Sengaja saya tidak berkicau tentang BLT dan isu2 politik, biarlah mereka yg tau soal itu yg bercerita :)
  39. Sekian twit saya kali ini. Terima kasih. *siap2 dicap neolib, ga populis, dan ga merakyat*

27 December 2011

Kelas Menengah di Indonesia (bag 2)

Tahun 2011 segera berakhir berganti menjadi tahun 2012, yang didalam sebuah film dijadikan sebagai akhir dunia. Banyak perbincangan atas film ini dan bahkan menjadi gossip yang mengkhawatirkan di kala itu. Tahun 2011 sendiri menjadi salah satu tahun yang cukup penting bagi Indonesia. Tahun dimana kelas menengah di Indonesia berkembang cukup pesat. Dimana di tahun pasca krisis (1999) jumlah kelas menengah di Indonesia hanya sebanyak 45 juta orang. Jumlah ini meningkat tajam menjadi 134 juta jiwa di akhir tahun 2010.

China dan India pun mengalami booming kelas menengah yang cukup besar selama satu decade terakhir. Menurut Sudarsono , jumlah kelas menengah di kedua Negara ini mencapai antara 300 – 350 juta orang di masing-masing Negara tersebut. Sedangkana sebanyak 700 juta orang lebih baik di India maupun di China masih berkutat dengan kemiskinan dan kurangnya fasilitas publik yang layak guna mendukung kelayakan hidup mereka.

Tentu saja hal ini tidak lain karena adanya dorongan dari perkembangan ekonomi Indonesia yang cukup tinggi, dimana sejak tahun 2000, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai lebih dari 5% setiap tahunnya. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia sendiri masih didominasi konsumsi yang mencapai 70 persen dibandingkan dengan sektor produksinya.Inilah yang cukup mengkhawatirkan bagi Indonesia, karena pertambahan jumlah kelas menengah yang cukup cepat tanpa dibarengi dengan kapasitas produksi yang memadai hanya akan meningkatkan konsumsi masyarakat yang lebih tinggi.
Dan memang, nampaknya hal inilah yang sedang terjadi saat ini. Kelas menengah di Indonesia sedang menikmati pemenuhan kebutuhan keduanya setelah kebutuhan primer mereka. Tidak lagi memikirkan kebutuhan sandang pangan, kelas menengah disibukkan dengan pemenuhan kebutuhan semacam hiburan, lifestyle, dan pemenuhan akan gadget (yang sebenernya bisa dikategorikan sebagai lifestyle) dan kendaraan.
Semua inipun bisa dicerminkan dengan kondisi di beberapa kota besar di Indonesia dengan pusatnya adalah Jakarta (tentu saja). Dengan pembagian kelas menengah ke dalam tiga golongan, pemenuhan kebutuhan akan hiburan pun dapat dipilah sesuai kategori mereka sendiri.

Hiburan

Kelas menengah tentu saja sangat haus akan hiburan guna mengatasi kejenuhan mereka dalam perjuangannya untuk mencapai dan mempertahankan posisi mereka di dalam kelas menengah. Hiburan paling sederhana adalah program televisi. Kurang dengan penyajian televisi yang umum ada saat ini, kelas menengah umumnya akan mengkonsumsi program tv berbayar yang menyajikan tayangan dari seluruh mancanegara. Harga yang dibayarkan pun tidak terlalu mahal untuk satu bulan, berkisar antara Rp 150 rb hingga 350 rb per bulan. Yang lebih asik, tentu saja nonton di bioskop untuk film-film terkini.



Yang lebih tinggi lagi adalah hiburan seperti clubbing, karaoke dan panti pijat yang menyediakan berbagai fasilitas. Berbagai forum pun banyak membahas 3 hiburan ini. Dari yang memang hanya untuk sekedar melepas lelah hingga yang bisa dibilang hiburan plus-plus yang mungkin juga menyediakan “jasa tambahan”. Harga yang ditawarkan antara satu lokasi dengan lokasi lainpun cukup beragam. Kalau karaoke bisa ditanggung secara bersama, berbeda dengan pijat maupun clubbing yang semuanya harus ditanggung sendiri. Mereka yang menjadi pekerja kelas menengah ataslah yang mampu untuk memenuhi kebutuhan akan hiburan ini. Harga yang ditawarkanpun antara 400 rb hingga 2 juta rupiah tergantung pesanan.




