Refleksi tentang Pembangunan Kesejahteraan
AWAL tahun ini Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data terbaru kemiskinan. Meskipun terdapat penurunan jumlah penduduk miskin dari 28,3 juta jiwa (10,96 persen populasi) menjadi 27,7 juta jiwa (11,25 persen), tersirat adanya perlambatan laju turunnya angka kemiskinan. Akumulasi laju penurunan tingkat kemiskinan selama kurun sepuluh tahun terakhir sebesar 5,74 persen. Namun, tahun ini laju penurunan hanya 0,29 persen atau jauh di bawah rata-rata dekade terakhir sebesar 0,57 persen.
Melambatnya laju penurunan kemiskinan disebabkan berbagai faktor. Faktor utama adalah berkurangnya peran pertumbuhan ekonomi dalam penciptaan lapangan kerja dan kesejahteraan. Teori-teori konvensional yang mengagung-agungkan efek rembesan (spillover) terbukti usang. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sektor manufaktur yang digadang-gadang sebagai andalan penyerap tenaga kerja ternyata semakin bersifat padat modal.
Faktor kedua adalah keberadaan kelompok sangat miskin (extreme poor atau hardcore poor) yang susah dientaskan. Berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan sejak lama umumnya berhasil mengentaskan sebagian besar kelompok miskin penerima bantuan. Namun, hal tersebut ternyata menyisakan sebagian kelompok tertentu seperti penyandang disabilitas berat dan lanjut usia telantar yang memerlukan bantuan khusus secara intensif, bahkan sepanjang hayat. Persoalan itu hanya dapat diselesaikan dengan implementasi sistem bantuan sosial yang terarah dan efektif. Untung, perubahan mekanisme subsidi BBM yang dimulai tahun ini akan memberikan ruang fiskal yang cukup besar. Tidak kurang dari Rp 140 triliun akan tersedia bagi perluasan dan pengembangan program perlindungan sosial mulai tahun anggaran 2015.
Melihat pengalaman sebelumnya, strategi pengentasan kemiskinan melalui penciptaan stimulus ekonomi terbukti kurang efektif. Untuk menghadapi persoalan tersebut, setidaknya terdapat dua cara: mengakselerasi laju pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya dan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Gustav Papanek, pakar ekonomi yang mendalami Indonesia sejak akhir 1950-an, mengatakan, dengan kisaran pertumbuhan ekonomi saat ini (5 persen), hanya akan tercipta satu juta lapangan kerja baru yang layak. Lebih lanjut dia berpendapat, untuk mencapai laju pertumbuhan dua digit, akan diperlukan reformasi yang sungguh-sungguh. Khususnya di bidang perizinan usaha, pemberian insentif usaha, upah buruh, dan penciptaan lapangan kerja di pedesaan.
Kemiskinan adalah persoalan klasik yang umumnya terjadi di tiga tempat. Yaitu, sektor pertanian, sektor informal, dan kawasan pedesaan. Data BPS terbaru menunjukkan bahwa 61,4 persen kelompok miskin tinggal di desa. Meskipun demikian, sektor pertanian sudah tidak dapat diandalkan sebagai pencipta lapangan kerja dan pemberi imbalan yang layak. Sebanyak 34 persen dari angkatan kerja pada 2014 mengandalkan sektor pertanian sebagai mata pencaharian utama, menurun dari kisaran 44 persen pada 2004. Hal tersebut menunjukkan sempitnya (atau tidak atraktifnya) bekerja di sektor agraris. Fakta bahwa kelompok petani gurem dan buruh tani mendominasi struktur pekerja mengindikasikan rendahnya kesejahteraan pekerja. Salah satu terobosan yang dapat dilakukan adalah memperkuat aspek pemberdayaan masyarakat pedesaan dengan memanfaatkan alokasi anggaran khusus sebagaimana amanat UU Desa yang disahkan tahun lalu.
Profil demografis kesejahteraan di Indonesia saat ini didominasi oleh populasi kelompok ”rentan” atau ”hampir miskin” yang sangat rawan jatuh ke golongan miskin. Fakta itu dapat dilihat pada perhitungan Bank Dunia yang menunjukkan bahwa 75 persen rumah tangga masih berada dalam kategori rentan. Guna mengatasi masalah tersebut, perhatian khusus perlu ditujukan pada pemeliharaan kesejahteraan melalui mekanisme jaminan sosial untuk melindungi masyarakat dari guncangan ekonomi. Relevan dengan hal tersebut, penyiapan pelaksanaan jaminan ketenagakerjaan yang sesuai amanat UU BPJS akan dimulai pada pertengahan tahun ini untuk melengkapi jaminan kesehatan nasional yang telah dimulai pada 2014. Perhatian khusus perlu diberikan pada aspek pengelolaan dana iuran serta penghitungan manfaat yang akan diterima oleh pekerja.
Selain persoalan kemiskinan yang belum selesai, gejala peningkatan ketimpangan kesejahteraan selama lima tahun terakhir juga perlu diwaspadai. Sebagaimana yang ditulis oleh Thomas Piketty tahun lalu, laju ketimpangan yang meningkat dikhawatirkan mengancam tatanan masyarakat yang ideal. Ketimpangan secara mencolok dapat ditemui di perkotaan dengan tren yang meningkat secara drastis. Pertumbuhan yang Jawa-sentris turut memperparah kondisi tersebut. Strategi yang dapat diambil adalah menerapkan pola perpajakan yang lebih adil serta menciptakan pusat pertumbuhan di kawasan luar Jawa.
Tahun ini menandai berakhirnya masa pelaksanaan Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs) serta dimulainya era baru pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yang segera difinalkan dalam waktu dekat. Dalam konteks tersebut, perlu digagas sasaran-sasaran pembangunan yang lebih luas dan inklusif untuk melengkapi serta memperbaiki hasil yang telah dicapai pada era sebelumnya. Namun, berbagai indikator yang ada dalam SDGs hendaknya tidak diadopsi mentah-mentah. Melainkan sebaiknya diselaraskan dengan arah dan konsep pembangunan sebagaimana yang tertuang dalam dokumen rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) di tingkat pusat maupun daerah. (*)
Diambil dari artikel yang dimuat di SKH Jawa Pos, 20 Februari 2015. Dapat diunduh disini atau akses disini.