Gadget dan Lifestyle

Gadget dan pemenuhan lifestyle nampaknya juga menjadi salah satu target konsumsi para pekerja kelas menengah setelah pemenuhan akan kebutuhan primer mereka terpenuhi. Seperti yang terjadi beberapa bulan terakhir ini, dengan adanya peluncuran perdana dua jenis telepon genggam golongan smartphone di mall pacific place. Antrian di kedua jenis acara peluncuran ini tidak tanggung-tanggung. Layaknya antrian sembako, para pengantri sudah melakukan antrian sejak hari sebelum hari H peluncuran kedua produk ini. Meski harga kedua jenis gadget ini dibandrol cukup tinggi, BB dibandrol setengah harga dari harga seharusnya (sekitar 4 jutaan) dan Samsung Galaxy Tab dibandrol dengan harga 5 jutaan, namun animo masyarakat untuk mendapatkan kedua gadget sungguh mencengangkan.




Tab yang dijatah 1000 unit, langsung habis dalam waktu kurang dari satu jam sejak dibukanya counter, sedangkan antrian untuk mendapatkan BB mengalami kericuhan dengan (kurang lebih) 90 orang harus dievakuasi dari antrian, dimana seorang diantaranya mengalami patah tulang lengan kanan. Artinya, daya beli masyarakat di Indonesia pun cukup diperhitungkan oleh para produsen di dunia. Bahwa kelas menengah di Indonesia merupakan target empuk untuk pemasaran mereka. Stasiun TV BBC juga menggarisbawahi hal ini, dengan liputan mereka tentang Indonesia sebagai Blackberry nation.

Transportasi

Kebutuhan akan moda transportasi menjadi krusial saat ini di Indonesia. Dengan buruknya jasa layanan transportasi di Indonesia, kendaraan pribadi menjadi salah satu alternative yang potensial bagi kalangan pekerja kelas menengah. Dalam launching Indonesia Quarterly Economic Update oleh WB, salah satu pembicara dari Kadin menyebutkan bahwa buruknya moda transportasi di Indonesia menjadi pendorong utama berkembangnya industry otomotif di Indonesia.

Bahkan rasio orang dan kendaraan di Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan Malaysia. Bila Indonesia memiliki rasio 7 orang per 1 kendaraan, Malaysia telah memiliki rasio 3 orang per 1 kendaraan. Artinya, dari setiap 7 orang yang hidup di Indonesia, ada satu orang yang memiliki kendaraan bermotor. Dan inilah yang menjadi daya tarik para pekerja kelas menengah yang notabene mencari sesuatu yang baru demi kenyamanan mereka.

Sumber: Youtube, Juwono Sudarsono's blog, infobanknews.com, dan berbagai sumber lain

12 December 2011

Meramal dengan Ilmu ekonomi (Part 2)

Kesalahan Fatal dalam Forecasting

Tidak ada model ekonomi yang sempurna. Pernyataan ini sangat benar apabila kita mengingat berbagai problem krisis ekonomi terjadi di berbagai waktu lampau yang tidak dapat diantisipasi. Krisis mata uang regional Asia di 1997-1998, krisis harga minyak dunia di 1970an dan 2008, krisis pangan di awal milenium ke-2, dan yang paling mutakhir krisis keuangan global 2008-2010. Dalam situasi normal, permodelan ekonomi dianggap cukup taktis dalam mendukung pengambilan kebijakan namun, hampir seluruh model ekonomi mengalami kesulitan besar untuk memperkirakan waktu kedatangan krisis beserta dampak, dan kapan berlalunya.

Kunjungan Ratu Elizabeth II ke kampus London School of Economics pada Juli 2009 bermaksud mempertanyakan kepada para pakar ekonom bagaimana semua krisis ini terjadi dan kenapa sepertinya terlewat dari perhatian ekonom-ekonom kelas dunia. Surat tokoh ekonomi Inggris ke Sri Ratu tertanggal 22 Juli 2009 (http://media.ft.com/cms/3e3b6ca8-7a08-11de-b86f-00144feabdc0.pdf) memberikan jawaban dari para ahli (melalui surat yang ditandatangani oleh begawan ekonom Inggris: Profesor Tim Besley dan Prof. Peter Hennessy) menyatakan bahwa banyak pihak yang memperkirakan kedatangan krisis, namun bentuk pasti dan timing kedatangan krisis serta keparahannya tidak dapat ditebak oleh siapapun. Bahkan sebagaian besar percaya bahwa ahli keuangan (financial wizards) dapat menemukan dan mengatasi risiko dengan baik.

Surat yang ditulis dengan gaya bahasa sangat formal ini diakhiri dengan penutup yang menggambarkan permakluman sebagai berikut: “…So in summary, Your Majesty, the failure to foresee the timing, extent and severity of the crisis and to head it off, while it had many causes, was principally a failure of the collective imagination of many bright people, both in this country and internationally, to understand the risks to the system as a whole….

We have the honour to remain, Madam,

Your Majesty’s most humble and obedient servants”

Selain itu, kesalahan prediksi bukan hanya disebabkan oleh kelemahan dalam analisis kuantitatif semata melainkan juga terkadang disebabkan oleh hal-hal kualitatif yang tidak mempunyai pertanda sebelumnya seperti bencana alam maupun pergolakan politik. Dalam salah satu artikelnya, Richard Thaler (ekonom University of Chicago) menyebut bahwa faktor kepercayaan diri berlebih atau overconfidence berperan besar dalam kesalahan peramalan. Begitu pula dengan Daniel Altman (New York University) yang menyatakan bahwa saat ini sudah terlalu banyak forecasting, tidak hanya dalam ekonomi, cenderung bersifat jangka pendek dan hanya melihat satu atau dua tahun kedepan. Selain itu, kecenderungannya adalah linier dan seringkali mengandalkan proyeksi berdasarkan tren. Masyarakat juga cenderung overestimate terhadap dampak langsung atas suatu perkembangan namun mereka underestimate terhadap efek jangka panjangnya.


Dalam suatu kesempatan talkshow BBC World Debate, pembawa acara Zeinab Badawi bertanya ke Robert Zoellick mengapa banyak ahli-ahli di Bank Dunia tidak dapat melakukan sesuatu untuk melindungi perekonomian negara berkembang dari dampak krisis global. Dari penjelasan didapat bahwa para ahli di negara maju pun tidak dapat mengantisipasi kedatangan dan dampak krisis di negaranya sendiri, apalagi di negara lain. Jawaban tersebut belum memuaskan namun setidaknya ada beberapa pendapat mengenai permasalahn tersebut.

John Kay (London Business School) menyalahkan para ekonom atas usahanya mengembangkan general theory of everything. Sementara, Barry Eichengreen (University of California at Berkeley) mengatakan bahwa sesungguhnya tidak ada masalah dengan teori ekonomi, namun permasalahan ada pada implementasinya, terutama ketika memasukkan nuansa (insight) seperti konflik kepentingan, self-dealing, dan perilaku herd ke dalam model.

The Oracle and The Damned


Sebenarnya ada beberapa ekonom yang menyadari kedatangan krisis ekonomi, namun terkadang baru disadari pernyataan mereka setelah bencana terjadi. Kredibilitas forecasting akan diuji ketika mereka mampu setidaknya memberikan penjelasan mengenai penyebab kegagalan hasil peramalan mereka. Nouriel Roubini (ekonom dari New York University) mendapatkan julukan Dr. Doom oleh The New York Times karena reputasinya sebagai salah satu pionir yang memberikan warning adanya kedatangan krisis ekonomi global akibat penciptaan instrumen keuangan derivatif yang berlebihan di sektor keuangan. Sejak tahun 2005, dia sudah mengutarakan kekhawatirannya dengan pendapat yang lain dari ekonom pada umumnya.

Dia merasa pesimis atas perkembangan perekonomian di Amerika dan dunia. Pernyataannya pada September 2008 menandakan ramalan besar (prophecy) atas bencana dahsyat, "we have a subprime financial system, not a subprime mortgage market". Ketika perekonomian Amerika menyusut, seluruh perekonomian global akan terkena imbasnya, termasuk di kawasan Eropa, Kanada, Jepang dan perekonomian negara maju lainnya. Krisisnya akan sangat parah, namun negara berkembang justru tidak terlalu terimbas mengingat koneksinya yang tidak terlalu kuat dengan jaringan perdagangan, keuangan, dan kurs global. Roubini menyatakan bahwa isu subprime bukan hanya masalah Amerika semata. Dalam salah satu wawancara pada musim semi 2009, dia memperingatkan adanya bahaya housing bubbles di Inggris, Spanyol, Irlandia, Islandia, dan sebagian besar kawasan berkembang di Eropa seperti kawasan Baltik, Hungaria, hingga semenanjung Balkan. Bahaya ini akan menimbulkan ekses yang berpotensi memicu risiko-risiko di berbagai negara lainnya.


Raghuram Rajan (mantan Chief Economist IMF) dengan tulisannya berjudul “Has Financial Development Made the World Riskier?” dan sudah disampaikan dalam suatu simposium tahunan pada Agustus 2005 juga memperingatkan hal serupa. Rajan berpendapat bahwa sebuah bencana dapat terjadi dan kemungkinannya disebabkan oleh inovasi finansial. Adapun, banyak yang tidak sependapat dan nyinyir dengan pernyataan Rajan, misalnya mantan Menteri Keuangan AS, Larry Summers yang bilang bahwa pendapat tersebut “misguided” (#salah arah). Rajan dalam artikelnya di The Economist edisi April 2009 menyarankan terbentuknya sistem regulasi yang dapat meminimasi siklus keuangan “boom-bust”. Majalah Foreign Policy menganugerahi Rajan sebagai salah satu pemikir global, sedangkan The Economist menaruhnya dalam ranking pertama daftar ekonom yang memiliki ide penting dalam pemikirannya mengenai dunia pasca-krisis keuangan.


Apabila ada mendengar istilah Black Swan, selain film peraih Oscar maka pikiran anda akan tertuju pada salah satu buku best-seller yang terkenal berjudul sama. Nassem Nicholas Taleb adalah seorang penulis handal berdarah Lebanon yang telah berkecimpung dalam dunia matematika keuangan dengan spesialisasi pada keacakan (randomness) dan probabilitas. Selain menulis dan mengajar, dia juga berpengalaman sebagai fund manager.

Dia mengritik metode pengelolaan risiko yang digunakan oleh industri keuangan pada umumnya dan memperingatkan kemungkinan terjadinya krisis keuangan, namun di saat yang sama dia dapat memanfaatkan momentum untuk mendapatkan keuntungan atas kejadian krisis tersebut. Dia adalah pendukung teori yang dinamakan “angsa hitam” yaitu menggambarkan perilaku pihak yang dapat mengatasi peristiwa langka (difficult-to-predict events). Dia menyukai metode "stochastic tinkering" sebagai penemuan saintifik yang dapat dipergunakan dalam eksperimentasi dan pencarian fakta yang lebih akurat ketimbang riset yang bersifat top-down.


George Akerlof, penerima anugerah Nobel Ekonomi 2001 dalam bukunya yang berjudul Animal Spirits: How Human Psychology Drives the Economy, and Why It Matters for Global Capitalism (ditulis bersama Robert Shiller) menunjukkan bahwa pendekatan psikologis memainkan peranan sangat penting dalam menggambarkan perilaku ekonomi masyarakat pada suatu periode tertentu, ini persis seperti yang dimaksudkan oleh Alan Greenspan (mantan bos Federal Reserve) dengan istilah irrational exuberance.


Hal tersebut menimbulkan reaksi dari para ekonom lainnya dan mengawali timbulnya wacana aliran ekonomi baru. Ekonomi aliran arus utama dianggap gagal membuktikan kecakapannya. Salah satu kritik pedas atas kegagalan forecasting (dan ilmu ekonomi pada umumnya) dalam mengantisipasi krisis ekonomi global dituangkan dengan baik dalam buku berjudul “Economyths” yang disusun oleh ahli matematika terapan dari Universitas Oxford, David Orrell. Dalam buku ini disebutkan bahwa fenomena ekonomi lebih banyak disebabkan oleh efek kolektif dari seluruh pelaku yang menghasilkan perilaku “emergent” dengan menganalogikan pada proses terjadinya pembentukan awan/mendung oleh kumpulan uap air di angkasa.


Beberapa institusi pendidikan telah memasukkan materi pengajaran agent-based model dalam kurikulum fakultas ekonomi dan bisnis dengan aplikasi tidak hanya untuk mereproduksi perilaku pasar namun juga di area lainnya seperti transportasi hingga terapi kanker. Hal ini dipandang sebagai suatu terobosan dalam upaya merevitalisasi ilmu ekonomi dan menjauhkannya dari arogansi quasi-Newtonian pseudo-laws yang menjadi hegemoni dalam pengajaran ilmu ekonomi.

Perlu diingat bahwa Bapak Ekonomi kita, Adam Smith pernah kehilangan nyaris seluruh kekayaannya akibat kegagalan ramalan investasi Laut Selatan (South Sea Bubble).

Last but not least, pernyataan Milton Friedman berikut ini menunjukkan bahwa pada hakikatnya ilmu ekonomi memiliki keterbatasan dalam hal pengujian ilmiah karena hanya mengandalkan bukti-bukti yang hanya terbatas pada variabel yang diamati dan terkadang mengabaikan hal-hal lainnya yang bisa jadi ternyata lebih penting dari variabel teramati tersebut.

The perception of economics as a non-experimental science endured for most of the 20th century, best encapsulated in an incidental remark by Milton Friedman in his 1953 essay on the methodology of positive economics. “Unfortunately,” wrote Friedman, “we can seldom test particular predictions in the social sciences by experiments explicitly designed to eliminate what are judged to be the most important disturbing influences. Generally, we must rely on evidence cast up by ‘experiments’ that happen to occur.”

Catatan: Beberapa personil majelis konkowiken seperti Sdr. Ryan, Sdr. Dhanie dan Sdr. Adi Nugroho pernah membuktikan keahlian forecasting mereka dengan memenangkan kompetisi karya ilmiah yang diselenggarakan Bank Indonesia pada tahun 2005 dengan tema “Perkiraan Inflasi 2005: Faktor-faktor Penyebab dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Masyarakat”.